Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #5

Meja, Jendela, Angin Sepoi, dan Ombak

Di dalam rumah yang tak lagi secerah dulu, Ibu Murta duduk di ujung meja kayu panjang yang menjadi saksi berbagai momen kebersamaan keluarga mereka. Suara napasnya pelan, tetapi berat, seolah mencoba mengatur detak jantung yang tak kunjung tenang. Di sekelilingnya, suasana sunyi itu dipenuhi dengan ketidakpastian yang menggantung, seperti awan kelabu yang enggan bergerak dari langit yang tertutup.

Murta, anak sulungnya, duduk bersandar di kursi tua di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada jendela yang setengah terbuka. Angin sepoi yang masuk tidak mampu menyapu kecemasan yang semakin hari semakin tebal, melilit hatinya. Tangannya saling menggenggam, jari-jarinya terasa dingin oleh keringat dingin yang tak kunjung menguap. Ia merasa bahwa semakin ia ingin memahami jalan hidup yang terbentang di depannya, semakin ia terjebak dalam labirin kegelisahan.

“Ketika kita semakin ingin memahami hidup, kadang yang kita dapatkan justru rasa kehilangan,” batinnya. Di tengah badai ini, Murta dihadapkan pada dua jalan yang saling bertentangan  bertahan dalam tradisi yang selama ini mengikat keluarganya atau mengambil langkah nekat, berjalan ke arah yang tidak pasti, meninggalkan semua yang ia kenal.

Ia mengingat percakapan-percakapan yang belum lama terjadi di rumah ini, setiap kata penuh emosi seperti hujan deras yang tiba-tiba turun, menghapus jejak-jejak masa lalu di tanah yang kering. “Satu langkah salah,” pikirnya, “dan aku mungkin akan kehilangan segalanya.”

Ruangan yang dahulu menjadi tempat hangat bagi tawa dan kebersamaan kini terasa sesak oleh keheningan yang penuh ketegangan. Murta tahu bahwa apa pun keputusan yang akan diambil, akan ada yang terluka. Itu adalah harga yang harus dibayar dalam hidup, sebuah pelajaran yang mulai ia pahami seiring waktu. Dalam keheningan, ia bertanya-tanya, apakah keluarganya akan mampu bertahan melewati semua ini?

Ibu Murta, dengan suaranya yang pelan namun bergetar, akhirnya memecah kesunyian yang menyesakkan ruangan. "Kita semua tahu apa yang sedang kita hadapi. Masa depan tak pasti, dan mungkin kita sudah tidak punya banyak pilihan. Tapi satu hal yang harus tetap kita pegang adalah kebersamaan. Kalau keluarga kita retak, tidak ada lagi yang bisa kita andalkan."

Dudung, adik Murta, yang sejak tadi hanya diam sambil memainkan ujung lengan bajunya, menoleh dengan pandangan getir. "Bersama? Untuk apa, Bu? Apa artinya kita tetap bersama jika semuanya perlahan-lahan hancur? Kita terus tenggelam dalam kesulitan, dan rasanya tidak ada jalan keluar." Nada suaranya penuh kepahitan, seperti menahan kemarahan yang tak tersalurkan.

Abah Semat, sebagai pengganti kepala keluarga karna Ayahnya Murta sudah meninggal, yang selama ini lebih sering diam dalam perdebatan, menyela dengan suara rendah namun tegas, "Kalian anak muda selalu cepat merasa kalah. Dunia memang tidak selalu adil, tapi yang penting bukanlah apa yang kita hadapi, melainkan bagaimana kita menghadapinya. Kesulitan bukan alasan untuk menyerah, Dudung."

Murta mendengarkan setiap kata yang terlontar, merasakan beratnya beban yang dipikul oleh setiap anggota keluarganya. Ada kebenaran dalam kata-kata mereka, tetapi tidak ada yang memberinya kejelasan harus berpihak pada siapa. Ia merasa terombang-ambing di antara dua arus besar yang menariknya ke arah yang berbeda.

Perdebatan ini, seperti ombak di lautan, menghempaskan hatinya ke kanan dan ke kiri. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap atau kepada siapa ia harus mendengarkan. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan nilai-nilai yang selama ini dijaga oleh keluarganya, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan panggilan untuk berani melangkah menuju masa depan yang tidak pasti, meskipun itu berarti meninggalkan sebagian dari dirinya sendiri.

Paman Naman, sosok yang selama ini jarang berbicara, berdiri dari kursinya di pojok ruangan. Ia mengamati wajah-wajah di depannya, terutama Murta dan Dudung, dua generasi yang di matanya tampak bingung dalam menghadapi kenyataan hidup. Perlahan, Paman Naman menghela napas panjang dan berkata, “Lihatlah kita sekarang. Apa yang terjadi di keluarga ini hanya cerminan kecil dari apa yang sedang terjadi di luar sana. Orang-orang di kampung kita semakin hari semakin banyak yang kehilangan pegangan.”

