Munyerau

Rizky aditya
Chapter #5

Kanyaho dan Si mata merah

ASAIK

Tanah Kincai, tanah nyo saktai, ado puningga maso dahulu, ado Kanyaho tumbuhnyo tigo

Satau tumbauh di Hiang Tinggai, nyo bunamo Kanyaho Ambo, nyo dihuni uhang kuramat.

Duo tumbuh di Depati Tujuh, nyo bunamo Kanyaho Mangko, nyo dihuni Si Hulubalang,

Hulubalang Bumato Merah, Hulubalang Busungauk Lentik

Pande mungembang si bungo layu, Pande mungidup Si ranting Matai

Tigo tumbuh di Tanah Rawang, nyo bunamo Kanyaho Batuah,

Situ ado payau sa kakai, situ ado Tanah Sabingkeh11

...

"Tanah kerinci, adalah tanah yang sakti, dahulu ada peninggalan berupa pusaka, pusaka tersebut berwujud Kanyaho (pohon besar dan rindang). Kanyaho hanya tumbuh sebanyak tiga buah di dataran Kerinci, yang pertama tumbuh di Hiang Tinggi, namanya adalah Kanyaho Ambo, di sana Kanyaho dihuni dan dijaga oleh Orang Keramat, tiada yang tau persis siapa dia. yang ke-dua tumbuh di Depati Tujuh, namanya Kanyaho Mangko, dihuni pula oleh Hulubalang, bermata merah julukannya, berkumis lentik rupawannya, konon, Hulubalang mampu menghidupkan ranting yang mati, serta mampu membuat bunga yang layu kembali mekar. Dan yang terakhir tumbuh di tanah Rawang, namanya Kanyaho Batuah, di situ terdapat payung se-kaki, dan tempat itu adalah Tanah Sabingkeh (tanah adat)..." Pak tua yang dikenal sebagai Mangku Bumi tengah bercerita, duduk sambil menghisap rokok dari daun nipah favoritnya.

Di luar gerimis sedang menyerbakkan rintiknya, delapan orang murid pencak silat tengah duduk di rumah panggung, mendengar Mangku Bumi sedang bercerita tentang beberapa sejarah, Mangku Bumi atau lebih akrab di sapa Pak Ngah adalah satu-satunya guru pencak silat di tanah Kerinci, semua orang menghormati beliau layaknya seorang pemegang tahta raja, wajar saja, mengingat Pak Ngah sudah mengajar pencak silat dari zaman kerajaan masih dipimpin oleh Depati Mudo II lebih dari delapan puluh tahun lalu, anehnya beliau yang bisa dibilang berumur hampir satu abad itu masih berbadan tegap, hanya sedikit kesulitan mendengar dan pandangannya agak buram. Hal tersebut masih cukup untuk membuat semua orang berdecak kagum dengan kesehatan Pak Ngah, pernah sekali kesempatan, salah satu murid beliau menanyakan resep awet mudanya serta alasan mengapa beliau bisa selalu sehat, Pak Ngah hanya menjawab dengan nada sedikit bergurau, "Hanya dengan murah senyum dan makan makanan dari hasil bumi Kerinci, juga jangan lupa jika bertemu kucing yang kelaparan, selalu di kasih makan ya," Pernah juga salah satu yang penasaran mengapa beliau panjang umur bertanya apakah beliau terikat dengan makhluk dari dimensi lain seperti jin, beliau dengan nada tegas serta tenang menanggapi, "Adakah hal lain yang ingin di tanyakan? Baiknya pertanyaan itu tak ananda tanyakan lagi, tak elok bila dilontarkan ke orang lain, bisa menimbulkan salah paham." Semenjak saat itu tak ada lagi yang berani menanyakan perihal privasi beliau, entah resep awet mudanya, maupun rahasia kebugaran.

"Pak Ngah, sekiranya hamba hendak bertanya perihal mengapa pusaka selalu dihuni, apakah yang mereka jaga di balik itu Pak Ngah?" Ucap seorang murid bernama Paduko Berhalo.

"Wah, ada apa gerangan ananda Paduko? Sesuatu mengganggu pikiranmu?" Kata Pak Ngah menelisik.

"Sedari dahulu ino (panggilan untuk nenek) selalu bercerita bahwa Kanyaho yang merupakan pusaka selalu di awasi oleh penjaganya, konon dikatakan dalam beberapa hikayat, bila ada yang berhasil menemukan sebutir mustika, maka akan mendapat hidup yang kekal, benar begitu Pak Ngah?"

Dengan santai serta senyum tipis Pak Ngah berkata, "Paduko, hidup kekal bukanlah sebuah hal yang baik, percayalah"

"Mustikanya Pak Ngah, mau dijadikan batu cincin" Jawab Paduko dengan polos

"Engkau mau ambil mustika hanya buat jadi batu cincin? tak mau hidup kekal?" Kata Hamid salah satu murid perguruan.

"Tak mau, aku hanya mau nambah koleksi batu cincin saja"

"Ada-ada saja kamu Paduko, tak perlu payah mencari mustika, minta saja sama ayahandamu, koleksinya banyak bukan?" Kata Pak Ngah sambil mengusap kepala Paduko.

"Baik kau ikut aku mencari lele besok di sungai, mana tau nanti ketemu mustika juga," Saldi mencoba mengajak Paduko

"Mustika apa yang ada pada lele?"

"Mustika kuning tak bertulang, alias tai"

Semua orang tertawa akan tingkah Saldi yang menggoda Paduko, sedang Paduko senyum tersipu malu di tengah gelak tawa.

"Pak Ngah... Ceritakan tentang Hulubalang boleh?" Seorang anak dengan nada lembut bertanya, namanya Salabah, orangnya pemalu, ia adalah adik dari Paduko.

"Hulubalang? kita sudah mengulang cerita itu puluhan kali Salabah, masih mau dengar cerita yang sama?" Saldi memotong percakapan Salabah, sedang Salabah tertunduk sedikit murung.

"Sudah, tak masalah Sal, kalian ini memang suka menjahili adik kalian ya" Pak Ngah menengahi permbicaraan, kemudian melanjutkan "Hulbalang bermata merah, Hulubalang berkumis lentik, kesatria gagah berani dari Depati Tujuh, penjaga Kanyaho Mangko, tak pernah kalah dalam bertarung, berjiwa besar serta rendah hati, kesaktiannya mampu menghidupkan ranting yang mati, serta mampu memekarkan bunga yang layu.." Cerita dari Pak Ngah terhenti sejenak, tampak wajah dari Salabah mulai menelusuri kelanjutannya meskipun ia sudah tahu betul apa kelanjutannya.

"Lalu apa Pak Ngah?" Sahut Salabah

"Kita lanjutkan nanti, gerimis sudah pergi, ayok latihan lagi"

"Baik Pak Ngah" Semua serentak menjawab sembari beranjak ke pekarangan.

Malam itu seperti biasa anak-anak perguruan melakukan ritual sebelum memulai latihan, yaitu dengan berjalan mengelilingi tempat latihan sembari memberi sembah, berjalan membawa pedang bambu dan melakukan tarian Langkah Tiga (Mirip langkah segi tiga dalam sikap dasar dalam pencak silat). Terakhir, memberi sembah kepada tuan guru.

Perguruan pencak silat yang dipimpin oleh Pak Ngah berlanjut hingga jam 3 dini hari, sebelum latihan berakhir, semua murid membentuk lingkaran, memberi sembah akhir kepada tuan guru, dan diakhiri dengan Sekapur Sirih (istilah untuk wajengan, atau arahan sebelum mengakhiri latihan) dari tuan guru.

Lihat selengkapnya