Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #9

Gedung, Cermin, Asap Debu dan Jalan

Murta berdiri di tepi jalan raya, memandang gedung-gedung tinggi Jakarta yang menjulang seperti raksasa di antara asap dan debu. Di balik kilau kaca dan beton itu, ia bisa merasakan denyut hidup yang berbeda penuh ambisi, hiruk-pikuk, dan keinginan yang tak pernah puas. “Kota ini seperti mimpi yang tak pernah tidur,” pikir Murta, “seperti orang yang terus berlari tanpa henti, selalu mengejar sesuatu yang tak terlihat.”

Ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Jakarta adalah dunia baru baginya, dunia yang tak pernah ia bayangkan. Ada rasa takut yang menggumpal di dadanya, tapi juga rasa penasaran yang mendorongnya untuk melangkah lebih jauh ke dalam pusaran energi kota ini. "Apakah aku bisa bertahan di sini?" tanya Murta dalam hati. "Atau akankah aku tersesat di antara gemerlap dan kegelapan Jakarta?"

Paman Naman, yang baru saja bertemu Murta di terminal bus, menepuk bahunya sambil tersenyum. "Selamat datang di Jakarta, Murta," katanya. "Di sini, kau harus belajar melihat dengan cara yang berbeda. Di kota ini, semua orang mencari sesuatu, tapi tidak semua orang tahu apa yang mereka cari."

Murta menatap mata pamannya yang berkilau penuh pengalaman. “Apa yang kau cari, Paman?” tanya Murta dengan polos.

Paman Naman tertawa kecil, "Aku mencari kebebasan, Murta. Kebebasan untuk menentukan nasibku sendiri. Tapi kadang-kadang, semakin kita mencari, semakin kita tersesat. Di sini, kamu harus tahu kapan harus mengejar dan kapan harus berhenti."

Murta terdiam sejenak, merenungkan kata-kata pamannya. “Apakah hidup hanya tentang mengejar sesuatu yang tak pernah bisa kita raih?”

Paman Naman menatapnya tajam, “Tidak, hidup adalah tentang menemukan apa yang benar-benar penting. Dan untuk itu, kadang kamu harus tersesat terlebih dahulu.”

Murta melihat kehidupan Jakarta yang bergerak cepat dan merasa terinspirasi untuk tidak gentar menghadapi tantangan baru. “Jakarta ini memang keras,” pikirnya, “tapi aku tidak akan takut. Aku akan belajar bagaimana cara bermain di dunia ini.”

Murta memutuskan untuk melihat kota ini bukan sebagai ancaman, tapi sebagai kesempatan. Ia tahu, untuk bertahan, ia harus beradaptasi, tapi tetap memegang nilai-nilai yang diajarkan oleh keluarganya. "Aku akan menemukan caraku sendiri di sini, Paman," ujarnya dengan tekad. “Aku akan bertahan di tengah arus deras ini tanpa kehilangan diriku sendiri.”

Paman Naman mengajak Murta berjalan-jalan ke pusat kota. Di sepanjang jalan, mereka melewati gedung-gedung megah yang kontras dengan kampung-kampung kumuh di belakangnya. “Lihatlah ini, Murta,” kata Paman Naman dengan nada serius, “Di satu sisi, kau punya semua kemewahan dunia. Tapi di sisi lain, kau punya orang-orang yang terlupakan oleh kemajuan.”

Murta melihat para pekerja kasar yang tampak letih, berdesakan di antara para pejalan kaki dengan pakaian rapi. Ia merasakan ketidakadilan yang begitu nyata di depan matanya. “Apakah ini harga yang harus dibayar untuk sesuatu yang disebut kemajuan, Paman?” tanyanya.

“Kadang-kadang, Murta,” jawab Paman Naman, “kota ini seperti cermin retak. Kau melihat pantulannya yang gemerlap, tapi retakannya juga terlihat jelas. Kemajuan ini tidak gratis. Selalu ada yang membayar, seringkali dengan darah dan air mata.”

Murta berdiri di tepi jalan raya, memandangi gedung-gedung tinggi Jakarta yang menjulang seperti raksasa di antara asap kendaraan dan debu yang melayang di udara. Kota ini adalah dunia baru baginya sebuah pemandangan yang sama sekali berbeda dari kampung kecilnya di Tangerang. Di sana, ia mengenal sawah, pasar, dan senyum ramah yang tak pernah lelah mengisi harinya. Tapi di sini, di Jakarta, ada denyut hidup yang lebih cepat, lebih tajam, dan penuh dengan ambisi yang tak terpuaskan.

Gedung-gedung bertingkat dengan kaca berkilauan seolah menyembunyikan cerita-cerita tentang orang-orang di dalamnya. Di balik dinding beton itu, Murta bisa merasakan ada sesuatu yang besar dan tak terjamah, sesuatu yang terus bergerak maju tanpa pernah menoleh ke belakang. "Kota ini seperti mimpi yang tak pernah tidur," pikir Murta sambil menghembuskan napas panjang. "Seperti seseorang yang terus berlari tanpa henti, selalu mengejar sesuatu yang tak terlihat."

Murta tidak bisa menahan debar jantungnya yang semakin cepat. Jakarta, dengan segala gemerlapnya, adalah tempat yang begitu asing baginya. Jalanan penuh dengan kendaraan yang saling berlomba, manusia yang berjalan cepat seolah-olah selalu diburu waktu, dan suara klakson yang tidak pernah berhenti meraung di udara. Ada ketakutan yang menggumpal di dadanya, rasa cemas akan ketidakpastian yang ada di depannya. Namun, ada juga rasa penasaran yang menariknya lebih dalam, mendorongnya untuk terus melangkah ke dalam pusaran energi yang mendidih di setiap sudut kota ini.

