Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #1

Asap, Jamur, Api Tungku dan Singkong

Asap tipis berkelindan dari tungku kayu di dapur tua Abah Semat, membentuk spiral lembut yang menari-nari di udara, mencipta bayangan halus di langit-langit dapur. Bau singkong panggang yang terbakar menguar, menyusupi setiap sudut ruangan, menghadirkan kehangatan sederhana yang tak bisa disangkal. Dapur itu adalah jantung rumah, tempat cerita-cerita lama berkumpul dalam diam, menyatu dengan aroma kayu yang terbakar. Di dalamnya, setiap sudut menyimpan kisah yang tak terucapkan, dan setiap benda seolah bernafas bersama kenangan yang menggantung di udara.

Di pojok dapur yang gelap, duduklah Murta, seorang anak lelaki berusia tujuh tahun dengan mata besar dan gelisah. Ia menggenggam sepotong singkong panggang yang kulitnya keras dan kasar, berbeda jauh dengan bagian dalamnya yang lembut. Tangannya gemetar ringan saat menggenggam makanan itu, namun bukan karena dingin. Pikirannya melayang jauh, jauh melampaui dapur ini, menuju pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul dalam benaknya yang muda namun penuh kecemasan.

"Asap ini," pikirnya, "seperti hidupku sendiri. Ada sesuatu yang terbakar di dalamnya, sesuatu yang hilang menjadi abu. Apakah aku juga harus terbakar seperti ini, mengikuti jalan yang telah dipilihkan orang lain untukku?"

Tungku itu terus menyala, suara api yang berderak pelan menambah keheningan yang terasa berat. Di sinilah, di dapur yang tua dan sederhana ini, Murta mulai memahami beban tanggung jawab yang dipikulnya. Sebagai cucu dari Abah Semat, sosok yang dihormati di kampung, ia tahu bahwa ada harapan besar yang dibebankan pada pundaknya yang masih kecil. Namun, tanggung jawab itu terasa seperti belenggu, menahan kebebasannya untuk tumbuh menjadi dirinya sendiri.

Dia memandang singkong di tangannya lagi, membandingkannya dengan dirinya sendiri. "Keras di luar," gumamnya pelan, "tapi lembut di dalam. Tak ada yang tahu kelembutan itu, tak ada yang tahu apa yang tersembunyi di balik kulit keras ini. Aku, seperti singkong ini, menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin tak pernah dipahami oleh siapa pun."

Dapur Abah Semat berdiri sebagai penanda waktu yang bergerak lambat di dunia yang terus berubah. Di luar sana, Pasar Lama Tangerang  mulai sibuk dengan hiruk-pikuknya, pedagang-pedagang berteriak menawarkan dagangan, sementara kereta-kereta kuda berlalu lalang membawa hasil bumi dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Jalanan penuh debu, dan hiruk pikuk itu menjadi tanda bahwa kehidupan di luar terus bergerak, meskipun di dapur ini, segalanya terasa tetap.

Murta tak sering pergi ke pasar. Rumah mereka terletak agak jauh dari pusat kota, di pinggiran desa yang tenang. Dari dapur ini, suara pasar kadang terdengar samar, seolah hanya bayangan dari dunia yang lain. Tangerang di tahun 1965 mulai berubah. Modernisasi perlahan menyusup ke sudut-sudut kota, namun di sini, di rumah Abah Semat, tradisi tetap menjadi penguasa.

Di dapur ini, semua terasa abadi. Di sinilah Murta belajar tentang kehidupan, tentang bagaimana dunia di luar mungkin berubah, tetapi di dalam rumah ini, ada sesuatu yang tak pernah berubah tradisi. Ibu Murta sering bercerita tentang bagaimana pasar dulu. "Pasar itu, Nak," katanya suatu kali, "dulu seperti hutan yang hidup. Pedagang kecil seperti kita tumbuh berdampingan, saling membantu, seperti pohon-pohon yang akarnya saling terkait. Sekarang, pasar itu seperti lautan. Ombaknya besar, dan hanya yang kuat yang bisa bertahan. Yang lemah akan tenggelam."

