Murta Keluarga Jamur

Tourtaleslights
Chapter #12

Kios, Pasar, Daun Melati dan Warisan

Murta berdiri diam di depan kios kecil milik keluarganya, memandang barang-barang yang tertata rapi di atas meja kayu yang usang. Angin sore yang lembut berhembus pelan, membawa aroma bunga melati dari halaman belakang, seolah-olah mengingatkan pada momen-momen ketika Abah Semat masih ada. Kios ini, yang berdiri kokoh meski sudah bertahun-tahun berlalu, adalah bukti ketekunan kakeknya, warisan yang kini berada dalam tangannya. Namun, di balik rasa bangga, ada perasaan cemas yang tak bisa diabaikan.

“Ini adalah warisan yang Abah Semat tinggalkan untukku,” pikir Murta dalam hati, seraya menyentuh sudut meja yang mulai usang, mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Sentuhan tangan Abah yang dulu kuat, kini digantikan oleh dirinya yang masih meragukan kemampuannya sendiri. “Tapi apakah aku mampu meneruskannya? Apakah aku bisa melindungi dan mengembangkannya di tengah dunia yang terus berubah ini?”

Cahaya senja menyinari kios sederhana itu, menciptakan bayangan panjang dari rak-rak kayu yang dipenuhi barang-barang dagangan. Ada minyak goreng dalam botol kaca tua, beras dalam karung goni, sayur-sayuran segar yang ditata rapi, serta beberapa barang kebutuhan harian lainnya yang selalu dibutuhkan oleh penduduk kampung. Kios ini bukan hanya tempat berdagang, tetapi juga menjadi pusat interaksi, tempat orang-orang berbagi cerita, bertukar kabar, dan saling menguatkan.

Namun, Murta tahu bahwa di luar sana, dunia terus bergerak cepat. Di jalan-jalan utama Tangerang, gedung-gedung baru mulai bermunculan, toko-toko modern dengan barang-barang yang lebih murah dan lebih mudah diakses. Murta pernah mengunjungi satu atau dua di antaranya, dan meski ia tidak menyukai atmosfer yang dingin dan mekanis, ia tidak bisa menyangkal daya tariknya bagi orang-orang yang menginginkan segala sesuatu serba praktis.

“Abah, aku akan berusaha sebaik mungkin,” bisiknya pelan, matanya terpejam sejenak, mencoba merasakan kehadiran Abah di sekelilingnya. Angin yang bertiup membelai wajahnya, seolah-olah membawa suara lembut Abah dari jauh. “Aku akan menjaga warisan ini, tidak hanya untuk keluarga kita, tapi juga untuk kampung ini.”

Langkah kaki Murta bergema di lantai kayu kios saat ia berkeliling, memastikan setiap sudutnya terawat dengan baik. Ini adalah dunia kecil yang diwariskan Abah Semat, penuh dengan nilai-nilai yang mengakar kuat: kejujuran, ketekunan, dan rasa saling percaya. Namun, ada bagian dari dirinya yang merasa bahwa dunia ini perlahan-lahan mulai terkikis. Ketika Abah masih hidup, ia selalu tahu bagaimana menghadapi tantangan. Tapi sekarang, Murta harus menemukan caranya sendiri.

Di tengah keheningan sore itu, Murta teringat bagaimana Abah Semat sering duduk di kursi rotan tua di sudut kios, memandang para pelanggan yang datang dan pergi. Abah selalu tampak tenang, seolah-olah setiap masalah dunia bisa diselesaikan dengan secangkir kopi hitam dan percakapan yang penuh makna. Tapi di balik ketenangan itu, Murta tahu bahwa Abah bekerja keras untuk menjaga agar usaha mereka tetap berjalan, meski dunia di luar terus berubah.

Konsep waktu seakan melambat saat Murta terhanyut dalam pikirannya. Setiap detik terasa panjang, memberikan ruang bagi Murta untuk merenung tentang tanggung jawab besar yang kini ia emban. “Bagaimana aku bisa menjalankan ini sendirian?” gumamnya, suaranya tenggelam di antara deru angin dan gemerisik daun-daun kering di halaman.

