Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #3

Kulit, Daun, Akar Singkong, dan Uang

Murta duduk di halaman rumahnya yang dipenuhi oleh tumpukan singkong. Tangan kecilnya yang cekatan mulai bekerja, mengupas kulit singkong satu per satu. Saat jemarinya dengan lincah menelusuri setiap umbi yang kasar, pikirannya melayang jauh. "Lapisan demi lapisan kulit singkong ini terkelupas, sama seperti diriku," gumamnya pelan dalam hati. Dia merasakan bagaimana dalam hidup, dia harus menyingkirkan ketakutan dan keraguannya, seolah-olah proses ini hanyalah cerminan dari perjalanan pribadinya.

Setiap singkong yang terkelupas membawanya pada perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang berbeda setiap kali kulit itu jatuh ke tanah, seperti lapisan hidup yang terbuka, menampilkan sesuatu yang baru. “Apakah aku juga sedang terkelupas?” pikir Murta. Rasa takut dan rasa ingin tahu bercampur aduk. Di sela-sela kesunyian halaman, ia menemukan sesuatu yang selama ini tersembunyi diri sejatinya. Mengupas singkong perlahan berubah menjadi semacam meditasi bagi Murta. Di tengah rutinitas yang monoton ini, dia mulai menghadapi keraguannya, satu demi satu.

Abah Semat, kakek Murta yang telah berusia senja, duduk tidak jauh dari cucunya. Dengan pandangan yang tenang, ia mulai berbicara sambil memandangi singkong di tangannya. “Singkong itu akar, Nak,” suaranya terdengar dalam namun lembut, seperti angin yang menelusuri daun-daun singkong. “Ia kuat, tapi rapuh di atas. Kalau kau tak tahu cara merawatnya, ia bisa patah, meski kelihatannya kokoh.”

Murta menghentikan pekerjaannya sejenak dan mengangguk. "Jadi, kita ini seperti singkong, Bah?" tanyanya pelan, mencoba memahami lebih dalam apa yang dimaksud oleh Abah Semat.

Kakeknya tersenyum tipis, namun matanya memancarkan kebijaksanaan. “Iya, kita ini seperti singkong. Kuat di dalam, berakar, tetapi di luar, kita harus belajar bertahan menghadapi angin dan badai. Ingatlah, Murta, hidup bukan soal seberapa keras kau melawan, tapi seberapa cerdas kau menyesuaikan diri. Kekuatan itu bukan hanya soal keteguhan, tapi juga kelenturan.”

Percakapan singkat itu terasa mendalam bagi Murta. Ia merenungkan perkataan kakeknya, seperti pelajaran hidup yang tersembunyi di balik kesederhanaan singkong. Dialog ini mengalir dengan filosofi yang kuat, memperlihatkan bagaimana kakek dan cucu tersebut memandang kehidupan dengan cara yang sederhana namun sarat makna. Setiap kata yang diucapkan Abah Semat menambah lapisan kebijaksanaan yang diturunkan kepada Murta, memperkaya pandangannya tentang dunia dan dirinya sendiri.

Setelah percakapan dengan Abah Semat, Murta duduk diam sejenak, membiarkan kata-kata kakeknya beresonansi dalam hatinya. “Aku akan kuat seperti singkong,” gumamnya pelan, seolah-olah berjanji pada dirinya sendiri. Ada kekuatan yang tak kasat mata yang mulai tumbuh di dalam dirinya, sebuah dorongan yang datang dari dalam.

Murta memandang singkong-singkong yang telah ia kupas, kini bersih tanpa kulitnya. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa singkong tersebut bukan hanya sekadar bahan makanan singkong telah berubah menjadi simbol ketahanan hidup. "Aku harus belajar bertahan dan beradaptasi, seperti singkong ini," pikirnya. Ia merasa bahwa dunia di sekitarnya mungkin tidak selalu bersahabat, tetapi ia tak boleh menyerah. Setiap tantangan yang datang dalam hidupnya harus dihadapi dengan keberanian, bukan dengan rasa takut.

