Mungkinkah Kamu Istiqlal untuk Dia yang Katedral?

Alfian N. Budiarto
Chapter #5

Percakapan Hari Jumat

Pertemuan demi pertemuan selalu terjadi di dalam hidupmu. Kamu dipertemukan dengan orang-orang baru: kemudian dekat, atau justru sekadar menjadi cameo. Datang, lalu pergi begitu saja tanpa memberi arti. Kamu berhak memilah sosok mana yang patut kamu kenang ataupun ingin kamu lupakan. Karena sejatinya demikianlah kehidupan, orang-orang datang dan pergi silih berganti.

***

Seusai salat Jumat, kamu sengaja tidak menumpang kelotok seperti rekan-rekanmu yang lain. Kepada mereka kamu mengatakan bahwa ada urusan yang harus kamu selesaikan lebih dulu. Mereka sempat heran bagaimana kamu bisa muncul di masjid dan menunaikan salat Jumat. Padahal tadi, di kelotok, mereka tidak menemukan keberadaanmu. Berdasarkan penuturan salah satu staf, ia sempat menghubungi ponselmu untuk mengabarkan bahwa kelotok akan segera berangkat.

Namun, barangkali lantaran sinyal yang sulit, panggilan itu tidak dapat tersambung. Maka, dengan berat hati mereka meninggalkanmu ketimbang seluruh rombongan yang sudah duduk di dalam kelotok terlambat salat.

"Ndak masalah. Memang salahku yang lupa kalau hari ini hari Jumat. Harusnya aku bisa datang lebih cepat ke dermaga," ujarmu mengakui kesalahan.

"Lalu, kamu ke sini pakai apa?" tanya salah seorang rekanmu.

"Untung ada tumpangan."

"Enggak berenang, kan?"

Kamu tertawa sambil menggeleng. "Jelas ndak. Aku ndak bisa berenang."

Setelah itu, kamu pergi meninggalkan dermaga tempat kelotok sewaan perusahaan tertambat. Kamu lantas berencana menemui Miriam. Ketika tiba tadi, Miriam sengaja menepi di belakang rumah seorang warga yang menjorok ke arah sungai. Ia bilang supaya tidak dilihat dan dikenali siapa-siapa. Ketimbang kelak menjadi gosip, katanya. Kamu setuju. Kamu pun sudah berjanji pada Miriam bahwa nanti akan pulang bersamanya. Sebab, ia sudah berbaik hati dan berkenan mengantarkanmu menunaikan kewajiban beribadah. Kamu pun berniat mentraktirnya makan. Tadi, sebelum salat, kamu melihat ada beberapa kios pedagang makanan yang berjualan tidak jauh dari masjid.

"Kamu harus coba kerupuk basah," kata Miriam yang setuju dengan tawaranmu untuk mentraktirnya. Kalian lantas duduk di sebuah warung sederhana yang Miriam pilih. Miriam bilang, kerupuk basah adalah makanan khas daerah setempat. Banyak orang luar yang menyukainya.

Setelah sejenak menunggu, seporsi kerupuk basah terhidang di hadapanmu. Seporsi lagi di depan Miriam.

Kamu heran. Kamu pikir kerupuk basah adalah makanan sejenis seblak. Kerupuk yang dimasak menggunakan kuah. Ternyata kamu salah. Kerupuk basah lebih mirip seperti empek-empek dari Palembang yang direbus tanpa digoreng. Sama-sama terbuat dari bahan dasar tepung dan gilingan ikan. Hanya saja cara memakannya tidak menggunakan cuka yang khas, melainkan dicocol menggunakan sejenis sambal kacang.

"Enak," katamu. "Perpaduan empek-empek rebus dan siomay."

"Apa aku bilang, jarang orang yang tidak suka kerupuk basah." Miriam menjeda sejenak kalimatnya. "Kalau nuan mau, bisa aku buatkan."

"Lebih enak?"

Miriam tersenyum. "Tentu aja. Karena untuk dimakan sendiri, tentu campuran ikannya bakal lebih banyak."

Kamu semringah. "Wah, mantap itu."

"Oke. Aku tunggu."

Setelahnya, kalian berdua larut dalam ritual makan yang menyenangkan. Lidahmu begitu menikmati sensasi rasa baru yang ditawarkan. Apalagi kamu memang menyukai berbagai penganan yang berasal dari olahan ikan.

Di sela-sela makan tersebut, kalian lantas saling bertukar cerita-cerita sederhana mengenai perbedaan antara kampung halamanmu dengan kampung halaman Miriam yang kamu singgahi kini.

***

Kamu menatap ke arah sekumpulan pohon bakau yang rimbun ketika perahu kalian kembali merapat ke tepian dermaga milik perusahaan. Kamu menghela napas lega, setelah sesaat sebelumnya nyawamu terasa nyaris di ujung tanduk. Di kepalamu, sungai-sungai yang mengular itu seperti badan anaconda raksasa yang siap menelan tubuhmu bulat-bulat. Karenanya, sepanjang perjalanan menyeberangi sungai tadi, kamu sama sekali tidak bergerak. Bahkan kamu sempat menahan napas untuk beberapa saat.

Mengenang itu, setelahnya kamu justru tertawa. Kamu sadar bahwa pikiranmu yang aneh itu berasal dari ketakutan yang berlebihan. Terkadang hal baru memang agak menyeramkan ketika mesti dilalui.

"Terima kasih, Miriam," katamu sembari tersenyum kepadanya. "Tanpamu, aku mungkin tidak akan sempat mengikuti salat Jumat." 

Lihat selengkapnya