Kata-kata itu terpatri dalam benak Murta. Pasar yang dulu menjadi pusat kehidupan bagi keluarga-keluarga kecil kini mulai diambil alih oleh para pedagang besar, orang-orang asing dari kota yang datang dengan modal besar. Para pedagang kecil, seperti keluarga Murta, perlahan tersingkir, terhimpit oleh perkembangan yang tak bisa mereka ikuti. Dapur ini menjadi tempat mereka berlindung dari kenyataan dunia luar yang semakin keras.

Namun, di tengah keheningan ini, Murta merasa terperangkap. "Apakah aku harus menjadi bagian dari semua ini?" pikirnya. "Apakah aku harus terbakar habis dalam tradisi yang tak pernah kumengerti sepenuhnya?"

Murta kembali memandang tungku yang menyala. Api itu seperti hidupnyaterbakar pelan-pelan, perlahan menjadi abu. Ia merasa kecil di hadapan semua ini, namun di dalam hatinya, ada suara halus yang terus berbisik. "Apakah aku bisa tumbuh tanpa terbakar?" tanyanya dalam hati. "Bisakah aku menemukan jalanku sendiri tanpa harus menyerah pada tradisi yang telah ditetapkan untukku?"

Dia melihat ke arah luar jendela dapur yang kecil. Angin sore berhembus perlahan, membawa serta bau tanah basah dan dedaunan yang terbawa dari kebun di luar. Murta sering membayangkan dirinya seperti singkong yang tumbuh di tanahkuat, namun tersembunyi. Bahkan singkong yang terkuat pun bisa patah jika tanah di sekitarnya mengering. "Begitu juga denganku," pikirnya. "Apakah aku akan patah di bawah tekanan ini?"

Asap dari tungku terus melayang di udara, membentuk pola-pola yang tak terduga. Murta merasakan sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Sebuah pertanyaan besar muncul, sebuah dilema yang membayangi hari-harinya ke depan. "Apakah hidup ini benar-benar tentang tradisi? Atau ada cara lain bagiku untuk bertahan, untuk tumbuh, tanpa harus terbakar seperti api di tungku ini?"

Di sudut dapur yang temaram, Abah Semat duduk diam, memperhatikan cucunya dengan tatapan lembut yang sarat makna. Suara api yang berderak pelan di tungku menjadi satu-satunya musik yang mengisi keheningan. Di samping Abah Semat, duduklah Abah Marjaya, sahabat lama yang selalu datang berkunjung di sore-sore seperti ini. Cangkir teh dari tanah liat berada di tangannya, menghangatkan jemari yang sudah mulai renta.

Uap teh yang perlahan naik ke udara bergabung dengan asap dari tungku, menciptakan kabut tipis di dalam ruangan yang menghubungkan mereka dalam sebuah keheningan penuh arti. Murta duduk tak jauh, menatap dua sosok tua itu dengan rasa hormat dan penasaran yang tak pernah surut. Ada sesuatu dalam kehadiran mereka yang selalu membuat Murta merasa aman, namun di saat yang sama juga penuh tanda tanya.

Tiba-tiba, suara Abah Marjaya memecah keheningan. "Jamur itu," katanya pelan, suaranya berat tapi penuh kebijaksanaan. "Ia tidak butuh sinar matahari untuk tumbuh, tapi kekuatannya tak boleh diremehkan."

Murta mengangkat kepalanya, menatap wajah Abah Marjaya dengan rasa ingin tahu. Kata-kata itu sederhana, namun mengandung sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang terasa serius, seolah ada pesan tersembunyi di balik perumpamaan yang diucapkan. Ia merenungkan sejenak, mencoba menangkap makna di balik perumpamaan tentang jamur yang tumbuh di kegelapan.

"Sama seperti kita," lanjut Abah Marjaya sambil menatap langsung ke mata Murta. "Di tengah kegelapan pun, kita bisa bertumbuh, kalau tahu caranya."

Kata-kata itu menghujam langsung ke dalam hati Murta. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar nasihat biasa. Abah Marjaya tidak sedang berbicara tentang jamuria sedang berbicara tentang kehidupan. Tentang bagaimana orang-orang kecil seperti mereka, yang hidup di pinggiran dan terhimpit oleh kekuatan yang lebih besar, tetap bisa tumbuh dan bertahan meskipun keadaan tidak berpihak pada mereka.

