Suara dentuman jarum jam menandakan tengah malam telah datang, dalam kamar empat kali tiga aku masih merenungi apa yang dikatakan oleh seseorang yang menyebut dirinya Ino Supaik, tak bisa kuelakkan bahwasanya aku sangat khawatir akan hal itu. Aku mencoba terus menerus meyakinkan diri agar tak menghiraukan hal yang tabu namun usahaku nihil, semakin larut maka aku semakin takluk. Dalam keadaan getir kurasakan dinginnya malam Kerinci dari balkon belakang rumah yang menghadap langsung ke gunung Kerinci. Suara lepas desiran angin menghembuskan beberapa nada jangkrik dan suara eram burung hantu, udara lembap dan basah dapat kurasakan ketika angin malam Kerinci yang lemah lembut menghampiri hidungku. kuhirup dalam-dalam, "Sebuah ketenangan" Kata-kata itu selalu kuucapkan apabila sedang tak bisa tidur, menghirup udara malam dan tentu saja secangkir teh dari hasil petani Kerinci selalu menjadi yang terbaik menemani malam yang larut.
"Bahkan dalam gusar dan risau, masih saja ada ketenangan" Aku bergumam dan tanpa sengaja melepaskan senyum dari bibirku. "Serau? Orang lemah mana yang masih mau menggunakan itu? Jika ingin memperoleh cinta, jangan pakai cara kotor!" Tegukan terakhir dari secangkir teh Kerinci tersebut membuyarkan amarahku. Ketika hendak melangkakan kaki beranjak dari balkon, kudapati bayangan dari balik rerumputan dan semak belukar, tidak terlalu jelas tapi aku tahu itu bayangan manusia, "Siapa di situ?" Teriakku sembari beranjak menutup pintu belakang rumah dengan sedikit usaha, sebab pintu dari kayu tersebut jika ditutup dengan cepat akan menimbulkan suara cukup bising, "Pintu anti maling" Kata mendiang ayahanda, sebab di belakang pintu tergantung kalung sapi dari pahatan kayu yang cukup untuk menimbulkan suara bising bila ada pergerakan.
Perlahan kuarahkan senter ke arah semak tersebut sembari mengatup pintu pelan-pelan, ketika hampir seluruh pintu tertutup rapi, jelas sekali kulihat seorang yang bahkan tak mau aku sebut manusia, matanya tak berkelopak dan melotot, rambutnya panjang dan basah, juga tak akan kulupakan darah yang mengucur di wajahnya tersebut. Seluruh tubuhku merinding, namun masih kutahan hingga pintu benar-benar tertutup. Spontan aku berlari ke dalam kamarku yang remang hanya di terangi lampu damar, kututup seluruh tubuhku dengan Semulung (tikar anyaman dari purun, biasa digunakan untuk lapisan selimut), tak berani aku menoleh barang sedikit pun, tak begitu jelas, akan tetapi aku tahu betul itu menakutkan.
"Kalau tidur suruh nyo duduk, duduk pulo suruh tegak, tegak bujalan, munurut serau"
Suara tersebut terus berulang hampir setengah jam, selama itu pula aku mengurung diriku dalam semulung. Ketakutanku semakin memuncak ketika bau amis darah tercium dari dalam kamar, tak lama berselang bau kemenyan mengikutinya, semerbak bercampur dengan pesing kuat tersebut. "Sudah, aku tidak kuat lagi, pergi!" Ku teriaki sosok tersebut sembari bercucuran air mata, tak dapat kutahan akan rasa ketakutan ini hingga suara tersebut benar benar menghilang, barulah mataku mampu memejam, tentu saja dalam keadaan cemas. Tepat sebelum terlelap, entah mengapa aku teringat akan peringatan orang yang menyebut dirinya Ino Supaik,
"Besok harus kutemui wanita itu!"
