Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #11

Rumah, Cahaya, Abah Semat dan Senja

Murta duduk di samping tempat tidur Abah Semat, menatap wajah kakeknya yang semakin menua, garis-garis kehidupannya tertoreh begitu dalam di kulit yang sudah rapuh. Ruangan kecil itu diterangi oleh sinar matahari pagi yang menyusup dari celah jendela, seolah menegaskan bahwa hidup sedang dalam proses mengucapkan selamat tinggal. Aroma kayu tua yang tercium samar bercampur dengan harum khas dedaunan kering yang tertiup angin pagi dari halaman belakang rumah panggung mereka, membawa Murta pada ingatan-ingatan masa kecilnya di mana ia berlari-lari di pekarangan dengan tawa riang, sementara Abah Semat duduk di kursi anyaman bambu, tersenyum mengawasi dari jauh.

Sekarang, tawa itu hilang, digantikan oleh sunyi yang mengambang di udara, menyelimuti tubuh Murta dengan perasaan kehilangan yang perlahan-lahan semakin nyata. Dengan lirih, ia memanggil, “Abah...”

Tapi tak ada jawaban.

Jantung Abah Semat berdegup pelan, seperti irama gamelan yang nyaris berhenti. Hanya sedikit. Detak yang tersisa itu adalah nyala terakhir sebelum benar-benar padam. Murta mengulurkan tangan, menggenggam tangan kasar kakeknya yang dulu sering mengajaknya bekerja di sawah, mengajari cara menanam padi, mengerti kapan hujan akan datang, dan bagaimana membaca tanda-tanda alam. Kini, tangan itu terasa begitu ringan di genggamannya, nyaris tak ada kekuatan yang tersisa.

Cahaya di luar semakin kuat, namun kontras dengan kegelapan yang menyelubungi hati Murta. Ada kekosongan yang mulai menjalar, merambat di sudut-sudut kesadarannya. Suara angin yang sebelumnya menjadi melodi penenang kini seakan-akan berubah menjadi pengingat bahwa waktu mereka bersama akan segera berakhir. Dan di saat-saat seperti ini, Murta tak bisa mengelak dari satu pertanyaan yang menghantui benaknya: Apakah aku siap menghadapi dunia ini tanpa Abah?

Tatapannya tetap tertuju pada wajah tua itu, penuh kasih namun juga berlumur kesedihan. “Kehidupan adalah perjalanan yang tidak pernah berhenti,” kata-kata Abah Semat kembali terngiang dalam benaknya. Itu adalah kalimat yang selalu diucapkan sang kakek setiap kali hidup terasa berat, seperti mantra yang menguatkan. Murta berusaha mencari kedamaian dari kata-kata itu, tetapi sekarang, semua terasa berbeda. Seolah-olah pelajaran tersebut bukan lagi sekadar nasihat bijak, tetapi sebuah kenyataan pahit yang harus ia hadapi tanpa ada lagi Abah di sisinya.

Dalam ruang kamar yang begitu sederhana itu, hanya ada satu kasur tipis dengan kelambu kusam yang pernah menjadi saksi kehidupan panjang seorang lelaki tua yang kini berada di ambang kematian. Dinding-dinding kayu rumah panggung itu seakan berbisik tentang masa lalu yang mulai merenggang dari dunia nyata, terikat hanya oleh sedikit memori yang masih bertahan.

“Abah,” suara Murta kembali pecah, kali ini dengan tangis yang tertahan. Ada banyak hal yang ingin ia katakan. Ada banyak tanya yang belum sempat terjawab. Ada banyak janji yang tak kunjung ditepati.

“Apakah aku sudah cukup belajar darimu? Apakah aku sudah siap mewarisi apa yang kau tinggalkan? Bagaimana aku bisa menjadi kuat seperti engkau, Abah?”

