Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #10

Newiyah, Kebisingan, Arus manusia dan Pedagang

Pasar Lama Tangerang, pagi hari di era 1970-an, hidup dalam kebisingan khas yang tidak bisa disangkal. Gerobak-gerobak kayu berderit saat digerakkan oleh pedagang yang bersiap membuka lapak. Suara-suara manusia saling bersahut-sahutan, bercampur dengan seruan pedagang yang menawarkan dagangan, menciptakan simfoni riuh yang menjadi ciri khas pasar ini. Murta berdiri di tepi jalan pasar, menyaksikan segala pergerakan dengan tenang. Asap tipis dari kedai kopi berbaur dengan aroma keringat dan sayuran busuk yang tak lagi laku.

Di setiap sudut, cerita tersendiri tengah berlangsung. Ada pedagang yang bersikukuh menjajakan barang dagangan meskipun tak laku-laku, sementara di tempat lain, anak-anak berlarian dengan tawa lepas, seolah-olah pasar adalah taman bermain mereka. Orang-orang bergerak seperti ombak yang tak pernah berhenti, saling menyapa, bertransaksi, dan berbagi kabar. Pasar Lama Tangerang bukan sekadar tempat jual-beli. Di sini, kehidupan manusia terbentuk dari tiap interaksi kecil yang kadang tak dihiraukan oleh pengunjung.

Murta mengalihkan pandangannya ke arah Newiyah, seorang perempuan yang tampak begitu teguh, berdiri di tengah keramaian pasar seperti sebuah patung batu yang kokoh di tengah badai. Baginya, Newiyah adalah manifestasi kekuatan yang tenang. Gerakannya sederhana, namun setiap langkah yang diambilnya meninggalkan jejak tak terlihat di hati mereka yang mengamatinya. Ada ketenangan dalam dirinya yang membuat Murta tak bisa melepaskan pandangan.

"Seperti mata air yang muncul di tengah gurun," pikir Murta, matanya terpaku pada Newiyah yang dengan penuh percaya diri berbicara dengan salah seorang pedagang. Angin lembut yang membawa aroma pasar tak sanggup menghilangkan kesan kuat dari sosok wanita itu. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Newiyah tampak seperti menari di udara, penuh ketegasan namun dengan kelembutan yang terjaga.

Di balik wajahnya yang kalem, Newiyah menyimpan sesuatu yang tak pernah Murta pahami sepenuhnya. Ada sebuah dunia di dalam dirinya, sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan oleh apapun yang terjadi di luar sana. Di saat orang-orang sibuk mengurus urusan mereka masing-masing, Newiyah tampak seperti orang yang sudah tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya. Seolah-olah ia tidak hanya hidup di masa kini, tapi juga di masa depan.

Sementara itu, Murta masih mencoba memahami dirinya sendiri. Ia merasa tersesat, meski berada di tempat yang sama dengan Newiyah. “Apa yang diajarkan pasar ini padanya yang belum kutemukan?” gumamnya dalam hati, mencoba mencari jawaban dari sosok perempuan yang kini telah menarik perhatiannya sepenuhnya. Pasar ini, dengan segala hiruk-pikuknya, tampaknya menyimpan lebih dari sekadar jual-beli. Ada pelajaran tersembunyi, seperti butiran pasir halus yang hanya dapat dirasakan jika kau cukup diam untuk memperhatikannya.

Di tengah kerumunan yang tak pernah berhenti bergerak, Newiyah berdiri sebagai pusat. Ia adalah pusat gravitasi di dunia kecil ini, sebuah batu yang tak tergoyahkan oleh arus sungai yang deras. Murta merasa terpaku, terhanyut dalam pemikiran-pemikiran tentang bagaimana Newiyah bisa memiliki kekuatan dan ketenangan itu. Setiap kata, setiap gerakan yang diperlihatkannya seolah menunjukkan bahwa ia tahu betul arah hidupnya.

Ketika pasar semakin ramai, Murta tak bisa menahan rasa penasaran. Perasaannya campur aduk antara kekaguman dan keinginan untuk mengerti lebih dalam. Ia memperhatikan wajah-wajah pedagang yang tampak sibuk namun menyimpan lelah yang dalam. Mereka bertransaksi, menawar, dan bercanda dengan pelanggan, namun di balik senyuman itu, ada keletihan yang sulit disembunyikan. Dunia pasar ini tampak penuh kehidupan, tapi kehidupan di dalamnya sering kali berjalan di atas benang yang tipis.

“Pasar ini seperti tempat di mana orang-orang berpura-pura kuat,” gumam Murta pelan, melihat seorang pedagang tua dengan barang-barang yang tak laku-laku. Ia menata lapaknya setiap pagi dengan harapan yang sama, namun harapan itu perlahan memudar seiring berjalannya hari.

Newiyah berdiri di samping Murta, memperhatikan arah pandangannya. "Kau tahu, Murta," katanya dengan nada yang lebih serius. “Banyak dari mereka yang hanya berpura-pura kuat karena mereka tidak punya pilihan lain. Mereka bertahan karena jika mereka tidak bertahan, mereka akan tenggelam.”

Murta menoleh, memandangi wajah Newiyah yang tampak lebih tajam. “Tenggelam?” tanyanya, seakan tak sepenuhnya memahami maksudnya.