Hujan lebat mengguyur tanah tropis Kerinci, hawa dingin pegunungan merasuk ke dalam bangunan kayu melalui celah-celah ventilasi, mampir sejenak hanya untuk menyapa gadis yang dirundung gemetar, lalu meninabobokannya sebelum pamit meninggalkan mekar merekah bunga kol sebagai penanda mulainya aktivitas baru.
Pagi-pagi sekali kusibak tirai kamarku yang menggantung, kubawa segunduk kain ganti yang berbalut selendang batik, di dalamnya kuselipkan juga beberapa bekal makanan dan minuman. Tanpa sepengetahuan ibunda aku berjalan menyusuri jalanan setapak hutan Kerinci, berjalan menyusuri sungai dan lebatnya pohon pinus aku sampai di rumah Sari
"Sar..Sar..Sari" Ku ketuk jendela kamar dari kayu tersebut sembari sesekali meneriaki parau namanya, "Sari, bangun.."
"Ini masih pagi loh Put, ada apa?" Sari yang setengah sadar tersebut dengan mata masih menahan kantuk serta rambut yang kusut membuka jendela, "Oh masuk dulu"
"Tak usah, tunjukkan aku jalan ke tempat wanita kemarin, siapa ya?.. i.. Ino Supaik!" Aku mencoba mengingat namanya
"Serius kamu? Ada apa kamu menemuinya?" Seketika mata Sari langsung melek
"Sudahlah, aku ada perlu, tunjukkan saja"
"Bahaya Putai! Aku tak mau kamu celaka"
"Ada satu urusan yang harus aku putuskan Sar, kumohon padamu jangan bilang siapa-siapa ya, nanti sore aku pulang kok"
"Hmm..Ya sudah, kalau begitu, hati-hati Put, aku tidak tahu di mana Ino Supaik berada, akan tetapi Nek Rabati barangkali bisa membantumu, ia kenal banyak orang"
"Baiklah Sar, aku permisi pamit" Aku melangkah menjauh dari rumah Sari dan segera menuju ke rumah Nek Rabati
"Put.." Belum sempat langkahku menjauhi pekarangan rumah Sari, ia berteriak padaku, "Janji harus pulang ya"
Aku menoleh ke arah Sari dan mengangguk memberikan senyum pertanda aku menaruh janji yang sama padanya, gadis belia itu benar-benar khawatir akan keselamatan temannya ini. Kulanjutkan perjalanan menuju rumah Nek Rabati, cukup jauh dari kediaman Sari, harus menyeberangi beberapa anak sungai dan mendaki sekitar dua setengah perbukitan barulah sampai ke rumah Nek Rabati. Dari kejauhan kulihat dua orang wanita tampaknya tengah memperbincangkan sesuatu, tak berani lagi kudekatkan langkah kaki, aku bersembunyi di antara dua batang pohon sirsak yang tak jauh dari kediaman Nek Rabati tersebut, kuamati dengan jelas salah satu wanita tersebut adalah Nek Rabati, dan wanita satunya lagi membelakangi pandanganku, tak tampak siapa ia. Mereka terlihat sedang berdebat akan suatu hal, meskipun tak terdengar dari jarak aku mengintip, akan tetapi tampak dari raut wajah Nek Rabati yang kesal dengan dahi mengerut. Tak lama berselang, kulihat salah wanita yang sedari tadi berbincang dengan Nek Rabati pergi, tak kukenal siapa dia,segera kuhampiri kediaman Nek Rabati setelah itu.
"Nek...Nenek" Teriakku dari kejauhan, Nek Rabati menoleh ke arahku, tampak air mukanya yang kesal segera luntur melihat kedatanganku.
"Putai? Wah apa kabarmu? Mari masuk, sudah lama nenek tak jumpa dirimu, sudah gadis rupanya" Nek rabati menyambutku dengan hangat mengingat memang sudah lama sekali aku tak berkunjung ke rumahnya. Aku mengikuti Nek Rabati dari belakang melangkah menuju rumah panggungnya itu, kutaruh bawaanku di pulasa sedang aku melangkah masuk.
"Mau minum apa nak gadih?"
"Ayia Kawo15 (air daun kopi) saja cukup nek"