Murta mencoba memetakan apa yang harus dilakukan ke depannya. Kios ini tidak hanya tempat berjualan; ini adalah simbol dari jati diri keluarganya, dari komunitas yang selama ini telah tumbuh bersama-sama. Setiap barang yang ada di sini punya cerita, punya nilai yang tidak bisa diukur hanya dengan uang. Tapi dunia di luar sana mulai melihat segalanya hanya dari segi keuntungan dan efisiensi. Mampukah Murta mempertahankan apa yang Abah tinggalkan, atau ia harus berubah bersama dunia?

Di kejauhan, suara tawa anak-anak yang bermain di halaman belakang kampung terdengar samar, melintas di antara deru angin sore. Murta membuka mata, tatapannya kembali pada kios kecil yang berdiri tenang di bawah bayang-bayang pohon jambu tua. Pohon itu sudah ada sejak ia kecil, dan seperti kios ini, pohon itu juga menjadi saksi bisu dari segala peristiwa yang terjadi di keluarganya.

Sore itu, Murta merasakan campuran perasaan yang kompleks. Kebanggaan karena dipercaya untuk meneruskan warisan keluarga, tapi juga kecemasan yang mendalam tentang apakah ia bisa menjaga semua itu tetap utuh di tengah dunia yang semakin tidak ramah pada yang kecil. Modernisasi telah masuk ke setiap sudut kehidupan, dan Murta tahu ia tidak bisa mengabaikan hal itu. Tapi, bagaimana caranya menghadapi dunia yang terus berubah tanpa mengorbankan prinsip-prinsip yang telah Abah tanamkan?

Angin sore semakin kencang, membuat beberapa daun melati jatuh perlahan ke tanah, menciptakan pemandangan yang indah dan hening. Setiap daun yang jatuh seakan membawa kenangan masa lalu, saat Murta dan Abah Semat duduk bersama di bangku kayu di halaman, berbicara tentang segala hal dari musim tanam hingga kisah-kisah dari masa lalu. Sekarang, bangku itu kosong, dan hanya angin yang menemaninya.

Murta tahu, waktu terus berjalan. Dunia di luar semakin maju, namun di kampung ini, di kios ini, segala sesuatunya seolah berhenti. Tapi bisa sampai kapan? “Aku tidak bisa hanya berdiri di sini dan berharap semuanya tetap sama,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”

Dengan langkah pelan, Murta mendekati rak di sudut kios, mengambil sebuah kaleng biskuit tua yang sudah mulai berkarat. Di dalamnya, tersimpan beberapa surat-surat dan catatan lama Abah Semat semacam jurnal kecil yang mencatat setiap perubahan yang terjadi di pasar dan bagaimana Abah menghadapinya. Membaca tulisan tangan Abah yang rapi dan sederhana, Murta merasakan seolah-olah ia sedang berbicara langsung dengan kakeknya. Setiap kata dalam catatan itu mencerminkan kebijaksanaan yang mendalam, tetapi juga kesadaran bahwa dunia terus berubah, dan mereka harus siap beradaptasi.

Namun, di setiap catatan itu, ada satu hal yang selalu ditekankan oleh Abah: kejujuran adalah kunci. Murta menutup jurnal kecil itu dengan hati-hati, menyadari bahwa itulah inti dari semua yang Abah ajarkan. Meskipun dunia berubah, nilai-nilai dasar tidak boleh dikorbankan. Tapi, apakah nilai-nilai itu bisa bertahan di tengah perubahan yang begitu besar?

Senja semakin meredup, menyisakan semburat cahaya keemasan di langit barat. Kios kecil itu kini diselimuti oleh bayangan pohon jambu, menciptakan suasana yang tenang tapi penuh dengan perasaan rindu dan harapan. Murta berdiri diam, memandang kios itu sekali lagi, mencoba menyiapkan dirinya untuk tantangan yang ada di depan.

“Abah, aku akan mencoba sebaik mungkin,” bisiknya lagi, kali ini dengan keyakinan yang sedikit lebih kuat. “Aku tahu dunia ini berubah, tapi aku akan menemukan caraku sendiri untuk menjalankan warisan ini. Aku tidak akan membiarkan semua yang kau bangun hilang begitu saja.”

Angin sore kembali berhembus lembut, seakan mengantar doa Murta ke langit yang semakin gelap. Di kejauhan, suara azan maghrib mulai berkumandang, mengiringi langkah Murta yang kembali masuk ke dalam kios, mempersiapkan dirinya untuk hari-hari yang penuh tantangan.

