Munyerau

Rizky aditya
Chapter #3

Sirih, kemenyan, dan jeruk purut


Jeruk purut jantan dan betina di tusuk dengan jarum

setelah itu diberi mantra, kemudian diikat dengan benang 7 macam warna.

Setelah itu dimasukkan ke dalam sumur,

maka sesiapa yang mandi dengan air sumur tersebut akan sakit9


Suara kokokan ayam jantan adalah penanda bahwa pagi datang begitu cepat pagi berembun dengan kabut cukup tebal menghalangi jarak pandang, di tengah hutan rimba belantara aku mendapati betisku digerogoti serangga, ingin rasanya kuusir mereka dengan satu sapuan tangan tapi jemari hingga lenganku tak kunjung merespon perintahku.

"Ada apa ini? Aku sudah mati?" "Tidak! Masih kurasakan udara sejuk mengalir di tenggorokanku"

Perlahan kuraih satu persatu akar yang sedikit menjulang di tanah, juga rerumputan yang bisa kupegangi, tak sadar sudah berapa senti aku bergeser hingga aku sampai di bibir sungai setinggi mata kaki tersebut. Ku baringkan tubuhku yang lemas ke dalamnya hingga menggenangi telinga, tak sampai ke wajahku.

Aliran sungai yang jernih dan layak konsumsi itu kuminum dengan lahap, seolah sanggup kuhabiskan seisi aliran sungai, aku seperti seorang musafir dari padang pasir, yang setelah perjalanan panjangnya menemukan oasis, yang bukan fatamorgana "Haahh" aku menghela nafas panjang, sebelum bangun dari kasur berisikan air yang membanjiri tubuhku. "Sudah berapa lama sejak aku terbaring di tengah hutan?" Satu minggu? atau hanya satu malam?" Gumamku sendiri.

Ku lihat kebaya yang kugunakan berlumur darah kering dan bau pesing

"Oh iya, aku pingsan setelah tak sanggup lagi mengayunkan kaki untuk pulang semalam"

Dengan terpongah-pongah aku melangkah maju, menyusuri ingatan samar yang ada dalam benakku, tak terlalu jelas hutan mana yang sedang kulewati, yang pasti adalah aku harus pulang. Tak jauh aku melangkah kulihat sepasang suami istri, lebih tepatnya kakek nenek yang sedang menggarap ladang, tanpa pikir panjang kuhampiri mereka, "setidaknya bertanya ini di mana saja sudah cukup" gumamku dalam hati.

"Pak, buk, ini di mana ya?"

kedua orang tersebut sedikit bingung dengan ucapanku, nampaknya mereka tak mengerti apa yang kuucapkan

"Pak, buk boleh saya tahu ini di mana?" Kuulangi perkataanku tapi tetap saja mereka tak menjawab, sedikit kesal karena aku tak di hiraukan lantas kutinggalkan mereka, sambil meraba batang pohon sebagai bantuan berjalan kulangkahkan kakiku pelan-pelan, sebab masih terasa sakit setelah aku bangun dari tidurku. Aku menoleh ke kiri, dari ekor mataku kulihat bayang-bayang yang mendekatiku, ketika aku menoleh, rupanya dua orang kakek nenek tadi sedang membuntutiku, membawa cangkul dan sabit di tangan mereka, mereka berjalan tergesa-gesa seolah hendak mengejarku, aku panik seketika lantas kupercepat langkahku, tak menoleh ke belakang lagi hingga aku rasa cukup jauh barulah aku berani menoleh ke belakang.

Rupanya mereka semakin dekat denganku, kulihat wajah mereka bukan manusia, pucat dengan bola mata hitam pekat, belatung keluar menggeliat dari tubuh mereka.

"Jangaaan mendeeekaat..." Aku berteriak sekencang mungkin sambil berlari secepatnya. Tak kuhiraukan lagi luka ditubuhku yang terasa sakit bukan main itu. Aku sampai pada sebuah jalan setapak yang tampak tak asing bagiku

"Bukannya ini jalan menuju tempat ritual itu?" Aku kenal betul dengan jalan itu, sebab bukan sekali dua kali kulewati jalan itu. Ku lihat ke belakang sudah tak ada lagi dua makhluk aneh itu, "Huh...aku selamat" Sedikit terengah kulihat kakiku berlumuran darah, tergores karena tak kupakai alas kaki, tapi tak berasa sakit sedikitpun, aku kembali menelusuri jalan itu, hingga menghantarkanku pada tempat ritual yang kujalani semalam.

Terkejut bukan main kulihat Ino Supaik dan para penarinya sedang menari mengobati seseorang dan di kafan di tengahnya, seorang perempuan, tak begitu jelas wajahnya karena ia membelakangiku, aku takut dan mengintip dari sela pohon besar. Mantra itu dilontarkan lagi!

"Berkeak nineak junjeu ngan di junjeu, berkeak ibiu ngandau dimu ngandau, berkeak bapeak ngan dimu mapoah, ooooh lepeh kuarau ku mintok ampau, mintok ampau gureu ngan ku junjeu"

Tampak perempuan itu menggeliat kesakitan, begitu kesakitan hingga kurasakan pada diriku. Mantra itu makin cepat dan hingga akhirnya perempuan itu memuntahkan darah yang di dalamnya terselip pecahan beling, butir nasi, dan tulang ikan.

Lihat selengkapnya