Ruangan kembali hening, tapi kali ini hening yang berbeda. Kata-kata Paman Naman menyentuh sesuatu yang lebih dalam, tidak lagi sebatas konflik keluarga, tetapi juga tentang kehidupan di luar sana. Ia melanjutkan, “Orang-orang pergi ke kota besar, meninggalkan tanah mereka, mengejar mimpi yang entah ada atau tidak. Mereka meninggalkan sawah, kebun, semua yang menjadi warisan keluarga, hanya untuk akhirnya bekerja di perkebunan-perkebunan besar atau proyek-proyek pembangunan yang tidak memikirkan nasib mereka. Mereka menjadi bagian dari roda pembangunan yang mereka sendiri belum paham sepenuhnya. bahkan untuk akhirnya bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik yang tidak peduli pada mereka. Mereka menjadi pion dalam permainan besar yang mereka sendiri tak mengerti."

Matanya menatap Murta, seolah ingin memastikan bahwa keponakannya itu mendengar dan memahami apa yang ia katakan. "Dan sekarang, kita di sini, menghadapi pilihan yang sama. Apakah kita akan tetap bertahan di sini, menjaga apa yang tersisa, atau kita ikut arus dan hilang begitu saja di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman?"

Murta merasakan beratnya kata-kata Paman Naman. Dia sadar bahwa masalah keluarganya bukanlah sekadar tentang perbedaan pendapat atau ketidakpastian masa depan. Ini adalah bagian dari krisis yang lebih besar, sebuah gejolak sosial di mana tradisi yang telah lama mereka pegang erat kini mulai tergerus oleh perkembangan zaman. Orang-orang di sekitar mereka meninggalkan kampung, menghilang satu per satu. Mereka berlari mengejar sesuatu yang tidak pasti, meninggalkan akar yang sudah melekat sejak dulu.

“Tapi, Paman,” kata Murta, dengan suara yang hampir tak terdengar, “apa yang bisa kita lakukan? Dunia di luar sana tidak sama dengan dunia yang kita kenal di sini.”

Paman Naman menatapnya dengan mata penuh pengalaman. “Justru itulah masalahnya, Nak. Dunia memang berubah, tapi pertanyaannya adalah, apakah kita akan membiarkan perubahan itu menghancurkan kita atau kita akan bertahan dengan apa yang kita punya, sembari menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri?”

Setelah mendengar kata-kata Paman Naman yang tajam namun penuh makna, Murta merasa ada dorongan yang muncul dari dalam dirinya. Untuk pertama kalinya dalam diskusi panjang ini, ia merasa bahwa ia harus mengambil sikap. Jika keluarganya terus terpecah seperti ini, mereka mungkin akan hancur. Tapi, jika mereka bisa menemukan titik temu, mungkin masih ada harapan untuk bertahan.

“Paman benar,” kata Murta, suaranya lebih tegas dari sebelumnya. “Kita bisa berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi masa depan, tapi kita tidak bisa membiarkan masalah ini merusak apa yang telah kita bangun bersama. Keluarga ini sudah melalui banyak hal, dan kita tidak bisa membiarkan konflik ini menghancurkan semua itu.”

Ibu Murta, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, tersenyum kecil, merasakan kehangatan di hatinya. Kata-kata Murta membawa harapan yang selama ini ia cari. Ia selalu percaya bahwa anak-anaknya, meskipun berbeda pandangan, akan mampu menemukan jalan untuk menjaga keluarga mereka tetap utuh.

Murta melanjutkan, kali ini dengan pandangan yang lebih pasti. “Aku tahu kita menghadapi tantangan besar, dan mungkin dunia di luar sana tidak mudah. Tapi, kalau kita bersatu, kalau kita bisa saling mendukung dan memahami, aku yakin kita bisa melewati ini. Kita harus bertahan, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tapi untuk mereka yang datang setelah kita. Kita adalah keluarga, dan itu adalah kekuatan kita.”

Kata-kata Murta menggema di seluruh ruangan. Dudung, yang sebelumnya penuh dengan amarah, menundukkan kepalanya, merenungkan ucapan saudaranya. Di dalam hatinya, ia tahu Murta benar. Mereka tidak bisa terus bertengkar seperti ini. Keluarga mereka lebih kuat jika bersama.

Abah Semat menatap cucu sulungnya dengan kebanggaan yang tersembunyi di balik wajah keriputnya. Meskipun ia tidak mengatakan apa pun, di dalam hatinya ia tahu bahwa Murta telah menemukan suaranya. Murta telah tumbuh menjadi seseorang yang bisa memimpin, meskipun dengan caranya sendiri.

Suasana di ruangan itu mulai berubah. Ketegangan yang sebelumnya begitu tebal mulai mencair, digantikan oleh rasa haru dan pengertian. Murta menyadari bahwa meskipun masa depan masih tampak buram, dia tidak lagi merasa sendirian dalam menghadapi badai ini. Ia memiliki keluarganya, dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya berani melangkah.

Setelah suasana di ruangan mulai mencair, Murta merasakan beban yang lebih ringan. Tapi ia tahu, ini bukan akhir dari perjalanan mereka. Ini baru awal. Ia bangkit dari kursinya, berdiri tegap, meskipun hatinya masih berdebar. Kata-kata yang ia ucapkan sebelumnya membawa dorongan baru dalam dirinya, tetapi tanggung jawab yang ia rasakan semakin besar. Ia harus menjadi pilar keluarga ini.

Lihat selengkapnya