Salah satu pengalaman solo riding saya yang berkesan terjadi di Nepal. Negeri ini kerap disebut The Land of Shangri-La. Para pelancong kerap ke sini dengan tujuan mencari ketenangan dan ketenteraman. Banyak pula yang menjulukinya Negeri Atap Dunia. Berada pada ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut, Nepal memiliki delapan dari sepuluh puncak tertinggi di dunia. Terbayang kan, bagaimana segar dan eksotisnya jalan-jalan di sana?
Tak mengherankan jika banyak orang berharap mendapat pencerahan setelah ke Nepal. Selain itu, pemandangan negeri ini memang menarik sekali. Awan-awan putih yang menyaput pegunungan tampak merayu meminta disentuh. Setiap melihat gambar-gambar tentang Nepal, saya selalu bertanya-tanya, “Wah, kapan saya bisa ke situ?”
Nah, suatu ketika ada sahabat saya dari SMP dan SMA yang bekerja di bidang periklanan menuliskan status, “Lagi meditasi di Kathmandu, Nepal.” Wah ... enough. Cukup sudah, tergodalah iman dan angan saya. Namun, ide kunjungan ke Nepal sebenarnya muncul tanpa diduga-duga, bermula dari sebuah kegagalan.
Saat itu, menjelang akhir 2014, sejumlah teman berencana touring ke Flores, Nusa Tenggara Timur. Saya tertarik ikut. Namun, saya memang punya kebiasaan buruk memberikan konfirmasi dadakan. Rencananya, touring berlangsung seminggu menempuh rute dari tanah Larantuka sampai Bali.
Saya senang sekali. Momennya sudah pas ketika saya sedang tidak banyak urusan. Sepeda motor bahkan sudah disiapkan di bengkel. Tinggal diangkut, pokoknya. Ternyata, eh, ternyata, kargonya sudah tidak muat. Ada yang membatalkan mobil towing.
Terus bagaimana ini? Semangat sudah menggebu, tetapi batal berangkat karena sepeda motor tak bisa di-towing. Sangat teknis sekali masalahnya. Tentu saya kecewa, toh roda hidup terus berputar. Demi melipur hati yang lara, saya segera teringat angan yang tertunda, menjelajahi area Nepal. Saya ingin menjadi musafir ke negeri-negeri di atas awan, di bawah bayangan keanggunan dan bentangan Pegunungan Himalaya dan mempelajari rutenya.
Berangkatlah saya ke Nepal pada Desember yang penuh gairah. Istri saya, Nadia, pun turut serta. Tak lupa saya mencari-cari via internet tentang tempat persewaan sepeda motor di Kathmandu, Nepal.
Sebetulnya di sana ada persewaan sepeda motor BMW, tetapi prosesnya ribet dan jumlahnya tidak banyak, diprioritaskan untuk touring rombongan dengan guide lokal. Rata-rata yang disewakan Royal Enfield, pabrikan motor legendaris asal Inggris sejak 1950-an yang saat ini sudah diproduksi di India.
Sepeda motor ini cukup unik. Baru, tetapi klasik. Begitulah, gayanya retro. Banyak yang bilang Royal Enfield itu sepeda motor badak. Konon, hanya sepeda motor ini yang sanggup menaklukkan Himalaya. Karena istri ikut dan persiapan seadanya, saya memilih rute yang tidak terlalu ekstrem. Kami santai agar bisa menikmati alam, pemandangan, budaya, dan kulinernya.
Saya masih ingat konfirmasi pembelian tiket online Rabu, dan Jumatnya sudah berangkat. Serbaspontan memang, yang begini yang membikin hidup lebih hidup. Pilihannya ternyata ada beberapa penerbangan, Malaysia Airlines, Singapore Airlines, atau Air Asia. Beberapa bulan sebelumnya, sekitar Juni 2014, pesawat Malaysia Airlines beberapa kali terkena musibah, di antaranya jatuh, sementara Singapore Airlines relatif mahal, jadi kami pilih Air Asia. Pesawat berangkat pagi hari dengan singgah di Kuala Lumpur, Malaysia. Bismillahi Majreeha ....
