Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #19

Lelayu

Yang hidup pasti akan mati. Yang bernyawa pasti akan sirna. Setelah kepergian ayahmu, kamu tidak ingin lagi mendengar kabar lelayu. Maka, kamu selalu melangitkan doa-doa agar orang-orang yang kamu sayang dipanjangkan umurnya.

***

Kamu bangun lebih awal. Kamu buka jendela-jendela kamar dan menghirup udara pagi. Nyatanya bukan kesegaran yang kamu dapatkan, justru ada aroma asap yang menggelitik hidungmu. Kamu sejenak ingat pada udara di perkebunan kelapa sawit tempatmu bekerja. Setiap pagi, kamu mendengar suara serangga berderik. Bunyinya nyaring dan menenangkan. Udara pagi di kampung halamanmu yang masih dingin seharusnya memberikan sedikit kelegaan. Namun, hari ini suasana terasa berbeda. Kabut asap mengembun di luar jendela. Kamu yang tadinya ingin membuka seluruh daun jendela di dalam kamarmu, pada akhirnya hanya membuka sebagian saja.

Kamu lalu beranjak ke kamar ibumu. Suasananya suram sekali. Lampu kamar dalam keadaan mati, tanpa suara.

"Bu ...," panggilmu dalam keremangan itu. "Mau diambilkan air hangat?" tanyamu.

Bukannya jawaban yang kamu dapatkan, melainkan suara rintihan yang terdengar. Cepat-cepat kamu nyalakan lampu kamar tersebut. Seketika, kamu menemukan ibumu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya tampak pucat dan seperti sedang menahan kesakitan. Dadamu terasa sesak saat kamu melihatnya sedemikian menderita. Kamu mendekat dengan langkah cepat, berusaha menenangkan diri meski hatimu terasa berat.

“Bu, apa yang terjadi?” suaramu bergetar sedikit, mencoba menahan kepanikan.

Ibumu membuka matanya perlahan, menyapamu dengan senyuman lemah yang jelas terlihat penuh usaha. “Ndak apa-apa, Le. Ibu cuma merasa lelah dan sedikit meriang.”

Namun, kamu tahu ini lebih dari sekadar kelelahan biasa. Penyakit ibumu kembali kambuh. Bahkan di saat ia menderita sekalipun, ibumu tidak ingin membuatmu khawatir. Sontak saja, kamu pamit sebentar untuk memanggil seorang bidan yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah kalian supaya bisa segera memeriksa ibumu.

Setelah diperiksa, bidan memberikan penjelasan yang membuat hatimu semakin berat.

“Gula darah ibumu sudah tinggi sekali, sementara tekanan darahnya lemah,” kata bidan tadi dengan nada penuh pengertian. “Kondisinya semakin memburuk karena faktor usia. Beliau membutuhkan banyak istirahat. Dan sepertinya lebih baik ibumu segera dirujuk ke rumah sakit.”

Kata-kata bidan tadi terasa menusuk hati. Cutimu di perkebunan kelapa sawit pun sudah hampir habis, dan kamu tahu ibumu tidak bisa ditinggal seorang diri dalam keadaan genting seperti ini. Kamu jelas lebih memilih untuk menunda kepulanganmu ke perusahaan dalam beberapa hari. Saat ini, segala hal lain terasa tidak penting dibandingkan dengan kesehatan ibumu.

Dengan rasa cemas yang mendalam, kamu menghubungi atasan di perkebunan dan menjelaskan situasi darurat yang sedang kamu hadapi. Kamu memohon perpanjangan cuti dengan penuh harapan. Berkat pengertian dari mereka, kamu berhasil mendapatkan beberapa hari tambahan. Manajemen berbaik hati karena kasus pencemaran sungai tempo hari berhasil kamu selesaikan dengan baik.

Tidak lupa, kamu menelepon Miriam. Tapi, sayangnya panggilanmu itu tidak kunjung tersambung. Maka, kamu pun memutuskan mengiriminya pesan singkat.


Penyakit ibu kambuh. Jadi, aku minta cuti tambahan ke atasan.


***

Hari-hari berikutnya kamu habiskan dengan senantiasa berada di samping ibumu, memastikan beliau mendapatkan perawatan yang dibutuhkan dan berusaha membuatnya merasa lebih nyaman. Kamu tahu bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehadiranmu dan perhatianmu di saat-saat seperti ini. Melihat ibumu perlahan membaik, meskipun kondisinya masih rapuh, memberikanmu sedikit kelegaan.

"Ayo kita pulang aja, Le. Sayang duitmu bakal habis nanti."

Bahkan di saat-saat seperti ini ibumu masih memikirkan kamu, putra semata wayangnya.

"Jangan terlalu dipikirkan, Bu. Yang paling penting sekarang adalah ibu sehat lagi. Kalau ibu sehat, aku juga yang bahagia."

Sepasang mata ibumu berkaca-kaca. Kamu tahu ibumu tidak senang hati lantaran merasa telah merepotkanmu. Tapi kamu berusaha menenangkannya. Justru kamu yang tidak ingin ibumu kepikiran macam-macam. Tidak baik bagi kesehatannya.

Selama waktu yang kamu habiskan di rumah sakit, kamu merenung tentang betapa pentingnya keluarga. Meskipun pekerjaan dan rutinitas di perkebunan sering kali menyita waktu dan energi, kamu sadar bahwa ibumu adalah tempat di mana hatimu benar-benar merasa tenang dan berarti. Kamu hanya bisa berharap agar ibumu segera mendapatkan kesehatan untuk menjalani hari-hari ke depan bersamamu.

Lihat selengkapnya