Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #10

Hadiah Kecil

Seperti halnya arus sungai yang mengalir deras, segala kenangan buruk di masa lalu telah kamu larungkan bersama ikan-ikan. Kamu berharap, apa yang telah kamu tenggelamkan ke kedalaman sungai akan hilang dari dalam ingatan. Kamu semogakan agar hanya ada kenangan-kenangan baik yang berkelindan di kepala. Seperti halnya burung-burung yang beterbangan, pun kunang-kunang yang berkelipan, kamu berusaha keras untuk mengupayakan dan melupakan.

***

Di minggu berikutnya, kamu memutuskan menunggu Miriam di dermaga lebih awal. Kamu tidak ingin terlambat, karena hal itu hanya akan membuang-buang waktu Miriam yang sudah susah payah menjemputmu. Di tanganmu, terdapat sebuah kantong plastik hitam berukuran cukup besar. Kamu tentu tidak lupa dengan janjimu minggu lalu untuk membawakan sesuatu buat anak-anak di sana.

Tidak berapa lama, perahu yang Miriam kemudikan tampak di kejauhan. Kamu langsung berdiri dan melangkah menuju ke tepian dermaga untuk menyambut kedatangan Miriam. Miriam mengendurkan tarikan gas mesin 2 PK di tangannya, membuat laju perahu melambat hingga benar-benar bersandar.

"Tumben sudah ada di sini lebih dulu," katanya.

Kamu tersenyum. "Sudah seharusnya aku datang lebih dulu. Aku enggak mau terus-terusan merepotkanmu. Sudah minta jemput, terlambat pula."

Miriam terkekeh. "Sudah aku bilang, harusnya kamu belajar mengendarai perahu. Biar bisa ke mana-mana sendiri. Untuk masalah perahu sewaan, itu gampang. Bisa aku carikan pinjaman. Paling kamu hanya perlu mengisi bensinnya saja."

"Lain kali," jawabmu singkat.

"Sudah aku duga," ujarnya kemudian. "Ayo, naik. Anak-anak pasti sudah menunggu."

Kamu menurut. Dengan hati-hati kamu menaiki perahu. Terjadi guncangan kecil. Tapi, kamu sudah tidak lagi setakut sebelum-sebelumnya. Sebab, selama beberapa hari belakangan, di sore hari, diam-diam kamu sering mengunjungi tepian sungai tempat warga sekitar dan anak-anak mandi. Memang, beberapa pekan ini hujan tidak kunjung turun, sehingga persediaan air dari sumur dan sumber mata air semakin menipis. Maka, untuk mengantisipasi hal tersebut, untuk kebutuhan mencuci dan mandi, warga setempat secara turun temurun memanfaatkan sungai sebagai sumber air yang tidak terbatas.

Awalnya, kamu hanya memperhatikan anak-anak yang asyik bermain air. Mereka begitu mahir berenang di sekitar orang tua mereka yang mandi dan mencuci. Kamu bisa merasakan kehangatan dari pemandangan kecil tadi. Bapak-bapak, ibu-ibu, anak muda, hingga orang tua dan bocah-bocah membaur menjadi satu. Saling bercengkerama. Riuh sekali. Tawa memeledak di mana-mana. Pemandangan yang tentu bakal sulit kamu temui di kota-kota besar. Kamu jadi berandai-andai, seandainya sungai-sungai di kota bisa terjaga kebersihannya dari sampah dan pencemaran limbah, pasti sungai-sungai di sana juga dapat dimanfaatkan sebagaimana sungai-sungai di sini.

"Pak, ayo ikut turun mandi," ajak seorang bocah yang kamu kenali sebagai anak dari buruh tabur pupuk di divisimu. Kebetulan rumahnya memang tidak terlalu jauh dari long house tempatmu tinggal.

"Ndai bawa baju ganti," katamu berlagak menggunakan campuran bahasa lokal. Kamu hanya berani menggunakan bahasa daerah di waktu-waktu tertentu. Sebab, kamu takut salah dalam pengucapan dialeknya. Apalagi di hadapan orang-orang yang usianya di atasmu.

"Ndai apa, Pak. Kan nanti tinggal ganti di rumah."

Kamu yang sejujurnya masih takut dengan sungai lantaran tidak bisa berenang itu pun sebenarnya hanya mencari-cari alasan. Namun, ternyata si bocah dan teman-teman seusianya justru datang mendekat dan terus mengajakmu untuk turun ke sungai. Suara mereka yang begitu berisik, berhasil mengundang perhatian orang-orang yang sedang mandi dan mencuci. Tentu saja itu membuatmu kikuk. Maka, lantaran tidak ingin terus-terusan menjadi pusat perhatian, kamu pun pasrah. Kamu rogoh barang-barang berhargamu dari dalam saku celana seperti uang serta dompet dan kamu letakkan di atas motor. Setelahnya kamu ikuti anak-anak menceburkan diri di sungai.

Awalnya kamu hanya menenggelamkan diri sebatas pinggang. Namun, di luar dugaan, nyatanya air sungai terasa segar membasuh kulitmu. Kamu pun tergoda untuk menenggelamkan kepalamu. Dan tanpa terasa, kamu justru ikut larut bermain air bersama anak-anak tadi. Tahu kamu tidak bisa berenang, bukannya menertawakan, mereka justru dengan senang hati mengajarkanmu. Seru sekali. Kamu yang tadinya begitu takut untuk masuk ke aliran sungai yang cukup deras, pelan-pelan mulai bisa menikmatinya. Sungai tidak seseram yang kamu bayangkan. Meski untuk saat ini kamu baru berani belajar berenang dan beraktivitas di tepiannya saja, tapi itu sudah lebih dari cukup.

Setelah perkenalan singkatmu dengan para bocah yang merupakan anak-anak dari buruh perusahaan kelapa sawit itu, sore-sore berikutnya kamu jadi sering ikut mandi bersama mereka. Pelan-pelan kamu asah kemampuan berenangmu yang sama sekali belum ada peningkatan. Dan anak-anak tadi, seolah-olah tidak pernah bosan dan letih untuk melatihmu. Benar kata orang, di dalam kehidupan belajar tidak harus hanya di bangku sekolah, dan guru tidak hanya ada di sekolah-sekolah formal. Kamu bisa belajar di mana saja dan kepada siapa saja. Termasuk kamu yang belajar berenang di bawah bimbingan para bocah yang sudah sangat mahir menyelam dan bahkan menombak ikan.

"Kamu kelihatan jauh lebih tenang sekarang." Ucapan Miriam itu seketika membuyarkan lamunanmu. Sekali lagi kamu hanya tersenyum. Kamu rasa kamu tidak harus menceritakan semuanya. "Ngomong-ngomong apa yang kamu bawa di dalam kantong hitam itu?" Pandangan Miriam kini teralihkan pada kantong plastik yang ada di hadapanmu.

Sambil mulai menjalankan perahu yang ia kemudikan, Miriam menunggu jawabanmu.

"Sesuatu yang aku janjikan minggu lalu."

Wajah Miriam semringah. "Ternyata kamu beneran nepatin janji."

"Laki-laki sejati adalah laki-laki yang bisa dipegang janjinya."

Lihat selengkapnya