Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #4

Dapur, Pisau, Tapai Singkong, dan Truk

Murta memandangi dapur kecil yang sekarang terasa hampa. Di atas meja, potongan-potongan singkong berserakan, menunggu untuk dipotong lebih kecil. Dapur yang dulu ramai dengan suara tawa dan obrolan kini sepi, hanya diisi oleh suara pisau yang beradu dengan talenan. Murta mengingat bagaimana dapur ini dulu menjadi pusat kehidupan keluarga, tempat di mana ibu, tetangga, dan anak-anak kampung berkumpul, menyiapkan makanan sambil berbagi cerita.

Namun, hari ini berbeda. Tangerang yang dulu dikenal sebagai kampung yang subur dan damai perlahan-lahan berubah. Kampung-kampung yang dulunya penuh dengan ladang hijau dan orang-orang yang hidup bergantung pada hasil bumi kini terjepit di antara perkembangan kota yang semakin merambah. Di kejauhan, Murta bisa melihat bayang-bayang pabrik yang semakin mendekat, mencuri ruang dan mengubah desa menjadi bagian dari kota.

“Ada kehidupan yang bergulir cepat di luar sana,” pikir Murta, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap ke jalan besar. Suara kendaraan truk yang lewat terdengar seperti pengingat bahwa dunia di luar sana tidak lagi sejalan dengan kehidupan kampungnya. Di satu sisi ada desa yang masih mempertahankan tradisi, namun di sisi lain ada kota yang penuh dengan janji kehidupan yang lebih mudah. Kedua dunia ini terus saling bertabrakan.

Dapur yang dulu menjadi tempat hidupnya kini tampak menjadi saksi perubahan zaman yang perlahan meluluhlantakkan kehidupan tradisional. Aroma singkong yang biasa mengisi udara kini bersaing dengan bau asap pabrik yang semakin kuat. Dunia Murta kini terbelah antara keinginan untuk bertahan di kampung atau mengikuti jejak banyak orang yang pergi ke kota mencari nasib yang lebih baik. Tangerang telah menjadi medan pertarungan antara harapan dan kenyataan, tradisi dan modernitas.

Murta memandangi potongan-potongan singkong yang berserakan di hadapannya. Di dapur yang sempit itu, ia duduk diam, mendengarkan denting pisau yang terjatuh di talenan kayu. Setiap potongan singkong tampak seperti pilihan yang harus ia buat keputusan yang berat, namun tak terelakkan.

“Singkong-singkong ini seperti jalan hidup,” gumamnya pelan. “Ada yang mudah dipotong, ada yang keras dan sulit. Tapi semuanya harus diolah, semuanya harus dimasak menjadi sesuatu yang lebih baik.”

Seperti singkong yang keras namun harus diolah dengan sabar, hidup juga penuh dengan keputusan yang tak mudah. Murta sadar bahwa hidup di kampung tidak akan selalu berjalan mulus. Ia harus menghadapi kerasnya hidup, atau meninggalkan semua ini demi mencari sesuatu yang belum tentu lebih baik di luar sana. Keraguan itu terus menghantui pikirannya.

Dalam setiap potongan singkong yang ia belah, ada perasaan bahwa waktu terus berjalan, tetapi jawabannya tak kunjung datang. Di tengah rutinitas yang berulang ini, pertanyaan besar tentang masa depannya semakin jelas, semakin sulit diabaikan. “Apakah aku harus pergi dan meninggalkan kampung ini?” pikir Murta. "Atau apakah aku harus bertahan, meski semua orang perlahan meninggalkannya?"

Durasi setiap gerakan di dapur itu seakan melambat. Di dalam kesunyian, pikiran Murta berlarian, mencoba menemukan jawaban. Setiap potongan singkong yang ia belah terasa seperti membuka lapisan baru dari dirinya keraguan yang terus membesar, namun di sisi lain, ada juga keyakinan bahwa ia harus mengambil keputusan besar dalam hidupnya.

Di dapur sempit itu, di antara aroma singkong yang menyebar di udara, Murta merasakan beban pilihan yang semakin berat di pundaknya. Ia tahu, pilihannya ini akan menentukan masa depannya, dan mungkin masa depan kampung ini.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, dan Murta menoleh melihat Abah Marjaya masuk ke dapur. Dengan sorot mata tajam yang memperlihatkan pengalaman hidup yang panjang, Abah Marjaya memandang Murta dengan pandangan penuh makna. Dia duduk di bangku kayu, memperhatikan singkong-singkong yang tersebar di meja.

“Kau lihat, Murta,” ujar Abah Marjaya tiba-tiba, “kampung ini tidak lagi sama. Orang-orang sudah mulai kehilangan kepercayaan pada kerja keras. Mereka tidak lagi percaya pada tanah ini.” Suaranya tenang, tapi ada nada getir yang terselip di antara kata-katanya.

