Inilah tawar kapur kata aku
Kapur jinadab, jinadabkan kalau....(isi dengan nama target)....tidak turun
Di guncang darah kau, diguncang hati kau, diguncang keno gebuk
Keno idak kaboleh luput, keno patikoh 33
Kalau tidur suruh nyo duduk, duduk pulo suruh tegak,
Tegak bujalan, munurut serau!
Inilah tawar kapur kata aku
Kapur Jin, Jin akan datang bila (nama) tidak turun
Di guncang darahmu, diguncang hatimu, diguncang kena pukul
Tak akan boleh meleset, kena kutukan yang ke 33
Jika tidur suruh ia duduk, duduk pula suruh berdiri
Berdiri lalu jalan, ikutilah Serau!
Malam Kamis, belakang lahan pemakaman umum Sungai Bungkal, seorang pemuda tampak sedang meramu sesuatu, terlihat ditangannya memegang sebuah kain kafan bekas dari makam yang telah tergali, entah digali oleh apa, tampak bukan ulah manusia, lebih ke pekerjaan binatang yang memburu bau tak sedap dari kuburan. Pemuda itu jongkok di samping makam galian itu, kain kafan itu masih ia genggam, sembari menegak sebotol minuman dari kencur dan gula merah, ia tampak sempoyongan, begitu ia terduduk karena tak sanggup menopang badannya, ia tiba-tiba menangis dan berteriak kencang memekik "Bulan..." Sesaat setelah itu ia mengeram sembari mengaduk-aduk larutan yang ia minum sejak tadi, minuman dalam botol yang berisi kencur dan gula merah, diaduknya dalam mangkok putih, bersama dengan potongan tulang belulang yang lebih tampak seperti gigi, rambut manusia yang panjangnya kisaran 20 sentimeter, katak hijau dalam tempurung, sirih yang telah memerah sehabis dikunyah, dan terakhir perasan jeruk purut yang di sunat ganjil.
Unduk Sibalawi, pemuda yang berasal dari kalangan menengah itu akrab disapa Unduk, ia bekerja menggarap sawah dan ladang miliknya sendiri, warisan dari leluhurnya. Unduk yang hidup sendiri selalu berkecukupan, hampir tak pernah ia merasakan yang namanya kekurangan dan kelaparan. Unduk dikenal sebagai pemuda yang gemar sekali membantu orang, dermawan dan baik hati adalah cerminan dari sikap Unduk. Tak jarang Unduk memberikan beberapa pekerjaan kepada warga yang membutuhkan, walaupun Unduk hanya mampu memberikan gaji yang tak seberapa, akan tetapi warga yang ia bantu sangat berterimakasih kepadanya atas bantuan yang ia berikan, memang sesekali unduk menambahkan bingkisan berupa hasil panen sebagai permohonan maaf akan gaji yang tak seberapa itu.
Malam itu Unduk tampak gusar dan tak seperti biasanya, perasaannya berkecamuk seperti api yang siap membakar siapa saja, Unduk mabuk-mabukan seperti orang gila, ia menghantam apa saja yang lewat di depannya, orang yang melihat Unduk dalam keadaan mabuk menjauhkan diri mereka, takut akan bahaya dari amukan pemuda tersebut. Kabar burung beredar bahwasanya Unduk yang gusar dan penuh amarah tersebut baru saja kehilangan orang terkasih, perempuan yang ia cintai meninggal dunia tepat di hadapannya. "Wajar dia jadi gila!" Ucap salah seorang warga yang melihat kelakuan unduk, "padahal dari keluarga baik-baik, bisa gila juga kalau ditinggal kekasih". Kata-kata buruk tentang Unduk terus saja terlontar dari mulut warga, tak peduli seberapa sering Unduk membantu mereka, seberapa baik Unduk pada mereka, tetap saja Unduk malam itu adalah aib bagi mereka.
Tepat pada pukul dua belas siang tadi, seseorang perempuan telah berpulang kepada yang maha kuasa, perempuan dengan tinggi semampai, kulit sawo matang, matanya bulat dan senyumnya manis dengan bibir tipis, rambutnya hitam kecoklatan sebahu. Ia adalah Bulan, Sekar Bulan Sirandu, kekasih Unduk Sibalawi. diduga meninggal akibat keracunan, Bulan mengonsumsi obat pelangsing dari salah satu dukun herbal dari kampung seberang. Obat pelangsing tersebut telah ia konsumsi hampir 2 tahun, dan benar saja Bulan adalah perempuan langsing yang cantik, tapi entah kenapa Bulan selalu mengonsumsi ramuan itu setiap hari seolah ingin menghabiskan tubuhnya, sampai tulang belulang.
Siang itu Bulan telah pergi untuk selamanya, Unduk yang sedang menggarap sawah lantas berlari sekencangnya menuju rumah Bulan, tak ia bersihkan lumpur yang menempel di tubuhnya, pacarnya, kekasih hatinya telah berpulang untuk selamanya. Setibanya di sana Unduk menangis sejadinya, memeluk jasad Bulan yang dingin tak mengalir darah itu. Unduk terus saja berbicara pada Bulan seolah ia mendengarkan Unduk seperti hari biasa mereka berkencan.
"Lan, kenapa pergi dulu? Aku usahakan ini semua untuk kita Lan, ingat kan kamu bilang kalau besok tak perlu kaya raya asalkan kita berkecukupan dan hidup tenang? Itu mimpimu kan Bulan? Bangun Lan, bangun." Tangisan semua orang yang melayat pecah seketika menyaksikan dua orang kekasih yang saling mencintai itu berpisah. Unduk dan Bulan adalah sepasang kekasih yang disenangi warga sekitar, mereka tak pernah berduaan, selalu melibatkan diri di tengah masyarakat, bahkan mereka selalu melakukan kegiatan untuk membantu warga, wajar saja tangisan itu pecah.