Korintji (Kerinci) 1998, malam Sabtu, di sebuah hutan yang jauh dari jangkauan pemukiman, sekelompok wanita yang beranggotakan 6 orang tampak sedang tengah menari, diiringi senandung serta berhiaskan pakaian yang berpernak-pernik dari tulang belulang, biji pinang, dan juga anyaman dari rotan membentuk sebuah topi.
Tarian itu melingkar dan mengelilingi seorang perempuan yang terbungkus kain kafan, bukan mayat melainkan perempuan yang masih bernafas, terlihat kembang kempis dari perutnya menandakan bahwa ia masih hidup. Di sela tarian tampak para penari mengunyah sesuatu, dari mulut mereka keluar sesuatu cairan merah pekat, selembar sirih, kapur, pinang, dan juga gambir yang dikunyah mengeluarkan warna merah pekat itu, sambil menari mengelilingi perempuan itu.
Seseorang penari yang mengenakan pakaian berbeda dengan ke-lima penari lain memegang sebuah tempurung dengan asap mengepul, baunya menyengat dan kuat, kemenyan yang dibakar sebesar biji ketapang mengepulkan asap yang kuat serta tebal.
Lantunan itu terdengar makin lama makin kuat dan cepat!
"Berkeak nineak junjeu ngan di junjeu, berkeak ibiu ngandau dimu ngandau, berkeak bapeak ngan dimu mapoah, ooooh lepeh kuarau ku mintok ampau, mintok ampau gureu ngan ku junjeu1" (Berkah dari nenek moyang yang di junjung, berkah dari ibu yang mengandung, dan berkah dari ayah yang menjaga, oh mohon dimaafkan jika aku meminta maaf, kepada guru yang aku sanjung) Lantunan itu berulang dan kuat dilontarkan oleh pemimpin tarian.
Sesekali di antara jeda kalimat, penari lain ikut meraung bak serigala, tapi raungan yang lebih pendek dengan nada tinggi. Tarian itu berlangsung kurang lebih tiga puluh menit, ketika sampai di penghujung tarian, perempuan itu menggeliat seperti kesakitan ditusuk ribuan jarum di tubuhnya, teriakannya kencang dan memekik, hampir sepuluh menit perempuan itu berteriak kesakitan hingga akhirnya memuntahkan darah yang di dalamnya terselip pecahan beling, butir nasi, dan tulang ikan yang ikut tersangkut sewaktu makan.
"Jangan berdiri dulu!" Ucap seorang pemimpin tarian yang ternyata adalah nenek tua berumur 80 tahun, akan tetapi perawakannya sama seperti ibu-ibu anak 2 yang kisaran umurnya 30-an.
"Sudah lama itu bersemayam dalam dirimu, kau beruntung masih hidup hingga sekarang" Lanjutnya.
"Beri ia minum!" Kata salah satu penari.
Ino Supaik (Nenek Supaik), adalah salah satu penari ritual Asek2 yang terkenal, beliau sudah menikah 4 kali dan tidak memiliki keturunan, konon dikisahkan bahwasanya setiap pria yang menjalin hubungan dengan Ino Supaik selalu berakhir dengan kematian, entah itu kecelakaan, hingga mati bunuh diri yang sangat janggal, setelah kematian suaminya yang terakhir, Ino Supaik tidak pernah menikah lagi sampai sekarang. Ino Supaik hidup sebagai penari Asek sudah sedari beliau gadis, sekitar umur 18-an, beliau memulai semua itu secara kebetulan, di mana tarian ritual itu selalu diwariskan turun-temurun dari keluarga besar ke anak cucunya, kini giliran Ino Supaik yang mendapatkan jatah melestarikan tarian tersebut.
"Besok jangan lupa bawa daun sirih, ayam hitam, beras satu canting, untuk kelanjutan pengobatan, agar kamu sembuh total" Kata Ino Supaik.
"Itu saja? bolehlah aku bawakan orang lain menemaniku?"
"Tidak boleh! harus datang seorang diri"
Tanpa membantah sepatah katapun, perempuan tersebut hanya terdiam di tempat dengan bercak darah berhamburan di sekujur kain kafan yang masih ia kenakan.