Murta teringat bagaimana kakeknya selalu mengajarkan untuk tidak sekadar bertahan hidup, tetapi juga tumbuh di tengah keterbatasan. Sama seperti singkong yang mampu bertahan di tanah yang gersang, ia juga harus menemukan kekuatannya dalam keadaan sulit. Dunia di sekelilingnya berubah, dan Murta sadar bahwa ia tidak bisa selalu melawan perubahan itu. Namun, seperti yang kakeknya katakan, kekuatan bukan hanya soal melawan, tetapi juga soal beradaptasi dengan bijak.

Dengan semangat baru di dadanya, Murta merasa lebih siap menghadapi apapun yang akan datang. Dalam sunyi halaman rumahnya, di antara singkong-singkong yang telah terkelupas, Murta menemukan harapan. Ia tak akan menyerah, apapun yang terjadi.

Tidak lama setelah itu, Abah Marjaya, menghampiri Murta dan Berkata, “Anak muda sekarang,” ujarnya dengan suara serak namun tajam, “tidak tahu lagi bagaimana cara bertahan hidup. Mereka kira dengan uang bisa menyelesaikan segalanya.”

Murta menatap Abah Marjaya dengan penuh perhatian. “Apa maksud Abah?” tanyanya, penasaran dengan arah pembicaraan pria tua itu.

Abah Marjaya tertawa sinis. “Lihatlah sekitarmu, Murta. Orang-orang kampung ini, satu per satu, meninggalkan tanahnya. Mereka pergi ke kota, mencari uang, tapi tanah di sini, siapa yang akan merawatnya? Singkong ini... siapa lagi yang akan menanamnya? Uang mungkin bisa membeli makanan, tapi tidak ada uang yang bisa menanam singkong. Dan pada akhirnya tanah dan ladang mereka jual kepada kepada pabrik-pabrik”

Kata-kata Abah Marjaya mengandung kritik tajam terhadap generasi muda yang semakin jauh dari akar budaya dan kearifan lokal. Murta merasakan kenyataan yang selama ini luput dari perhatiannya. Banyak pemuda di kampungnya yang pergi ke kota, meninggalkan ladang-ladang yang dulunya subur, hanya demi mencari kehidupan yang dianggap lebih mudah. Padahal, kehidupan di kota belum tentu menjanjikan kebahagiaan.

“Semuanya sekarang ingin instan,” lanjut Abah Marjaya. “Tidak ada lagi yang mau bekerja keras di tanah. Mereka pikir hidup di kota lebih baik, tapi apa yang mereka dapatkan? Kehilangan jati diri dan tanah leluhur.”

Murta terdiam. Kritik itu bukan hanya ditujukan pada orang lain, tetapi juga mengguncang dirinya sendiri. Ia sadar bahwa kampung ini, yang dulu penuh dengan semangat dan kerja keras, kini mulai ditinggalkan. Ladang-ladang yang dulu subur kini terbengkalai. Orang-orang yang seharusnya merawat tanah ini memilih meninggalkannya demi kehidupan yang serba instan.

Kata-kata Abah Marjaya menyadarkan Murta akan pentingnya menjaga warisan tanah dan budaya. Murta berpikir, jika semua orang meninggalkan kampung ini, siapa yang akan menjaga ladang singkong yang menjadi sumber kehidupan mereka? Pemikiran itu menghantamnya dengan keras. Ia tidak ingin menjadi bagian dari generasi yang melupakan akarnya.

Pikiran Murta terus mengulang percakapan dengan Abah Marjaya. Ia menatap ladang singkong yang terbentang di hadapannya, seperti melihat masa depan yang tidak pasti. Namun, di tengah keraguan itu, hatinya dipenuhi dengan tekad yang semakin menguat. "Aku tidak boleh menyerah," gumamnya. Kata-kata kakeknya dan Abah Marjaya bergema di kepalanya, seolah menjadi pengingat untuk terus bertahan.

Setiap kali ia merasakan keputusasaan, Murta kembali pada pelajaran singkong. Singkong tampak sederhana, tetapi kekuatannya terletak pada akar yang tersembunyi di bawah tanah. Begitu juga manusia, pikir Murta. Kekuatannya tidak selalu terlihat di permukaan, tetapi tersembunyi di dalam dirinya. "Aku harus menjadi seperti singkong," ucapnya lagi dalam hati, "tangguh, meski keadaan di sekelilingku berubah."

Lihat selengkapnya