Ino dimakamkan tepat di depan rumahnya, sengaja tak di pemakaman umum sebab Ino pernah berpesan sebelum kematiannya, ia sangat suka melihat rindangnya tebu hitam, katanya nanti ketika meninggal ingin dimakamkan di sana, biar bisa menikmati manisnya tebu. Wasiat yang aneh itu ia tulis satu bulan sebelum kematian, di ukir dengan tulisan Incung di atas kulit sapi kering, dengan tinta hitam pekat, di antara wasiat yang ia tinggalkan adalah berupa hak waris rumah tinggal yang diberikan padaku, sekaligus memintaku menjadi penari ritual Asek. Selanjutnya Ino berpesan memberikan gelang emasnya kepada Nek Rabati, saudari sekandungnya. Terakhir, "Jangan pernah menolak orang yang membutuhkan pertolongan" Kalimat itu selalu aku pegang selamanya.
Sudah satu minggu aku mengurung diri di rumah ini, tempat di mana dahulu selalu bersama Ino Supaik, Ino Supaik telah meninggal lima tahun yang lalu, orang-orang sudah mulai lupa akan sosok penari ritual Asek tersebut, hanya segelintir yang masih mengingatnya, Aku, Nek Rabati dan Sari, Mungkin hanya kami bertiga yang benar-benar mengenang kematian Ino Supaik.
Sembari memandang kuburan Ino Supaik aku melamun mengingat kembali hal yang telah terjadi padaku lima tahun lalu, tahun terberat dalam sejarah, tahun terberat juga bagi negara, dalam gempuran krisis moneter serta inflasi mata uang masyarakat Kerinci malah sibuk-sibuknya menyembah pohon, kuburan, juga goa-goa besar, begitu primitif. Tapi juga banyak yang telah memeluk agama Islam semenjak kedatangan tiga orang pemuda dari kerajaan Indrapura tersebut, tak ada paksaan ketika mereka mengajak memeluk agama, juga mereka datang dengan damai.
Ku ambil campuran daun sirih beserta kapurnya, biji pinang, serta getah gambir, kemudian mengunyahnya menjadi satu, seketika mulutku memerah karena efek dari campuran tersebut, tak ada yang khusus, akan tetapi menurut medis campuran itu baik bagi kesehatan gusi dan gigi, jadi aku mulai suka mengunyahnya. Sambil menyiapkan beberapa perlengkapan Asek aku menatap wajahku dari pantulan air dalam cembung, "Kini aku adalah penari Asek!" Gumamku sendiri. Aku terus menggulung benang tujuh rupa pada tulang belulang yang nanti akan dijadikan perlengkapan ritual, soalnya nanti malam akan ada seorang gadis yang hendak berobat, bukan serau, hanya penyakit biasa yang tak bisa sembuh oleh medis.
Akulah Puti Dayang, orang lebih mengenalku Ino Putai, seorang penari ritual Asek. Walaupun aku masih muda tapi aku tak masalah di panggil Ino, sebab aku suka dengan nama itu. Aku tinggal sendiri setelah ibunda meninggal, Sari pergi mengikuti suaminya berdakwah, dan Nek Rabati juga meninggal tak lama selang kematian Ino Supaik. Aku tinggal di rumah peninggalan Ino Supaik, melanjutkan wasiatnya juga berladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hidup jauh dari pemukiman memang berat, karena tak ada yang tahu kabarku sering kali orang-orang menganggapku perempuan gila, penari tak waras dengan pengobatan paling manjur, walaupun demikian mereka selalu meminta pertolonganku, baik untuk berobat, sekedar pelet muda-mudi, hingga meminta resep awet muda. Berbeda dengan Nek Rabati yang dibayar dengan hasil kebun, aku tak di bayar sama sekali, bahkan sekedar berucap terima kasih pun tak ada, mereka percaya jika memberikan sesuatu padaku maka otomatis mereka akan kena Serau olehku. Aku tak begitu paham dari mana kabar itu berkembang, akan tetapi aku tak bisa menolak permintaan mereka meskipun aku ingin, tetap saja tak bisa, seolah tubuhku sudah disetel untuk menerima semua permohonan tersebut.
Lama kelamaan diriku mati rasa, seperti tak merasakan emosi apa pun, yang bisa kulakukan hanya berpura-pura saja, tak ada lagi luka, sakit hati, jatuh cinta, bahkan perasaan marah dan sedih juga tak ada. Terkadang aku merindukan perasaan ketika serau datang padaku, begitu bergelora akan cinta yang semu, akan tetapi aku hal tersebut juga mengganggu perasaanku. Aku selalu berpikir apakah serau benar-benar wujud dari pemaksaan cinta, atau adakah serau yang lain? Seperti Rang Kayo Hitam yang karena serau ia membelah bukit hingga membentuk jalanan cantik berhias bunga Edelwiess sepanjang jalan terhampar. Lagi dan lagi, yang ada hanya kehampaan.
"Munyerau...Apa itu sebenarnya?"
***
Lima tahun sudah aku dan ke dua adikku berniaga di Kerinci, Sekepal tanah dari surga julukannya. Selain berniaga kami juga menyebar luaskan agama Islam, berdakwah dalam waktu kurang lebih lima tahun, perlahan masyarakat sudah mulai memeluk agama, kita juga mendirikan masjid agung, yang menjadi masjid pertama di sini. Dengan bantuan para warga, kita membuat jalan lintas menuju Inderapura, yang tentu saja dapat dilalui dengan aman, juga mempermudah pertukaran barang.
Pada hari balai seperti biasanya, Aku berjualan bersama Patih. Tak seperti dahulu, kini kami telah punya kedai permanen dengan gudang yang menampung rempah, telah banyak juga para pedagang lain yang masuk ke sana, tak hanya dari Inderapura juga ada yang dari negeri Minangkabau lain. Seperti biasa rempah dagangan kami terjual habis dalam waktu cepat, bahkan stok gudang untuk minggu depan juga sudah habis terjual, hal tersebut mengharuskanku pulang ke Inderapura dalam waktu dekat.
Aku membereskan lapak dagangan bersama Patih, Damar telah merantau ke negeri Siak untuk mendalami agama bersama istrinya, Setelah menikah Damar tak tinggal bersama kami lagi, ia merantau berdakwah dari suatu tempat ke tempat lain, katanya ia suka bila banyak yang tahu agama Islam. Di saat beres-beres, terdengar suara seorang bertanya, "Permisi, apa rempahnya masih ada?" Seketika aku menoleh ke arahnya, aku ingat lima tahun lalu pernah ada seseorang wanita yang datang pada situasi yang sama, tapi ketika aku menoleh, bukan wanita itu yang aku harapkan datang. "Maaf, sudah habis nona" Ujarku
"Oh baiklah tuan" Wanita tersebut pergi, sedang aku masih mencoba mengingat kejadian lima tahun silam,