Di penerbangan dari Kuala Lumpur ke Kathmandu, ibu kota Nepal, penumpangnya rata-rata terdiri atas laki-laki pekerja. Mereka tinggi dan perawakannya hampir mirip, sepertinya pekerja proyek bangunan. Dari seratusan penumpang saat itu, wanitanya hanya empat atau lima, tetapi alhamdulillah semua berlangsung dengan aman.
Setiba di Kathmandu, kami menunggu jemputan free pick up dari hotel yang ternyata gak datang-datang. Sesuai panduan travel advisor dan lonely planet, saya dan Nadia memakai taksi carteran lokal menuju hotel yang sudah dipesan. Driver-nya persisten menawari, sedari kami keluar pintu bandara sampai saat kami menunggu jemputan. Saya memang terbiasa memesan hotel terlebih dahulu, paling tidak untuk hari pertama dari bandara agar lebih pasti, terutama kalau ajak istri. Apalagi kalau pesawat mendarat malam.
Kami pun menginap di Hotel Alphens Thamel, kawasan komersial di Kathmandu. Sengaja saya pilih Thamel karena keramaian suasananya. Bisa dibilang Thamel telah menjadi pusat area pariwisata, seperti Kuta di Bali, tapi di ketinggian pegunungan.
Banyak pelancong menjadikan daerah ini tempat transit. Ada banyak gang sempit, dengan toko sayuran, buah-buahan, kue, hingga toko kelontong di sini. Jadi, kami mudah mencari kebutuhan sehari-hari di Thamel.
***
Pagi hari, usai beristirahat, kami segera mencari sepeda motor untuk disewa. Thamel memang sangat padat. Banyak gang yang membentuk labirin. Agak mirip dengan Kuta Bali atau bahkan Tanah Abang di Jakarta. Yang asyik, di sini ada becak yang khas muat berdua. Kami sempat berkeliling-keliling kota naik itu.
Ada satu taman dengan bangunan yang sangat cantik, Garden of Dreams namanya. Wah, ini ibarat oase di tengah kesemrawutan Kathmandu. Terdapat juga restoran yang nyaman di dalamnya. Mungkin di Indonesia seperti Kebun Raya Bogor versi mini, kecil tapi indah.
Karena tukang becaknya meyakinkan kami bahwa dia bisa mengantar, dari taman itu kami menuju tempat persewaan sepeda motor. Becak dikayuh pelan. Melewati beberapa tanjakan, terpaksa kami turun karena kasian beban terlalu berat dan tenaga tukang becak tidak memungkinkan. Ternyata lokasinya masih cukup jauh. Dasar nasib, setiba di sana, kantornya sudah tutup. Hari itu Sabtu, jadi rental hanya buka sampai pukul satu siang. Kami pun pulang tanpa sepeda motor pesanan. Sempat sedikit kesal karena berlama-lama menghabiskan waktu pakai becak, sampai tokonya sudah tutup. Ya sudahlah, lantas kami balik ke Thamel lagi, mampir ke Garden of Dreams lagi.
Saya sempat bingung juga karena memang tidak banyak persiapan saat itu. Rencananya hanya jalan-jalan naik sepeda motor keliling Nepal, titik. Soal bagaimana mendapatkan sepeda motornya saya siapkan seadanya saja. Sayang juga kalau harus menunggu rental motornya buka keesokan hari, apalagi jika harus menunggu sampai Senin.
Nah, kejadian menarik saya alami di sini. Pengayuh becak yang tadi mengantar kami tampak belum beranjak dari tempatnya. Rupanya dia menunggu karena memory card kami ketinggalan di becaknya. Wah, saya pikir ini luar biasa sekali. Sebab, bisa saja si pengayuh becak langsung pergi, tidak melihat kartu kecil itu, tapi dia memilih menunggu dan mengembalikan.