Newiyah mengangguk, melanjutkan dengan suara yang lebih dalam. “Pasar ini tampaknya penuh dengan kehidupan, tapi di bawah permukaannya, ada begitu banyak yang berjuang. Sistem ekonomi yang kita jalani memaksa mereka untuk terus bergerak, terus bekerja, meski mereka tahu bahwa apa yang mereka peroleh tidak akan pernah cukup. Mereka terjebak dalam lingkaran yang sama, hari demi hari. Ini adalah pertarungan yang tak pernah selesai.”

Murta mengamati kembali wajah-wajah di sekelilingnya pedagang dengan senyum yang lelah, pelanggan yang menawar tanpa rasa empati, anak-anak kecil yang membantu orang tua mereka mengangkat beban berat. "Apa semua ini hanya permainan bagi yang kuat?" tanyanya lirih.

Newiyah menatap Murta sejenak sebelum menjawab. "Bukan hanya permainan bagi yang kuat, tapi bagi mereka yang tahu cara memainkan permainan ini. Namun, permainan ini tidak adil, Murta. Ada yang menang dengan cara yang kotor, ada yang kalah meski telah berusaha sekuat tenaga. Dan mereka yang tidak memahami permainannya, ya, mereka tenggelam, seperti yang sering kita lihat di sini."

Pasar ini, bagi Murta, bukan hanya sekadar tempat transaksi barang dan uang. Kini ia mulai melihat lapisan-lapisan yang lebih dalam lapisan ketidakadilan yang membuat sebagian orang terperangkap dalam siklus tanpa akhir. Ada yang kaya karena menguasai permainan, sementara yang lain hanya menjadi korban.

Setelah beberapa saat, Murta memberanikan diri mendekati Newiyah. “Apa yang kau pelajari di sini, Newiyah? Mengapa kau tampak begitu yakin?” tanyanya, rasa penasaran meluap-luap. Ia ingin tahu apa yang membuat Newiyah berbeda, bagaimana perempuan itu bisa berdiri begitu kokoh di tengah kekacauan ini.

Newiyah tersenyum tipis, mengangguk seolah mengerti keraguan di dalam hati Murta. "Di pasar ini, Murta, kau belajar lebih dari sekadar jual-beli. Kau belajar tentang manusia, tentang kelemahan dan kekuatan mereka. Tentang apa yang membuat mereka bertahan atau menyerah."

Murta menundukkan kepalanya, merenungkan kata-kata itu. "Tapi bukankah ini semua hanya soal uang? Tentang barang dagangan?" tanyanya lagi, mencoba memaknai kehidupan di pasar ini dalam bentuk yang lebih sederhana.

Newiyah tertawa kecil, lalu menggelengkan kepala. "Tidak, Murta. Ini jauh lebih dalam dari itu. Uang dan barang dagangan hanyalah permukaan dari semua ini. Pasar ini mengajarkan kita tentang permainan yang lebih besar, tentang bagaimana bertahan di dunia yang penuh tantangan. Mereka yang bertahan bukanlah mereka yang punya uang paling banyak, tapi mereka yang tahu bagaimana memainkan permainan itu. Tapi yang lebih penting," Newiyah berhenti sejenak, menatap Murta dalam-dalam, "mereka yang bertahan adalah mereka yang tahu siapa diri mereka. Jangan biarkan pasar ini mengubahmu menjadi sesuatu yang bukan dirimu."

Murta terdiam, merenungkan pesan yang baru saja disampaikan. Di balik semua kesibukan dan hiruk-pikuk pasar, ada pelajaran-pelajaran tersembunyi yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang mau berhenti sejenak dan melihat dengan mata yang lebih jeli. Newiyah, dengan segala ketenangannya, tampaknya telah menemukan kunci untuk bertahan di dunia yang kacau ini.

“Kau yakin itu bisa dilakukan?” tanya Murta lagi, suaranya sedikit gemetar.

Newiyah tersenyum hangat. “Ya, bisa. Selama kau tidak lupa siapa dirimu, kau bisa bertahan di mana saja, bahkan di pasar yang paling keras sekalipun.”

Murta merasa sesuatu di dalam dirinya mulai terbuka. Ia mulai melihat dunia ini bukan sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan, tapi sesuatu yang harus dipahami. Seperti Newiyah, mungkin ia juga bisa belajar untuk memainkan permainan ini, tapi tanpa kehilangan dirinya sendiri di tengah proses itu.

Pasar semakin penuh seiring dengan berjalannya waktu, kerumunan orang semakin tak terhindarkan. Namun, Murta masih merasa terpisah dari kebisingan yang mengelilinginya, seperti ada tembok tak kasat mata yang membatasi pikirannya dari hiruk-pikuk tersebut. Ia kembali memandang Newiyah, mengingat dialog terakhir mereka tentang permainan dan identitas diri. Sesuatu dari percakapan itu terus mengusiknya, menuntut pemahaman yang lebih dalam.

“Newiyah,” panggil Murta ketika mereka melangkah ke sudut pasar yang lebih sepi, di mana penjual teh duduk lesu di bawah terik matahari. “Kau bilang bahwa mereka yang bertahan adalah yang tahu siapa diri mereka. Tapi bagaimana mungkin seseorang bisa tahu siapa dirinya ketika dunia terus berubah? Bukankah kita juga berubah seiring dengan waktu?”

Lihat selengkapnya