Dalam benaknya, bayangan masa kecilnya terus menghampiri kegigihan Abah Semat dalam mengajarkan cara hidup yang sederhana namun penuh makna. Meskipun tak banyak kata-kata manis yang pernah keluar dari mulut lelaki itu, semua pelajaran terasa meresap lebih dalam, mengakar kuat. Murta tahu bahwa di balik setiap gerak tubuh dan tindakan Abah Semat, ada kebijaksanaan yang terkandung, ada nilai yang ia wariskan tanpa perlu banyak bicara. Dan hari ini, Murta merasa bahwa pelajaran terakhir itulah yang kini sedang disampaikan pelajaran tentang ketekunan, tentang menghadapi hidup dengan kepala tegak meskipun badai menghantam.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti seribu tahun. Waktu yang melambat itu memberi Murta ruang untuk meresapi, untuk menggali setiap memori yang pernah tercipta antara dirinya dan Abah Semat. Seolah, takdir memberi kesempatan baginya untuk mengucapkan selamat tinggal dengan lebih mendalam, lebih penuh kesadaran. Setiap suara detik jam yang terdengar dari sudut ruangan membuat Murta semakin sadar bahwa hidup Abah sedang berpindah ke fase lain, menuju alam yang tak kasat mata. Dan dia? Dia akan tetap di sini, di dunia ini, bertahan dan berjuang dengan warisan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Abah.

Momen itu, penuh dengan perasaan hampa dan kehampaan yang begitu menekan, terasa seperti perlahan-lahan mengerucut ke satu titik. Sebuah titik di mana Murta harus berdiri, mengambil alih kemudi, dan mulai berlayar di lautan kehidupan tanpa Abah sebagai pandu. Tapi apakah dia siap? Apakah cukup semua pelajaran yang telah diberikan selama ini?

Perasaan takut yang sudah lama ia simpan di sudut hatinya kini mulai merangsek keluar. Takut akan masa depan yang tak menentu, takut akan hidup tanpa kehadiran seseorang yang selama ini menjadi jangkar kehidupannya. Dan meskipun Murta berusaha keras menahan air mata, akhirnya ia menyerah. Air mata itu jatuh, mengalir perlahan di pipinya, membasahi tangan Abah Semat yang sudah tak lagi mampu merespons.

Malam-malam sebelumnya, saat kondisi Abah mulai memburuk, Murta telah membayangkan momen ini. Namun kenyataannya, tak ada yang benar-benar bisa mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kematian orang yang dicintai. Murta tahu, setelah ini, segalanya akan berbeda. Hidup akan berlanjut, tapi tidak dengan cara yang sama lagi.

“Aku takut, Abah,” bisiknya lirih, seolah berharap Abah Semat masih bisa mendengarnya.

Namun, tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menjadi sahabat setianya di ruangan itu. Kesunyian yang menyusup hingga ke tulang, membuat setiap detik terasa lebih menekan. Murta tahu, inilah saat-saat terakhirnya bersama Abah, dan setelah itu, ia akan berdiri sendiri, menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan tanpa ada sosok bijak yang menuntunnya.

Abah Semat selalu mengatakan bahwa kehidupan adalah sebuah perjalanan. Namun kini, perjalanan itu terasa begitu sepi dan penuh ketidakpastian. Dan di dalam kesunyian itu, Murta mulai menyadari bahwa ia tidak akan pernah benar-benar siap, tak peduli berapa banyak pelajaran yang telah ia terima. Kehilangan selalu menyakitkan, dan siapapun tidak akan pernah benar-benar siap menghadapinya.

Namun, di dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa setiap langkah ke depan adalah wujud dari keteguhan Abah. Murta merasa ada sedikit kekuatan yang tersisa di genggaman tangan kakeknya yang sudah sangat lemah. Itu bukan kekuatan fisik, tapi semangat, tekad, dan kebijaksanaan yang diam-diam dipindahkan padanya seperti sebuah warisan yang tak kasat mata, namun tak ternilai harganya.

