Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #6

Rumah, Suara, Langit Kelabu dan Angin

Murta duduk di tepi ladang singkong yang sudah lama tidak tersentuh air. Tanahnya retak-retak, seperti jiwanya yang terasa terpecah belah. Sore itu, angin datang tanpa suara, hanya menyentuh lembut kulitnya yang terbiasa oleh keringat dan panas. Di atas sana, langit memudar, membawa warna abu-abu yang tak ada habisnya. Murta menatapnya dengan kosong, seolah-olah mencoba mengukur luasnya, mencari sesuatu yang tak pernah bisa ditemukan.

"Di langit yang kelabu ini," pikir Murta, "kesepian itu bersinar seperti bintang yang jauh. Terlihat, tapi tak pernah bisa kujamah." Rasa sepi itu begitu dekat, namun selalu saja melesat, bersembunyi di balik bayang-bayang. Ia tahu rasa itu sudah lama ada, tapi kini, dalam keheningan senja ini, kesepian menjadi lebih nyata dari sebelumnya. Seperti bayangan yang selalu menempel di tubuhnya, ia tidak bisa mengusirnya. Hanya bisa menerima.

"Apakah ada yang lebih sunyi dari ini?" gumamnya dalam hati. Ia tidak hanya terasing dari orang-orang di sekitarnya, tapi juga dari dirinya sendiri. Dunia yang ia kenal sejak kecil kini terasa begitu asing. Ladang-ladang yang dulu penuh tawa kini hening. Tangannya yang kasar, yang biasanya digunakan untuk bekerja, kini terkulai tanpa tujuan.

Kesendirian ini mengakar, menjalar seperti akar singkong di bawah tanah tak terlihat, tapi semakin kuat. Setiap tarikan napas terasa berat, dan setiap pikiran hanya membuatnya semakin tenggelam dalam pusaran kesepian yang tak terhindarkan.

Tidak lama, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Murta tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Newiyah, sahabat kecilnya, duduk di sampingnya tanpa sepatah kata. Mereka sudah lama mengenal satu sama lain, cukup lama sehingga kehadiran Newiyah bisa terasa seperti bagian dari angin senja yang menderu.

"Kenapa kamu duduk di sini sendirian, Murta?" tanya Newiyah lembut, matanya menatap ladang yang sama, melihat kehampaan yang sama.

Murta mengangkat bahu. "Mungkin karena hanya di tempat ini aku bisa mendengar suaraku sendiri."

Newiyah tersenyum tipis, ada sesuatu yang damai dalam senyumnya, meski matanya menyiratkan kekhawatiran. "Kadang, ketika kita terlalu sibuk mendengarkan dunia, kita lupa mendengarkan suara hati kita."

Angin membelai dedaunan singkong yang kering, membawa suara gemerisik yang nyaris tidak terdengar. Murta terdiam. Suara hatinya? Sudah lama ia merasa bahwa suaranya sendiri tenggelam, hilang di antara hiruk-pikuk hidup yang semakin menjauh dari apa yang pernah ia kenal.

"Tapi ingat, Murta," Newiyah melanjutkan, "bahkan dalam kesepian, ada hikmah yang bisa kita temukan."

Murta merenung sejenak, matanya tetap terpaku pada tanah yang keras di hadapannya. "Tapi... apakah hikmah itu cukup untuk mengisi ruang yang kosong ini?"

Newiyah menatap Murta dengan bijak, seperti seseorang yang sudah memahami jawabannya jauh sebelum pertanyaan itu muncul. "Ruang kosong itu mungkin bukan untuk diisi, tapi untuk dipahami." Ia menghela napas panjang, seolah-olah kata-katanya mengandung lebih dari yang bisa diucapkan. "Seperti ketika kamu berhenti mencari jawaban, kamu baru bisa benar-benar mendengarkan pertanyaan yang paling penting."

Kata-kata Newiyah mengalun di kepala Murta, bergema seperti suara angin yang berputar di ladang. Apakah benar? Apakah kesepian ini ada bukan untuk diisi, tapi untuk dipahami? Murta belum tahu jawabannya, tapi ada sesuatu dalam diri Newiyah yang membuatnya ingin percaya.