Keesokan harinya, Murta kembali ke pasar tradisional. Jalanan setapak yang biasa ia lalui kini terasa berbeda lebih sepi dan sunyi. Angin berhembus lembut, membawa suara dedaunan yang jatuh dari pohon-pohon tua di sepanjang jalan. Murta menyusuri gang-gang pasar yang penuh dengan kios-kios kecil, beberapa di antaranya sudah mulai tutup, meninggalkan bangunan kayu yang seolah berbisik tentang masa-masa kejayaan mereka dulu. Di sisi lain, kios-kios modern mulai bermunculan, menyuguhkan barang-barang dengan harga yang jauh lebih murah, namun tanpa sentuhan personal yang pernah menjadi ciri khas pasar ini.

Murta menghentikan langkahnya di depan kios milik Pak Jali, seorang penjual  tape yang sudah berjualan di pasar ini sejak zaman Abah Semat. Kios kecil itu tampak muram, dengan  tape- tape yang belum laku tergeletak di meja bambu. Pak Jali sendiri duduk di kursi reyot di belakang kiosnya, matanya menerawang jauh.

"Semakin sedikit orang yang datang ke sini, Murta," kata Pak Jali pelan, memecah keheningan. "Orang-orang lebih memilih membeli barang-barang dari toko-toko modern di pinggir jalan. Lebih murah, katanya. Lebih praktis."

Murta terdiam, perasaannya bercampur aduk. Ia bisa merasakan betapa kerasnya dampak perubahan ini bagi para pedagang kecil seperti Pak Jali. Harga  tape buatan tangan yang dulunya menjadi kebanggaan kampung ini kini kalah oleh produk pabrikan yang diproduksi massal dengan harga lebih murah, meskipun rasanya tak sebanding.

"Ini bukan hanya tentang harga," lanjut Pak Jali, matanya tampak lelah. "Ini tentang bagaimana kami, yang kecil-kecil ini, makin terpinggirkan. Kami tak punya modal besar, tak punya alat canggih, tak bisa bersaing dengan para pedagang besar itu. Mereka datang dari kota, membawa barang-barang murah, dan kami hanya bisa melihat kios-kios kami semakin sepi."

Murta mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan perih yang sama di dalam hatinya. Kampung ini, pasar ini, adalah jantung dari kehidupan masyarakat setempat. Tapi perlahan-lahan, modernisasi mulai menyusup, mengubah cara orang berpikir dan bertindak. Kini, segalanya diukur dengan harga dan kecepatan, bukan lagi dengan kualitas atau relasi yang dibangun antara pedagang dan pelanggan.

“Mereka yang kuat semakin kuat, dan mereka yang lemah semakin tersingkir,” pikir Murta dalam hati. "Ini bukan hanya tentang persaingan, tapi tentang ketidakadilan yang semakin mengakar."

Ia mengingat percakapan dengan Abah Semat sebelum kakeknya meninggal. Saat itu, Abah Semat sudah mulai merasakan adanya perubahan ini, dan ia pernah berkata kepada Murta bahwa dunia tak selalu berpihak kepada mereka yang jujur dan tekun. Namun, kata Abah, selama mereka berpegang teguh pada nilai-nilai yang benar, mereka akan selalu memiliki tempat di dunia ini.

Tapi sekarang, Murta merasa keyakinannya mulai goyah. Ia menyaksikan sendiri bagaimana pedagang-pedagang kecil seperti Pak Jali harus menghadapi kenyataan pahit. “Apakah ini harga dari modernisasi?” tanyanya dalam hati. “Apakah kita harus mengorbankan yang kecil demi keuntungan yang besar?”

Sementara pikiran itu terus berputar, suara langkah kaki pelan mendekati Murta. Newiyah muncul dari arah gang lain, membawa sekeranjang singkong yang baru dipetik dari ladangnya. Wajahnya tersenyum lembut, memberikan sedikit rasa hangat di tengah suasana muram pasar hari itu.

“Kamu tampak sedang memikirkan sesuatu yang mendalam, Murta,” ucap Newiyah seraya meletakkan keranjang singkong di depan kios Pak Jali. “Apa yang ada di pikiranmu?”