Dalam sunyi, Murta menutup matanya sejenak, menghirup udara dalam-dalam, dan mencoba menerima kenyataan. Ia tahu, meskipun Abah Semat akan pergi, pelajarannya akan selalu hidup dalam dirinya. Dan di saat-saat terakhir ini, ia hanya bisa berharap bahwa ia mampu menghormati warisan itu dengan hidup yang penuh makna, meski jalannya akan penuh dengan tantangan dan ketidakpastian.

Murta menggenggam tangan Abah untuk terakhir kalinya, dan perlahan-lahan, napas kakeknya mulai melemah, seiring dengan cahaya pagi yang semakin terang di luar. Waktu terus bergerak, tanpa henti. Dan begitu juga hidup.

Setelah hari yang panjang, tubuh Abah Semat akhirnya menyerah pada usia. Kematian datang seperti angin senja yang lembut diam-diam, nyaris tanpa suara, menghilangkan semua kehidupan yang tersisa dari tubuh lelaki tua itu. Murta masih duduk di tepi ranjang, tangan kakeknya masih ia genggam, kini sudah dingin. Kepergian itu begitu tenang, tapi di dalam dirinya, Murta merasa seperti dunia tengah berguncang, seperti ada sesuatu yang besar, nyaris tak terdefinisikan, hilang selamanya dari hidupnya.

Suara pintu kayu yang berderit pelan membuyarkan kesunyiannya. Beberapa tetua kampung sudah berdiri di ambang pintu, menunggu dengan wajah muram. Mereka semua tahu saatnya telah tiba, saat di mana seorang figur penting bagi masyarakat Dumpit Raya meninggalkan mereka untuk selamanya.

“Abah Semat sudah pergi...” bisik salah seorang tetua. Suaranya nyaris tak terdengar, tetapi begitu menggetarkan.

Di luar, beberapa orang mulai berkumpul, perlahan namun pasti. Seolah-olah mereka dipanggil oleh naluri kolektif yang mendesak mereka untuk menghormati seseorang yang telah menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Kabar kepergian Abah Semat dengan cepat menyebar ke seluruh kampung, dan meski tak semua bisa hadir, mereka yang datang membawa perasaan kehilangan yang sama, tertanam di setiap sudut hati mereka.

Namun, di balik rasa duka, ada percakapan lain yang mulai berbisik dari satu bibir ke bibir lainnya. Pembicaraan tentang masa depan, tentang ketakutan, dan tentang apa yang akan terjadi setelah Abah Semat tidak ada lagi di antara mereka.

“Masa depan kampung ini,” ujar salah seorang tetua yang hadir, Pak Lebai, dengan nada yang berat, “terasa semakin tak pasti. Abah Semat adalah penjaga tradisi kita, murid terakhir dari para leluhur. Apa yang akan terjadi setelah ini?”

Seseorang di belakangnya menimpali, “Modernisasi terus mendesak masuk, dan kita? Kita semakin kehilangan identitas kita. Pasar-pasar tradisional mulai digantikan oleh yang lebih besar, lebih modern. Kita dipaksa bersaing dengan cara yang tidak adil.”

Murta mendengar percakapan itu, meski hanya sepintas, tetapi tiap kata yang terucap menambah beban di pundaknya. Ini bukan hanya tentang kematian Abah Semat, tapi tentang masa depan kampung mereka, Dumpit Raya. Kematian Abah seakan menjadi simbol dari apa yang perlahan-lahan akan hilang tradisi, nilai-nilai, dan cara hidup yang telah mereka kenal selama berabad-abad.

Dulu, Abah Semat bukan hanya kakek bagi Murta. Ia adalah tiang penyangga bagi masyarakat ini, seorang pemimpin informal yang suaranya selalu didengar dengan hormat. Setiap keputusan penting, dari pertanian hingga adat, tak pernah terlepas dari pandangan dan kebijaksanaannya. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini. Tapi sekarang? Jembatan itu telah runtuh, dan masyarakat mulai merasa tersesat.

