"Berkeak nineak junjeu ngan di junjeu, berkeak ibiu ngandau dimu ngandau, berkeak bapeak ngan dimu mapoah, ooooh lepeh kuarau ku mintok ampau, mintok ampau gureu ngan ku junjeu"
Untuk melaksanakan ritual asek, perlu terlebih dahulu mempersiapkan kelengkapan ritual, segala hal yang dimaksudkan dalam ritual bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat. Berikut keperluan ritual
Kelengkapan Asek:
-Kain limo jito (kain putih sepanjang 3 hasta dan lebar 2 hasta, sebagai simbol kesucian dan menjadi penutup bakul)
-Keris
-Benang sepuluh (benang putih dari kapas dengan 10 lilitan)
-Gelang kuningan
-Uang seringgit (dahulu sebesar 2,5 rupiah, sekarang 25 ribu rupiah)
-Cincin anye (cincin kecil dari tembaga dan kuningan)
-Sirih, pinang, dan rokok enau
Sesajen:
-Tiga ayam bakar tiga warna (hitam, merah, kuning)
-Lemang
-Rendang breh-bertih (rendang beras-padi) yang dimasak tanpa minyak.
-Bungo adum tujuh warno sembilan18
-Kemenyan
***
Matahari senja memancarkan cahayanya yang gemerlap, dari balik rindangnya jalanan Kerinci, cahaya itu menjadi benar-benar utuh seperti gemerlapnya bintang, hanya saja sedikit merah. Perjalanan pulang terasa amat panjang, tak seperti keberangkatan awal di mana aku beberapa kali menghentikan langkah di beberapa tempat, mampir di rumah sari dan juga Nek Rabati tak membuat perjalanan terasa lama, lain halnya dengan pulang, jarak tempuh dari kediaman Ino Supaik ke rumahku berkisar 13 Kilo Meter. semua itu dilewati dengan jalan kaki, bukan main lelahnya jika hanya dibayangkan. Aku terus melangkah maju, kulihat anak ayam hutan berlarian di pinggir jalan, seketika ia melihatku, induk ayam buru-buru memanggil mereka memperingatkan akan bahaya, sekilas mengingatkanku masa kecil ketika hampir malam, ibunda sudah meneriaki aku dari kejauhan, menyuruhku untuk pulang, sedang aku masih berlarian bersama Sari di hamparan sawah dekat rumahku.
"Putai! Sudah mau gelap ini, nanti ayahanda pulang belum ada kamu di rumah pasti marah ia" Ibunda dengan cerewetnya membawa rotan sembari berteriak dari pinggir sawah
"Haha sana pulang dulu" Sari mengejekku, sedang ia masih bermain bersama anak-anak desa lain
"Sari pulang juga!" Sahut Ibunda
"Pulang juga kan hehe" Gurauku kepada Sari sembari kami menuju tepian sawah, menghampiri ibunda yang tengah khawatir jikalau anaknya tak pulang bila larut telah datang.
Sekejap khayalanku buram, teringat akan ibunda di rumah, ia pasti menungguku dengan cemas, barangkali memegang rotan juga. Aku terus melaju pulang menyusuri anak sungai dan rindang hutan Kerinci, jika melihat ke arah barat, terlihat jelas gagahnya gunung Kerinci yang menjulang tinggi, matahari terbenam di belakangnya seolah memancarkan cahaya terakhir sebelum tenggelam di punggung gunung Kerinci. Aku dikagetkan dengan suara lonceng kayu Pedati yang lewat, seorang pak tua yang keheranan melihat anak gadis berjalan sendiri menyusuri panjangnya jalanan Kerinci bertanya.
"Nduk, mau ke mana?" Tanya beliau
"Oh ini, mau pulang ke seberang pak" Kujawab secepat mungkin, kemudian mengedarkan pandangan ke arah sekitar