Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #2

Tanah, Ladang, Mesin Pabrik dan Debu

Murta berdiri di pinggir ladang singkong yang telah lama kehilangan kesuburannya. Kulit kakinya menyentuh tanah yang kering dan retak, terasa kasar dan tak ramah di bawah telapak kakinya. Matahari terbenam di cakrawala, menyisakan langit berwarna oranye dan merah tua, sementara angin malam berhembus pelan, membawa serta debu-debu yang berterbangan di sekitarnya. Tanah di bawahnya terasa keras, seolah memproyeksikan isi hatinya yang mulai merasakan tekanan.

"Tanah ini, seperti diriku," pikir Murta dalam hati. "Di balik kakinya yang kokoh, retak perlahan, butuh air namun tak selalu mendapatkannya."

Ladang singkong ini bukan hanya sepetak tanah biasa. Di sinilah ia menghabiskan masa kecilnya, bermain di antara tanaman yang dulu hijau dan subur, sembari mendengar suara alam yang penuh kehidupan. Namun, kini, yang tersisa hanyalah kekeringan dan kehampaan. Tanaman singkong yang dulu tumbuh subur, kini berdiri layu, seolah menunggu hujan yang tak kunjung datang. Ladang itu, bagi Murta, menjadi simbol dari beban tanggung jawab yang semakin hari semakin berat menghimpit bahunya.

"Bagaimana mungkin tanah ini dulu begitu hidup?" gumam Murta, menatap garis-garis retak yang semakin dalam pada tanah. “Sekarang yang ada hanya kekosongan.”

Ia ingat betapa ladang ini dulu adalah tempat perlindungan, tempat di mana ia bisa melupakan sejenak beban keluarga dan tradisi yang selalu menuntutnya untuk menjadi sesuatu yang besar. Tetapi sekarang, setiap sudut ladang ini seolah berbicara tentang janji yang belum ditepati, tentang mimpi-mimpi yang terabaikan di bawah langit yang kering.

Perlahan, ia menghela napas, merasakan bahwa tanah di bawahnya bukan hanya cerminan kondisi alam, tetapi juga dirinya sendiri. Hatinya yang dulu penuh semangat dan harapan, kini terasa seperti tanah yang retak kering, rapuh, dan menunggu sesuatu yang tak pasti.

Dari kejauhan, kampung mereka terlihat sepi. Rumah-rumah yang dulu ramai dengan tawa dan percakapan kini mulai kosong satu per satu. Beberapa di antaranya telah ditinggalkan pemiliknya yang pergi ke kota, mencari kehidupan yang lebih baik. Murta bisa melihat deretan rumah itu dari ladang tempat ia berdiri, dan setiap kali ia melihatnya, hatinya terasa semakin berat.

"Kampung ini," pikirnya, "dulu seperti surga kecil di tengah dunia yang semakin sibuk. Dari ujung ke ujung, ladang-ladang dan kebun jagung memenuhi pandangan. Burung-burung bernyanyi setiap pagi, dan angin yang berhembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Tapi kini, yang tersisa hanyalah keheningan."

Murta mengingat masa-masa ketika kampung ini masih penuh kehidupan. Setiap pagi, ia bisa mendengar suara orang-orang yang berangkat ke ladang, bercakap-cakap dengan tetangga, saling berbagi cerita dan tawa. Udara pagi selalu segar, dipenuhi oleh bau tanah yang masih basah setelah hujan semalam. Burung-burung akan berkumpul di pepohonan, menyanyikan lagu-lagu yang menambah kehangatan suasana.

Namun, sekarang, kampung ini terasa seperti tempat yang berbeda. Rumah-rumah mulai kosong, suara anak-anak yang dulu bermain di sekitar lapangan desa telah menghilang, digantikan oleh suara mesin-mesin dari pabrik di kejauhan. Pabrik-pabrik itu, yang dibangun beberapa tahun terakhir di pinggiran kampung, mulai mengambil alih tanah-tanah yang dulu subur. Suara mesin dari pabrik itu terdengar semakin dekat setiap hari, seperti ancaman yang tak bisa dihindari, pelan-pelan menelan apa yang tersisa dari kehidupan kampung ini.

