"Bak kato pepatah adat, kayo umpamo kayu gedang di tengah rimbo, daun renyo tempat buteduh, batang renyo tempat busandar, akar renyo tempat busilo, pergi tempat bupesan, balek kamai dapat burito5"
(Menurut kata pepatah adat, anda adalah batang kayu besar di tengah hutan, daunnya adalah tempat berteduh, batangnya tempat bersandar, akarnya tempat duduk, pergi tempat berpesan, dan pulang kami dapat kabar)
Tahun 1948, di Rumah Gedang Kerinci, Sepucuk surat datang berlabuh, bersampul kulit sapi dengan bertuliskan tinta perak, mendarat diantarkan pengawal kerajaan Jambi. Sebagaimana dalam aturan Syarak6, jika yang datang adalah surat berlapis tinta emas, maka itu adalah pertanda lamaran akan datang, jika berlapis tinta perak, maka akan ada petuah atau peraturan yang harus ditaati, dan jika berlabuh surat bertinta darah itu berarti perang!
Jikok kecaik kayo lah bunamo
Jikok gedeang kayo lah bugelar pulo
Mintok tibea kalo diserau
Mintok datea kalo dipanggai7
(Jika kecil berarti punya nama,
Jika besar berarti punya gelar,
Di harap menghadiri apabila di panggil,
Di harapkan datang apabila di undang)
Tuan/Puan, di tempat....
Dengan berlabuhnya sepucuk surat hantaran ini, izinkan kami menghimbau Tuan/Puan untuk datang bukan sekedar menghadiri, akan tetapi sebagai bahagian dari kerajaan sepucuk Djambi.
Hari : Ahad, 8 Januari 1920
Waktu : Sampai besi binaso
Tempat : Kesultanan Djambi
Perihal datang berpengawal, pulang pula berhantaran. Sultan Maraji Said berperingat pada Tuan/Puan untuk segera meninggalkan dan menghentikan adat kebiasaan Tuan/Puan dan segeralah memeluk agama. Niscahya ini jalan yang benar!
Tertanda mandat
Sultan Maraji Said
Begitulah perintah dan sepucuk surat tersebut, dengan penuh amarah lantas sepucuk surat tersebut dibantingnya ke lantai.
"Meninggalkan adat? walaupun raja sekalipun tak akan aku lakukan, biar perang sekalipun" Kata sesorang bertubuh kekar dan berkumis tebal, mengenakan pakaian serba hitam dengan pernak-pernik keemasan, terlihat begitu gagah dan berani, di samping pinggang yang berkacak dengan sebuah kain yang melilit, terselip keris panjang dengan ganggang kepala naga. Dialah sang Depati, Datok Zainuddin Purawo, raja sekaligus orang tua dari dua orang anak laki-laki yang nanti akan dikenal sebagai panglima kerajaan yang gagah dan berani, Salabah Bandaro dan Paduko Berhalo.
"Datok, bukankah bahaya jika mengabaikan perintah Sultan Jambi?" Kata Kasim, orang kepercayaan Depati
"Kalaulah perintah berperang, aku siap mati di medan, kalaupun perintah meminang, akan kuserahkan seluruh wanita cantik yang ada, ini tentang meninggalkan adat, apa gerangan Sultan Jambi begitu, kita hanya punya adat, dari dahulu itu pegangan kita"
"Saya ikut datok, apapun keputusan Datok saya ikut"
"Undang Depati lain untuk penjamuan, kita bicarakan undang-undang ini"
"Baik datok"
Dengan gencar serta cepat, kabar itu menyebar ke seluruh pelosok negeri, dari yang muda hingga tua semua mendengar kabar itu, marah, geram, serta gusar masyarakat mendapatinya. Kabar yang datang mengharuskan keseluruhan Depati turun duduk menggelar pertemuan besar dalam rangka menanggapi perintah tersebut. Besok lusa, tepatnya hari ahad pertemuan akan di adakan di rumah gedang.
Sementara di sisi lain dalam sebuah rumah panggung tua, seseorang perempuan paruh baya sedang asyik meramu sesuatu, dalam sebuah Cembung (sejenis mangkok) berisi irisan jahe, tumbuhan kumis kucing, getah gambir, daun jarak, juga beberapa kain hitam yang isinya entah apa. Mulutnya berkomat-kamit merapal sejenis mantra pemanggil, kemudian cembung yang berisikan ramuan tersebut diberi air, lalu air tersebut disimpan dalam wadah yang nantinya akan digunakan sebagai medium pengobatan. Nek Rabati, seorang dukun pengobatan dengan medium herbal sebagai spesialisnya, kerap mengobati penyakit ringan yang disebabkan gigitan hewan berbisa hingga kena guna-guna. Ia adalah seorang perempuan yang gemar membantu orang lain dengan sukarela, pengobatannya-pun sebenarnya dibayar seikhlasnya, boleh dengan beras, rokok kretek, ataupun dengan buah-buahan. Pernah satu kali kesempatan Nek Rabati mendapati seorang yang membayarnya dengan seekor ikan mujair besar, ia hanya tersenyum sambil menerimanya, yang jelas ia suka membantu orang.
Berbeda dengan saudaranya yang dikenal sebagai penari ritual, judes dan tak suka keramaian. Ino Supaik, adalah saudara sedarah dari Nek Rabati, mereka tumbuh dan besar bersama sedari kecil, ketertarikan pada dunia spiritual mereka sudah tampak sedari mereka berumur 5 tahun. Ino Supaik dengan paras cantiknya selalu suka seni mengolah tubuh, menari sudah menjadi bagian dari hidupnya, ia menari hampir setiap hari, di manapun, dalam kondisi apapun, hal itulah yang memicunya menggeluti tarian ritual yang konon punya kekuatan spiritual dalam pengobatan.
Sedangkan Nek Rabati sama seperti anak perempuan kebanyakan, gemar bermain masak-masakan dengan media tumbuhan, suka berbagi juga baik hati. Paras wajahnya tak kalah cantik dengan Ino Supaik, tapi dengan pembawaan pemalu, Nek Rabati cenderung bersembunyi di balik kecantikan Ino Supaik. hingga mereka beranjak dewasa kemudian memilih pasangan hidup masing-masing, Nek Rabati selalu mengeksplor khasiat tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari, ia banyak menemukan obat herbal dan juga khasiat dari hama-hama seperti laron yang jika di olah dengan baik akan menjadi ramuan awet muda yang manjur, saking manjurnya terbukti dengan wajah awet mudanya Ino Supaik yang rajin mengonsumsi ramuan saudaranya itu.
"Ini di minum 2 kali sehari, jangan lupa ramuannya di simpan baik-baik, kalau bisa di jaga dari debu dan semut" Ucap Nek Rabati kepada pasangan suami istri yang datang kepadanya meminta obat kuat alami agar tahan lama dalam berhubungan suami istri. "Kalau bisa minumnya sebelum matahari terbenam dan sebelum matahari terbit" Lanjutnya.
"Baik nek, terima kasih banyak, ini ada sedikit dari hasil panen kami di ladang"
Pasangan suami istri tersebut memberikan sebuah bingkisan yang di dalamnya berisi jagung dan cabai merah hasil dari panen mereka