Sambil memandangi ladang yang semakin tandus, Newiyah tampak berpikir. Ada kerutan di dahinya, tanda bahwa ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan ringan tentang kesepian. Ia memecah keheningan dengan nada suara yang lebih dalam, seolah-olah setiap kata adalah hasil dari renungan panjang.

"Orang-orang di sini," katanya pelan, "mereka selalu berpikir bahwa keluar dari kampung ini adalah satu-satunya jalan keluar. Mereka lupa bahwa kampung ini juga pernah memberi mereka hidup."

Murta menoleh perlahan, mendengarkan dengan seksama. Kata-kata Newiyah membangkitkan ingatan masa kecil mereka, ketika kampung ini masih hidup dan ramai. Orang-orang saling mengenal, anak-anak berlarian di sepanjang jalan tanah merah, dan ladang-ladang menghasilkan panen yang cukup untuk menghidupi semua keluarga.

"Tapi, lihat apa yang terjadi sekarang," lanjut Newiyah, suaranya semakin berat. "Pabrik-pabrik itu mengambil semua. Bahkan harapan kita. Mereka mencuri masa depan kita dengan janji-janji kosong."

Murta bisa merasakan setiap kata itu masuk ke dalam dirinya, menorehkan luka yang sama dalamnya dengan perasaan sepi yang terus menghantuinya. Ia memandang ke arah ladang yang tandus, seakan melihat bayangan masa lalu yang sirna ladang yang dulu subur, kini mati perlahan-lahan. Di kejauhan, suara mesin pabrik menderu, mengingatkan mereka tentang kekuatan yang tak terlihat, tapi nyata merampas kehidupan desa.

"Pabrik-pabrik itu," lanjut Newiyah, "mereka datang dengan janji-janji pekerjaan. Tapi apa yang kita dapatkan? Tanah-tanah kita diambil, rumah-rumah mulai kosong, dan sekarang, orang-orang pergi, meninggalkan kampung ini seperti tubuh tanpa jiwa."

Murta diam. Ia tahu Newiyah benar. Orang-orang di kampungnya orang-orang yang dulu hidup bersama dalam kesederhanaan satu per satu pergi mencari peruntungan di kota besar. Mereka yang tertinggal hanya bisa menyaksikan kampung mereka digerogoti oleh industrialisasi yang tak terelakkan.

"Semua ini membuatku merasa lebih terasing," bisik Murta. "Bukan hanya dari dunia, tapi dari apa yang pernah aku kenal."

Newiyah menatapnya lama, seolah-olah mencari sesuatu di balik matanya yang lelah. "Mungkin kita terlalu lama bergantung pada apa yang kita kenal," jawabnya tenang. "Ketika dunia berubah, kita tak bisa terus berharap semua akan tetap sama."

Murta tidak segera menjawab. Kata-kata Newiyah terasa berat, seperti beban yang harus ia pikul, meskipun ia belum sepenuhnya memahami maknanya. Kampung ini, tanah ini, semua yang ia kenal sepanjang hidupnya, kini berubah menjadi sesuatu yang tidak lagi ia kenali. Apa artinya semua ini? Apakah perubahan selalu membawa kehancuran, atau mungkin ada sesuatu yang lebih besar yang bisa ia pahami?

Newiyah memalingkan pandangannya dari ladang yang terbentang di depan mereka. Ia menatap Murta dengan mata yang penuh pengertian, seperti sahabat lama yang selalu tahu lebih dari yang ia katakan.

"Murta," katanya, "apa yang kita alami ini bukan sekadar soal kampung atau tanah. Ini tentang cara kita melihat diri kita sendiri di dunia yang semakin asing."

Murta mengerutkan kening, mencoba menangkap maksud Newiyah. "Apa maksudmu?"

"Kesepian yang kamu rasakan... pengasingan yang kita alami... mungkin bukan hanya karena dunia di sekitar kita berubah. Tapi juga karena kita sendiri belum benar-benar memahami siapa kita di dalam dunia ini. Dunia terus bergerak, dan mungkin kita perlu bergerak bersamanya, bukan melawan."

Lihat selengkapnya