Murta menoleh, mencoba mengatur napasnya yang berat. “Aku merasa beban yang besar di pundakku sekarang, Newiyah. Warisan Abah Semat bukan hanya tentang barang dagangan, tapi tentang nilai-nilai yang harus kupertahankan. Tapi di saat yang sama, aku tahu dunia ini terus berubah. Bagaimana aku bisa menjembatani keduanya?”

Newiyah menatap Murta dalam-dalam, matanya penuh dengan pengertian. Ia selalu tahu bagaimana Murta merasa tertekan sejak kepergian Abah Semat. Ia juga paham betapa Murta merasakan tekanan yang besar dari perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Dunia tidak lagi sama seperti dulu, dan Murta harus menemukan cara untuk menghadapi tantangan ini, sambil tetap menjaga nilai-nilai yang diwariskan kepadanya.

“Warisan tidak selalu tentang menjaga apa yang ada, Murta,” jawab Newiyah setelah hening sejenak. “Kadang-kadang, warisan itu adalah tentang bagaimana kita membuat sesuatu yang baru dari dasar yang sudah diberikan kepada kita. Kamu tidak harus melakukan semuanya persis seperti Abah Semat. Kamu bisa mengambil apa yang diajarkan dan menyesuaikannya dengan tantangan zaman ini.”

Murta terdiam, merenungkan kata-kata Newiyah. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa menjaga warisan berarti harus memegang teguh setiap detail yang sudah ada kios, cara berdagang, hubungan dengan pelanggan. Tapi mungkin, ada cara lain. Mungkin, ia tidak perlu mengikuti jejak Abah Semat persis sama, tetapi ia bisa menemukan jalannya sendiri.

“Jadi menurutmu, aku harus mengubah sesuatu?” tanya Murta, masih setengah ragu.

Newiyah tersenyum lembut. “Bukan mengubah, tapi beradaptasi. Dunia ini berubah, tapi nilai-nilai yang kamu pegang tetap bisa hidup dalam bentuk yang berbeda. Mungkin kamu tidak harus selalu berjualan dengan cara yang sama seperti dulu. Mungkin ada cara baru untuk menjalankan kios ini tanpa harus mengorbankan integritas yang sudah ditanamkan Abah.”

Murta memandang Newiyah, merasakan sedikit cahaya di tengah kegelapan pikirannya. “Beradaptasi...” gumamnya pelan. “Aku bisa tetap mempertahankan nilai-nilai yang Abah ajarkan, tapi dalam cara yang sesuai dengan zaman ini.”

“Benar,” jawab Newiyah. “Terkadang, kita harus membiarkan hal-hal yang tidak esensial berubah, sementara tetap mempertahankan inti dari apa yang membuat kita menjadi siapa kita.”

Murta merenung, mencoba memetakan pikirannya. Mungkin Newiyah benar. Mungkin ia bisa menemukan cara untuk mempertahankan kejujuran dan ketekunan yang diwariskan Abah, sambil menghadapi tantangan-tantangan modern yang tak bisa dihindari. Murta mulai berpikir tentang bagaimana ia bisa membawa kios ini ke era baru tanpa kehilangan jati diri.

“Apa yang bisa aku lakukan untuk mulai beradaptasi?” tanya Murta, kali ini dengan nada yang lebih yakin.

Newiyah tersenyum lagi, menatap langit yang mulai memerah oleh sinar senja. “Mungkin kamu bisa memikirkan cara-cara baru untuk menarik pelanggan. Mungkin kamu bisa mulai menjalin hubungan dengan orang-orang dari luar kampung, memperkenalkan barang-barang yang kamu jual kepada mereka. Tapi yang paling penting, kamu harus ingat bahwa nilai-nilai itu tetap harus menjadi landasanmu, apapun yang kamu lakukan.”

Murta mengangguk. Ia mulai melihat jalan yang bisa ia tempuh. Ia tidak harus memutuskan hubungan dengan masa lalu, tetapi ia bisa membuka diri terhadap masa depan. Dunia ini mungkin tidak sama lagi seperti dulu, tetapi itu tidak berarti ia harus menyerah begitu saja.

“Kamu benar, Newiyah,” kata Murta akhirnya. “Aku bisa tetap mempertahankan warisan Abah Semat, tapi aku juga harus berani beradaptasi. Aku harus menemukan cara untuk menyeimbangkan antara menjaga tradisi dan menghadapi perubahan.”

Lihat selengkapnya