Di tengah perbincangan itu, Pak Lebai kembali berujar, “Pasar tradisional kita semakin kalah oleh pedagang besar. Mereka datang dengan modal dan strategi yang lebih kuat, tanpa peduli pada kita yang kecil ini. Abah Semat selalu memperingatkan kita akan bahaya ini, tapi... sekarang siapa yang akan membela kita?”

Murta menunduk, hatinya berkecamuk. Kata-kata Pak Lebai seakan menancap dalam di benaknya. Kampung ini memang semakin berubah. Perubahan yang tak bisa lagi ia kendalikan, terutama tanpa kehadiran Abah. Modernisasi yang terus mendesak masuk membawa janji kemudahan, kemajuan, tapi di balik itu, ada harga yang harus dibayar harga dari hilangnya jati diri mereka sebagai masyarakat agraris yang hidup dengan ritme alam dan tradisi. Pasar tradisional mereka, yang dulu menjadi pusat ekonomi kampung, kini mulai terpinggirkan oleh pedagang-pedagang besar yang datang dari kota, membawa cara-cara baru yang tidak mereka mengerti, bahkan seringkali tidak adil.

“Apakah ini harga yang harus kita bayar untuk disebut maju?” pikir Murta. “Apakah kita harus kehilangan semua yang kita cintai hanya untuk mengikuti arus?”

Di sudut hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya pertarungan antara modernisasi dan tradisi, tetapi juga perjuangan untuk mempertahankan identitas mereka. Murta merasa bahwa perjuangan keluarganya untuk menjaga bisnis kecil di pasar bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga tentang mempertahankan keberadaan mereka sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar. Dan tanpa Abah, tantangan ini terasa semakin berat.

Namun, di tengah duka itu, Abah Semat, dalam kondisinya yang lemah, tiba-tiba membuka mata. Matanya sudah tak lagi secerah dulu, tapi ada ketenangan di dalamnya, seperti langit senja yang merona sebelum malam tiba. Ia memanggil Murta dengan suara yang pelan, namun pasti, “Nak... mendekatlah...”

Murta menunduk, mendekatkan telinganya pada bibir kakeknya yang kini pucat.

“Dunia ini,” ujar Abah Semat, suaranya nyaris tak terdengar, “akan terus berubah. Tapi ada hal-hal yang harus tetap kamu pegang, seperti kejujuran dan ketekunan. Jangan pernah biarkan dunia merenggutnya darimu.”

Murta merasa setiap kata yang keluar dari mulut kakeknya begitu berat, seolah-olah itu adalah sisa-sisa kekuatan terakhir yang Abah miliki. Tapi di balik kata-kata itu, ada sebuah warisan tak terlihat yang sedang dipindahkan kepadanya. Sebuah amanat yang tak boleh ia abaikan.

“Abah, aku takut...” kata Murta, suaranya bergetar. “Aku takut tidak bisa mempertahankan semua yang telah kau ajarkan padaku. Dunia ini semakin rumit, Abah. Aku tidak tahu apakah aku mampu.”

Abah Semat tersenyum lembut, senyum yang menyiratkan pengalaman hidup yang begitu dalam. “Nak... tidak apa-apa untuk merasa takut. Ketakutan adalah bagian dari perjalanan. Tapi ingatlah, keberanian tidak berarti tidak merasa takut. Keberanian adalah tetap melangkah meski kamu merasa takut.”

Murta diam sejenak, merenungkan kata-kata itu. Ketakutan yang selama ini menghantuinya ketakutan akan dunia yang terus berubah, ketakutan akan kehilangan tradisi, ketakutan bahwa ia tidak akan mampu melanjutkan warisan Abah semuanya kini terasa lebih ringan. Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena ia mulai mengerti bahwa perasaan takut itu tidak harus dihindari. Perasaan itu bisa ia bawa bersamanya, namun dengan keberanian ia bisa terus berjalan, meskipun langkahnya terasa berat.

Lihat selengkapnya