Murta merasakan perubahan itu di setiap langkahnya. Kampung yang dulu seperti surga kecil di bumi kini terasa seperti tempat yang dihantui oleh kehilangan. Ladang yang kering, burung-burung yang jarang kembali, serta orang-orang yang terus menerus berbicara tentang pergi ke kota, semua itu mengingatkannya bahwa kampung ini sedang berubah. Namun, di tengah semua itu, Murta tetap berdiri di ladang ini, seperti seorang penjaga yang enggan meninggalkan tempat yang telah memberinya begitu banyak kenangan.

Ia tahu bahwa tanggung jawabnya tidak kecil. Sebagai anak dari keluarga yang dihormati di kampung, ia merasa bahwa setiap langkah yang ia ambil akan menentukan masa depan mereka. Namun, seiring dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya, Murta mulai bertanya-tanya apakah ia masih bisa menanggung semua beban ini sendirian.

“Bagaimana aku bisa menjaga semua ini?” pikir Murta, matanya tertuju pada ladang yang kering. “Apakah aku juga akan retak seperti tanah ini, tak mampu lagi menahan beban yang semakin berat?”

Di kejauhan, terdengar langkah kaki yang berat mendekati ladang. Murta menoleh dan melihat Paman Naman yang baru tiba dari Jakarta. Tubuhnya tampak lebih kurus dibandingkan terakhir kali ia berkunjung, namun ada sesuatu dalam tatapan matanya yang berubah lebih tajam, lebih penuh perhitungan. Paman Naman adalah satu dari sedikit orang di kampung ini yang berhasil "menembus" kehidupan kota. Ia sudah bertahun-tahun bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik besar di Jakarta, dan sekarang ia kembali dengan membawa cerita-cerita yang menggambarkan dunia luar yang berbeda jauh dari kampung ini.

"Di kota," kata Paman Naman, suaranya berat saat ia mendekati Murta, "tidak ada yang peduli dari mana kau berasal. Mereka hanya peduli seberapa cepat kau bisa berlari."

Kalimat itu seolah menghujam dada Murta, membuatnya berpikir tentang apa yang sebenarnya dimaksud oleh Paman Naman. Di kota, hidup tak ada hubungannya dengan asal-usul, dengan keluarga atau tradisi. Yang terpenting adalah kemampuan seseorang untuk bersaing, untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Dunia di luar sana tak seperti kampung mereka, di mana nilai-nilai lama masih dipegang erat.

Murta memandangi Paman Naman, mencoba memahami makna di balik kata-katanya. "Apa maksud Paman? Bukankah kita semua harus bertahan dengan cara kita masing-masing?"

Paman Naman tertawa kecil, sinis. "Kau tahu, Murta, kota itu bukan untuk orang lemah. Di sana, tak ada tempat bagi mereka yang hanya bisa duduk dan menunggu. Kalau kau tak bisa cepat, kau akan tertinggal. Dan di kota, orang yang tertinggal akan dilupakan."

Murta merasa jantungnya berdebar. Apa yang dikatakan Paman Naman adalah gambaran tentang dunia yang belum pernah ia lihat sendiri, tetapi yang kini semakin jelas dalam bayangannya. Dunia di luar kampung ini penuh dengan persaingan, tempat di mana hanya yang kuat yang bisa bertahan. Kata-kata itu bukan hanya peringatan bagi Murta, tetapi juga sebuah dorongan untuk berpikir ulang tentang kehidupannya di kampung yang mulai terasa sempit.

Melihat kebingungan di wajah Murta, Paman Naman melanjutkan dengan nada yang lebih tenang. "Kau lihat, Murta, di kota, kita semua berlari untuk sesuatu. Tapi di sini, di kampung ini, apa yang kita kejar? Setiap orang hanya berputar-putar di tempat yang sama, seolah hidup ini sudah ditentukan oleh ladang dan tanah. Tapi di luar sana, hidup itu bergerak cepat. Kau harus siap meninggalkan sesuatu jika ingin mendapatkan yang lebih."

