Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #8

Mimpi dan Harapan

Apa pun yang dimulai, pasti akan diakhiri. Karena begitulah takdir bekerja. Sama halnya dengan pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Yang lahir, pun akan mati. Sering kali kamu merenung, apakah kamu patut menyesali sebuah pertemuan jika pada akhirnya akan ada perpisahan yang menyesakkan. Sebelum pada akhirnya kamu sadar bahwa hidup adalah sebuah siklus yang harus dijalani. Mesti dilewati. Ada yang pahit, tapi banyak pula yang manis. Kamu selalu ingat luka, padahal lebih banyak hal-hal menyenangkan yang justru kamu lupakan.

***

Waktu terus berputar. Kalian jadi lebih sering berbincang berdua: di tepi dermaga, hingga di sela waktu istirahat kerja. Semakin kamu mengenal Miriam, kamu semakin tahu kalau Miriam adalah wanita yang cerdas dan penuh semangat. Tidak pernah sekali pun ia mengeluhkan pekerjaannya sebagai buruh harian yang tentu saja berat. Padahal kamu tahu sekali kalau selain harus bekerja di bawah terik matahari langsung, bekerja di perkebunan kelapa sawit amatlah melelahkan. Menguras fisik dan tenaga.

Di setiap pertemuan, topik pembicaraan yang kalian bahas sering kali meluas, dari hal-hal sepele dan tidak penting hingga masalah yang tengah hangat di perbincangkan. Rupanya sama sepertimu, Miriam juga punya pengetahuan yang luas dan terbuka. Lagi-lagi hal itu membuatmu kagum kepadanya. Padahal, lingkungan tempat ia tinggal selama ini tergolong berada di pelosok perkampungan, jauh dari akses ke kota, dan minim sinyal internet. Listrik pun, hanya akan menyala di malam hari menggunakan mesin genset bagi yang mampu. Sisanya, masih menggunakan lampu minyak yang mengepulkan asap hitam ke dinding dan langit-langit rumah.

Kamu ingat sekali ketika pertama kali kamu datang ke perusahaan. Hal yang pertama kali kamu tanyakan adalah akses internet, listrik, dan air bersih. Sebab, ketika kamu tahu bahwa lokasi perkebunan tempatmu bekerja jauh dari kota dan menyeberangi sungai besar, kamu khawatir fasilitas tersebut tidak akan tersedia. Benar saja, dari jawaban yang kamu dapatkan dari staf senior, kamu tahu bahwa PLN memang belum masuk, tower provider belum ada, begitupun instalasi PDAM. Hal-hal yang biasa kamu temui di kota dengan segala keriuhannya, di tempatmu bekerja kini menjadi barang mahal.

"Tenang, perusahaan punya genset yang akan hidup 24 jam. Tapi, hanya untuk gedung kantor. Kalau untuk long house, akan menyala mulai pukul 6 sore sampai dengan jam 5 subuh," kata seniormu kala itu, membuatmu hanya bisa menghela napas panjang.

Kamu pikir segala fasilitas yang memadai tadi, kamu akan bosan dan tidak mampu bertahan. Nyatanya, tanpa itu semua, kamu jadi punya aktivitas baru yang menyenangkan: duduk malam hati di teras long house sembari memandangi bintang-bintang. Hal yang sesungguhnya mahal. Pasalnya, saat tinggal dan berkuliah di kota, kamu tidak pernah bisa menikmati benda-benda langit di malam hari sejernih itu. Penghuni kota terlalu banyak 'membuang' asap polutan dari jutaan kendaraan dan cerobong pabrik ke langit. Mengotori awan.

Kamu pernah mengutarakan perihal jernihnya langit malam kepada Miriam. Dan rupanya, itu menjadi salah satu hal yang Miriam cintai dari kampung halamannya selain air sungai yang bisa langsung dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci pakaian. Meski kelihatannya agak kemerahan, nyatanya air sungai yang melimpah itu cukup bersih. Jenis tanah dan kandungan gambut, membuatnya demikian. Terbukti, ketika air sungai tadi disedot ke dalam bak penampungan di kamar-kamar long house, meski awalnya agak geli, kamu pada akhirnya merasakan sensasi kesegaran yang berbeda setiap kali mandi menggunakan air tersebut. Kamu tidak dapat menemukan aroma kaporit yang mengganggu ketika kamu dulu mandi menggunakan air keran di kota.

"Ternyata banyak hal-hal baik yang aku temukan di kampung halamanmu ini, Miriam," ujarmu ketika sedang duduk berdua di tepi dermaga.

"Tapi, banyak pula hal-hal yang kurang di kampung ini. Jauhnya lokasi dan sulitnya akses, membuat kampungku ini sulit berkembang. Harga-harga barang mahal. Padahal rata-rata pendapatan kami tidak setinggi mereka yang bekerja di kota," sahut Miriam. Dari ekor matamu, kamu bisa melihat kaki Miriam yang bergerak-gerak di udara.

Lihat selengkapnya