"Apakah aku bisa bertahan di sini?" tanyanya dalam hati. "Atau akankah aku tersesat di antara gemerlap dan kegelapan Jakarta?" Ia menyadari bahwa Jakarta adalah tempat di mana setiap orang datang dengan harapan besar, namun tidak semua orang berhasil mewujudkan mimpinya. Di kota yang tak pernah tidur ini, banyak yang jatuh sebelum sempat bangkit, banyak yang tersesat sebelum menemukan tujuan.

Paman Naman, yang baru saja menjemput Murta di terminal bus, menepuk bahunya dengan senyum lebar. "Selamat datang di Jakarta, Murta," katanya dengan nada akrab. "Di sini, kau harus belajar melihat dunia dengan cara yang berbeda. Jakarta adalah tempat di mana semua orang mencari sesuatu, tapi tidak semua orang tahu apa yang mereka cari."

Murta menatap mata pamannya yang penuh pengalaman. Paman Naman tampak sangat akrab dengan hiruk-pikuk kota ini, seolah-olah ia telah menyatu dengan denyut hidup Jakarta. "Apa yang kau cari, Paman?" tanya Murta dengan polos, mencoba memahami apa yang membuat pamannya tetap bertahan di kota yang begitu keras.

Paman Naman tertawa kecil, sejenak menatap ke arah gedung-gedung tinggi di sekitar mereka. "Aku mencari kebebasan, Murta. Kebebasan untuk menentukan nasibku sendiri," katanya dengan nada yang lebih serius. "Tapi kadang-kadang, semakin kita mencari, semakin kita tersesat. Di sini, di Jakarta, kamu harus tahu kapan harus mengejar sesuatu dan kapan harus berhenti."

Kata-kata itu membuat Murta terdiam, merenungkan apa yang sebenarnya pamannya maksudkan. "Apakah hidup ini hanya tentang mengejar sesuatu yang tak pernah bisa kita raih?" tanyanya, mencoba menggali lebih dalam.

Paman Naman menatap Murta dengan tatapan tajam, penuh kebijaksanaan. "Tidak, Murta. Hidup bukan hanya tentang mengejar. Hidup adalah tentang menemukan apa yang benar-benar penting. Dan untuk itu, kadang-kadang kita harus tersesat terlebih dahulu. Karena dari kebingungan itu, kita akan menemukan jalan yang sebenarnya."

Murta terdiam, merenungkan kata-kata itu. Jakarta, kota besar ini, mungkin memang tempat di mana banyak orang tersesat dalam ambisinya. Tapi dari kebingungan itu, mungkin ada sesuatu yang lebih berarti, sesuatu yang hanya bisa ditemukan dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Setelah percakapan singkat di terminal bus, Paman Naman mengajak Murta berjalan-jalan untuk melihat sekilas kehidupan Jakarta. Langkah kaki mereka menyusuri jalanan kota yang ramai, melewati kendaraan yang berseliweran tanpa henti, toko-toko besar dengan papan iklan yang mencolok, dan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi ke langit. Namun, tak jauh dari pusat kota yang gemerlap, suasana berubah drastis. Murta mulai melihat rumah-rumah petak sempit yang berdesakan di pinggiran jalan, anak-anak kecil yang berlarian tanpa alas kaki, dan para pekerja yang tampak kelelahan sehabis bekerja.

"Selamat datang di wajah lain Jakarta," ujar Paman Naman dengan nada rendah, tapi sarat makna. “Di sini, kau bisa melihat kemewahan di satu sisi, dan di sisi lain, orang-orang yang tertinggal oleh kemajuan.”

Murta tertegun melihat pemandangan kontras itu. Di satu sisi, gedung-gedung megah dengan lampu neon yang terang, tempat para pengusaha berdasi hilir mudik dengan mobil mewah. Di sisi lain, hanya beberapa langkah dari sana, kampung-kampung kumuh yang semrawut dan para pekerja kasar yang berjalan dengan wajah letih, berbaur di jalanan yang sama. Murta bisa merasakan ketidakadilan yang begitu nyata di hadapannya sebuah jurang yang memisahkan dua dunia yang berbeda, meski berada di kota yang sama.

"Apakah ini harga yang harus dibayar untuk sesuatu yang disebut kemajuan, Paman?" tanya Murta dengan suara pelan namun penuh rasa ingin tahu.

Paman Naman menatap Murta, tersenyum getir. “Kadang-kadang, Murta, kemajuan seperti cermin retak. Dari kejauhan, kau melihat pantulannya yang gemerlap, indah, dan penuh janji. Tapi jika kau mendekat, retakannya terlihat jelas. Dan di balik retakan itu, ada kehidupan yang tersembunyi, kehidupan yang tidak selalu indah. Kemajuan ini tidak gratis. Selalu ada yang membayar untuknya, dan seringkali, mereka yang membayar adalah orang-orang yang paling tak terlihat mereka yang bekerja keras, tapi tetap terpinggirkan.”

Kata-kata Paman Naman menggema di benak Murta. Ia menatap jalanan yang mereka lalui, di mana dua dunia yang kontras hidup berdampingan. Di satu sisi, ada orang-orang yang tampak bahagia dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Di sisi lain, ada orang-orang yang terjebak dalam kehidupan yang keras, yang hanya bisa bermimpi tentang kebahagiaan dan kemajuan yang tampak begitu jauh dari jangkauan mereka.

Murta merasa ada sesuatu yang salah dengan gambaran ini. Jakarta, dengan segala gemerlap dan janji kemajuannya, ternyata menyimpan luka yang dalam. "Apakah ini keadilan?" pikir Murta. "Mengapa ada yang begitu banyak memiliki, sementara yang lain tidak mendapatkan apa-apa?"

Lihat selengkapnya