Murta mendengarkan dengan saksama. Ia tahu apa yang dimaksud oleh Abah Marjaya. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak anak muda yang pergi meninggalkan kampung. Mereka pergi ke kota, mencari pekerjaan yang lebih mudah, mencari kehidupan yang dianggap lebih baik. Kampung yang dulu hidup dengan suara cangkul di pagi hari kini mulai sepi. Ladang-ladang singkong dibiarkan kosong, dan tanah yang dulunya subur kini terbengkalai.

“Mereka ingin hasil yang cepat, instan,” lanjut Abah Marjaya, “tanpa peduli apa yang dikorbankan. Mereka tidak lagi menghargai apa yang kita wariskan. Lihat saja, ladang-ladang ini sekarang dibiarkan tak terurus. Orang-orang berpikir uang bisa membeli segalanya, padahal mereka lupa, kita hidup dari tanah ini, dari kerja keras yang tak terlihat.” Dia menarik napas panjang, memandang ke arah jendela yang menghadap ladang singkong yang semakin jarang dipanen.

Murta menyadari bahwa kritik Abah Marjaya tidak hanya ditujukan kepada generasi muda, tetapi juga kepada masyarakat yang mulai berubah. Di kampung ini, tradisi mulai terkikis oleh modernitas. Orang-orang tidak lagi percaya bahwa tanah bisa memberi mereka kehidupan yang layak, dan perlahan-lahan mereka mulai menggantungkan diri pada apa yang dianggap mudah dan cepat.

“Tanah ini punya jiwa, Murta,” ujar Abah Marjaya lebih pelan. “Jika kita meninggalkannya, kita juga akan kehilangan jiwa kita sendiri.”

Murta terdiam. Kritik itu menyentuh hatinya, mengguncang keyakinannya. Dunia di luar kampung tampak menjanjikan dengan segala kemudahan yang ditawarkannya. Namun, kata-kata Abah Marjaya mengingatkannya akan nilai-nilai yang semakin tergerus nilai yang selama ini diwariskan dari generasi ke generasi. Murta mulai melihat bahwa pilihan untuk meninggalkan kampung ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang kehilangan identitas.

Setelah hening sejenak, Abah Marjaya mengambil salah satu potongan singkong dari meja dan memandangnya dalam-dalam, seolah sedang memikirkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar umbi itu. “Memotong singkong itu mudah, Nak,” ujarnya dengan suara yang sedikit berat. “Yang sulit adalah memutuskan mau jadi apa singkong itu nantinya.”

Murta menghentikan pekerjaannya, memperhatikan kakeknya dengan seksama. “Apa maksud Abah?” tanyanya, bingung dengan arah pembicaraan.

Abah Marjaya tersenyum tipis, tetapi sorot matanya tetap serius. “Lihatlah singkong ini,” katanya sambil memutar-mutar potongan di tangannya. “Kau bisa menjadikannya gorengan yang dijual murah di pinggir jalan, cepat habis, dan dilupakan orang. Atau, kau bisa mengolahnya menjadi tape yang harum, manis, dan butuh kesabaran untuk membuatnya. Memilih jadi apa singkong itu tergantung pada tangan yang mengolahnya.”

Kata-kata Abah Marjaya seakan menembus hati Murta. Ia tahu, pertanyaan itu bukan hanya tentang singkong, tetapi tentang hidupnya sendiri. “Jadi, hidup kita seperti singkong ini, Bah? Butuh proses dan keputusan yang tepat agar bisa menjadi sesuatu yang bernilai?” tanyanya, mencoba memahami lebih dalam makna di balik perkataan kakeknya.

Abah Marjaya mengangguk perlahan, wajahnya serius. “Betul, Murta. Hidupmu tergantung pada bagaimana kau memilih untuk mengolahnya. Kau bisa memilih jalan yang mudah, yang cepat. Tapi ingat, sesuatu yang cepat tidak selalu bernilai. Kadang-kadang, yang membutuhkan waktu dan kesabaran itulah yang memiliki makna yang lebih dalam.”

Murta merenungkan kata-kata itu. Dalam kesederhanaan filosofi singkong, tersimpan pelajaran yang besar tentang kehidupan. Hidup tidak hanya tentang mengambil jalan yang paling mudah, tetapi tentang bagaimana menentukan pilihan yang bisa membawa nilai jangka panjang. Seperti tape yang memerlukan waktu untuk fermentasi, hidupnya pun memerlukan kesabaran dan ketekunan agar dapat mencapai sesuatu yang bermakna.

“Jadi, aku harus memilih jalan hidupku dengan hati-hati, Bah?” tanya Murta, perlahan mulai memahami.

“Benar,” jawab Abah Marjaya. “Jangan hanya ikut arus. Tentukan sendiri arahmu. Jangan terburu-buru, seperti gorengan yang cepat habis dan dilupakan. Jadilah sesuatu yang memiliki arti, sesuatu yang bisa dinikmati oleh banyak orang, bahkan setelah waktu berlalu.”

Lihat selengkapnya