Murta terdiam, memikirkan kata-kata Paman Naman. Ladang dan tanah. Di kampung ini, itulah yang diwariskan dari generasi ke generasi, itulah yang diandalkan untuk hidup. Tapi apakah hidup ini hanya sebatas itu? Apakah ia juga harus terus berpegang pada tradisi, ataukah ia harus berani melangkah keluar seperti Paman Naman?

“Aku selalu berpikir, Paman,” kata Murta pelan, “bahwa kehidupan ini adalah tentang menjaga apa yang kita punya. Tanah, ladang, keluarga. Tapi, kalau dunia di luar sana begitu berbeda, apa yang harus kita lakukan?”

Paman Naman menatap Murta dengan sorot mata penuh pemahaman, namun juga tajam. “Itulah yang harus kau pikirkan sendiri, Murta. Kau bisa memilih untuk tinggal di sini, menjaga ladang yang semakin kering, atau kau bisa pergi, mencari kehidupan yang mungkin lebih baik. Tapi, seperti yang kau tahu, setiap pilihan membawa risiko.”

Murta merasa tekanan di dalam dadanya semakin kuat. Dunia di kampung ini terasa semakin kecil, sementara kota yang digambarkan oleh Paman Naman tampak penuh tantangan, tapi juga penuh kesempatan. Apakah ia harus bertahan di sini, menjaga tradisi keluarganya, ataukah ia harus mencari sesuatu yang lebih besar di luar sana?

Kata-kata Paman Naman menggema dalam pikirannya. Di kota, tak ada tempat untuk orang yang bergerak lambat. Hidup di sana adalah tentang bagaimana kau bisa bertahan, bukan tentang dari mana kau berasal. Murta tahu bahwa dunia luar tidak akan mudah, tetapi mungkin itu adalah satu-satunya cara bagi dia untuk mencari sesuatu yang lebih besar.

Murta memandang ladang singkong yang semakin kering di depannya. Sebagai anak tertua dalam keluarganya, beban untuk menjaga ladang dan tanah ini ada di pundaknya. Namun, dengan setiap langkah Paman Naman yang membawa cerita tentang dunia luar yang lebih keras namun penuh peluang, Murta semakin sadar bahwa ia mungkin tak bisa selamanya bertahan di kampung ini.

"Apakah aku harus meninggalkan semuanya?" pikirnya, perasaannya bercampur aduk. "Atau apakah aku harus bertahan, menjaga apa yang sudah diwariskan kepadaku?"

Suara angin malam kembali berhembus, membawa serta aroma tanah yang kering dan berdebu. Murta merasakan tekanan yang semakin berat di dalam hatinya. Apa yang harus ia pilih? Di satu sisi, ada keluarganya, ladang, dan tradisi yang telah lama mereka jaga. Di sisi lain, ada kehidupan di luar sana yang penuh dengan janji-janji akan sesuatu yang lebih besar, meskipun penuh ketidakpastian.

Paman Naman, yang telah lama meninggalkan kampung untuk bekerja di kota, menjadi simbol bagi Murta tentang perbedaan generasi. Generasi sebelumnya, seperti Abah Semat, memilih untuk tinggal dan menjaga apa yang mereka miliki, meskipun kondisi di kampung semakin sulit. Sementara itu, generasi seperti Paman Naman memilih untuk keluar, mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang lebih keras.

Murta tahu bahwa pilihan itu tidak akan mudah. Tapi kata-kata Paman Naman telah membuka sesuatu dalam dirinya, sebuah kesadaran bahwa dunia di luar sana tidak menunggu. Mungkin, untuk bisa membuktikan dirinya, ia harus berani mengambil langkah pertama ke arah yang berbeda.

Lihat selengkapnya