Kamu dan Miriam seperti dua pulau yang dipisahkan oleh sebuah selat yang cukup lebar. Kalian perlu sebuah jembatan yang kokoh untuk bisa saling terhubung satu sama lain. Tapi, membangun jembatan tersebut tentu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Kalian butuh usaha, butuh kepercayaan untuk saling menguatkan dan terus bertahan. Jika tidak, pondasi akan roboh, dan kamu harus bisa merelakan perpisahan: kembali menjadi dua buah pulau yang tidak mampu disatukan oleh sebuah jembatan penghubung.
***
Sudah beberapa hari ini Miriam tidak masuk bekerja. Kamu tahu hal itu dari rekanmu yang bertugas menjadi asisten lapangan di divisi Miriam bekerja. Sempat beberapa kali kamu mencoba menelepon Miriam, tapi sepertinya ponsel perempuan itu tidak memiliki jangkauan sinyal.
"Kenapa kamu nanya kabar Miriam terus, sih? Jangan-jangan kamu suka, ya, sama dia?" tanya rekanmu itu seolah-olah sedang menginterogasimu.
Kamu tergeragap. Sebab, memang tidak ada siapa pun yang tahu perihal hubungan kalian. "Aku cuma mau tau aja."
"Miriam cantik, sih. Sayangnya dia Katolik. Andai dia muslim seperti kita, aku pasti bakal jatuh cinta juga." Rekanmu itu terkekeh pelan, tanpa tahu perasaanmu yang dilanda cemburu. "Tapi, tunggu. Dia juga anak kepala desa yang baru. Jadi, kayaknya aku harus pikir-pikir dua kali kalau mau jatuh cinta sama dia. Bapaknya, kan, sering nyari masalah sama perusahaan."
Kamu kaget bukan main. "Dia putri kepala desa?"
Rekanmu mengangguk. "Iya, dia anak semata wayangnya Pak Rustam. Lho, kamu belum tau?"
Kamu menggeleng lemah. Rasa penasaran dan kekhawatiran mulai menggerogoti pikiranmu. Kamu menyadari bahwa konflik antara ayah Miriam dan perusahaan bisa berdampak besar pada hubungan kalian. Tapi, satu yang kamu sesalkan, mengapa kemarin ketika kamu bertanya mengenai konflik yang terjadi, Miriam tidak mengungkapkan fakta bahwa Pak Rustam, si kepala desa, adalah ayahnya. Kamu jadi ingat kalimat terakhir yang sempat ingin Miriam utarakan sebelum pergi, namun urung ia selesaikan, mengenai kepala desa.
Setelah tahu bahwa Miriam adalah putri si kepala desa, kamu merasa harus bicara dengan Miriam. Kamu jadi menduga-duga alasan mengapa sampai hari ini Miriam tidak kunjung masuk kerja, bisa jadi bukan karena sakitnya belum sembuh, melainkan ia yang sengaja ingin menghidarimu. Mungkin saja karena ia yang tidak mau dikait-kaitkan dengan masalah antara ayahnya dengan pihak perusahaan, seperti yang pernah coba kamu korek darinya tempo hari.
Tidak punya pilihan lain, kamu segera pergi ke dermaga. Beruntung, masih ada beberapa pekerja yang belum pulang menyeberang ke kampung. Mereka masih berusaha melepaskan tambatan perahu.
"Permisi, kalian mau pulang ke kampung?" tanyamu pada salah seorang di antara pekerja tadi.
"Iya, Pak."
"Rumah kalian jauh ndak dari rumah Miriam?"
"Miriam anak Pak Rustam?" Gantian pekerja perempuan berkaus cokelat tua itu yang bertanya.
Kamu membenarkan. "Iya. Jauh ndak?"