Kemudian di perjalanan pulang, dia mengambil jalan pintas, melintasi labirin kota. Tiba-tiba saya melihat ada bengkel sepeda motor dengan deretan motor di depannya. Berhentilah saya di satu bengkel. Setelah bertanya-tanya, ternyata ada Royal Enfield 350 cc dan 500 cc yang disewakan. Sepeda motor lainnya setara trail adventure Honda dan Bajaj Pulsar. Saya berusaha berkomunikasi dengan operator yang ternyata juga owner-nya. Saya katakan kalau saya dari Jakarta mau solo riding keliling Nepal. Pemilik persewaan sepeda motor itu, Babu namanya, membantu menunjukkan arah di peta. Saat ngobrol-ngobrol soal arah jalan, Babu lebih kurang bilang, “I think I know you. Your face is so familiar to me.”
Saya terdiam agak lama. Eh, ternyata dia salah satu orang yang chatting dengan saya sewaktu browsing tentang persewaan sepeda motor di Nepal. Bengkelnya biasa saja, tapi dia, tongkrongannya jelas anak motor. Jadi, dia tidak tanya-tanya lagi saya punya SIM internasional atau tidak, sepeda motornya langsung dipinjamkan kepada saya. Kebetulan yang menarik. Akrablah suasana, seperti bertemu teman lama. Saya tunjukkan foto-foto touring saya di berbagai pelosok.
Satu hal yang agak menyedihkan, dia belasan tahun mengelola persewaan motor, tapi baru touring di area Nepal, paling jauh di Tibet dan Bhutan, tetangga sebelah. Ketika saya undang untuk riding ke Bali, dia berbinar. Dia pun memilihkan koleksi Royal Enfield-nya yang masih terbilang baru, odometer masih sedikit.
Saya sempat mencoba tes jalan dua motor. Mempertimbangkan suasana Kathmandu yang ramai, akhirnya saya pilih yang silver dengan rak besi kiri-kanan. Royal Enfield mengingatkan saya kepada Lawrence of Arabia, perwira legendaris British yang dominan menaklukkan Jazirah Arab dengan motor ikonik Royal Enfield. Okelah, katanya motor ini sudah cukup power-nya. Saya pikir di sini juga tidak akan bisa terlalu ngebut dan lagi pula saya membawa istri. Jalan-jalan di Nepal lebih kurang seperti jalanan Indonesia tempo dahulu, ada lumayan banyak lubang.
Sepeda motor yang saya sewa ternyata belum dilengkapi Global Positioning System atau GPS, sementara jika hanya mengandalkan ponsel, bisa jadi hilang sinyal. Jadi, saya diberi peta wisata, peta kota-kota di Nepal dalam satu lembaran besar yang bisa dilipat.
Karena solo riding, bermotoran sendirian, arrangement barang bawaan berdua harus muat di box kiri-kanan. Karena tidak sebesar box motor BMW, saya menambahkan satu travel bag waterproof. Di Thamel banyak sekali yang menjual perlengkapan adventure karena wilayah ini menjadi salah satu tujuan pendaki Pegunungan Himalaya. Di sana berderet toko perlengkapan, sebagian besar aspal, KW1 atau bahkan KW3. Travel bag yang soft penting, bisa ditaruh di jok paling ujung belakang untuk sandaran ala kadarnya. Waterproof mutlak perlu karena di sini hujan bisa turun kapan saja. Kemudian saya juga membeli jaket anti-air.
Yang tidak kalah penting, jeriken bensin tambahan terisi penuh. Jeriken itu ditempatkan di bagian belakang, dekat box. Ini penting karena Royal Enfield tidak dilengkapi indikator bensin. Tahu-tahu tanpa sadar, bisa kehabisan bensin.
Setelah semua siap dan sarapan yang cukup, kami memulai touring pada pagi yang cerah keesokan harinya. Dhung dhung dhung ... suara khas knalpot Royal Enfiled, berasa tenaganya ala traktor, konstan.
Rute pertama kami menuju luar kota. Tulisan tanda penunjuk jalan praktis sudah “keriting” semua, ala Sanskerta, pusing saya dibuatnya. Untung rata-rata orang Nepal bisa mengerti bahasa Inggris meski pasif dan terbata.
Saya tanya sana sini, belok kanan-kiri, melintasi Monkey Temple, sampai akhirnya menemukan jalan yang agak hancur dan saya yakin itu jalan menuju luar kota. Sudah telanjur, saya terabas saja jalan itu meski mungkin ada jalur lain yang lebih rapi.