Abah Semat tersenyum tipis, tapi tidak berkata apa-apa. Hanya matanya yang berbicara, seolah memberi restu kepada Murta untuk memikirkan dalam-dalam filosofi sederhana yang baru saja disampaikan sahabatnya. Di dalam ketenangan dapur itu, Murta merasakan kehadiran kebijaksanaan yang dalam, kebijaksanaan yang tidak selalu diucapkan dengan kata-kata, tetapi terwujud dalam pandangan, dalam diam yang bermakna.

Namun di luar sana, dunia tidak seindah itu.

Setelah sesaat hening, Abah Marjaya mengalihkan pandangannya ke arah jendela kecil yang menghadap ke kejauhan. Dari sana, Pasar Lama Tangerang  yang terletak agak jauh tampak sebagai bayangan samar, hanya terlihat sebagai noktah kecil di tengah lanskap yang luas. Meskipun jaraknya jauh, dampaknya terasa begitu dekat, begitu nyata bagi mereka yang tinggal di pinggiran ini.

“Mereka itu, seperti jamur yang tumbuh di atas bangkai pedagang kecil,” gumam Abah Marjaya dengan suara rendah namun tajam. Tatapannya penuh makna ketika matanya menyusuri cakrawala yang tak terlihat di balik jendela. “Lihatlah pasar itu sekarang, Murta. Orang-orang seperti kita, yang sudah berdagang di sana dari generasi ke generasi, sekarang hanya bisa menonton dari pinggir.”

Murta memandang ke arah yang sama, meskipun dari jendela kecil dapur ini, pasar itu hanya berupa bayangan yang samar. Ia bisa membayangkan keramaian di sana, orang-orang sibuk dengan kegiatan mereka. Namun, apa yang diceritakan Abah Marjaya adalah tentang dunia yang lebih besar, sebuah realitas yang belum sepenuhnya ia pahami.

“Mereka, para pedagang besar,” lanjut Abah Marjaya, suaranya getir, “telah mengambil alih pasar. Orang-orang kecil seperti kita tak lagi punya ruang di sana. Mereka yang datang dari kota dengan uang banyak, membeli kios-kios yang dulu kita bangun dengan keringat kita sendiri. Dan kini, kita terpinggirkan, hanya bisa berdiri di tepi, melihat apa yang dulu menjadi milik kita diambil alih oleh mereka.”

Murta merasakan kepedihan yang mendalam di dalam dadanya. Meskipun ia masih terlalu muda untuk sepenuhnya mengerti dunia perdagangan dan uang, ia bisa merasakan ketidakadilan itu. Pasar, yang dulu menjadi tempat orang-orang seperti kakeknya mencari nafkah, sekarang berubah menjadi tempat yang tak lagi ramah bagi mereka yang tak punya kuasa.

Abah Marjaya menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Mereka datang dengan uang yang banyak, membeli kios-kios terbaik, dan menguasai ruang yang dulu menjadi milik kita. Sekarang, kita hanya bisa menonton dari kejauhan, berharap sisa-sisa dari meja mereka jatuh untuk kita.”

Murta menunduk, merasakan sesuatu yang pahit mulai tumbuh dalam dirinya. Dunia yang digambarkan oleh Abah Marjaya terasa kejam dan tak adil. Ada sesuatu yang salah dengan cara dunia ini bergerak, di mana mereka yang bekerja keras tak lagi punya tempat, sementara yang berkuasa mengambil semuanya. Meskipun ia belum sepenuhnya memahami mekanisme ketidakadilan itu, ia tahu bahwa hidup di dunia ini tidaklah mudah.

Sementara itu, Abah Semat tetap diam. Namun dari sorot matanya yang tenang, Murta bisa merasakan bahwa kakeknya juga merasakan hal yang sama. Ada kepasrahan dalam pandangan itu, seolah dunia telah terlalu jauh berubah, dan tak banyak yang bisa mereka lakukan selain bertahan dengan cara mereka sendiri.

Lihat selengkapnya