Aku sudah tiba di apartemen Puspa. Sesuai yang direncanakan, malam ini aku akan menginap di sini. Aku sering berkunjung ke sini, biasanya apartemen Puspa menjadi tempat berdiskusi kami, atau sekadar menghabiskan waktu bersama. Aku selalu suka suasana di sini, selain tempat Puspa nyaman, dengan fasilitas yang lengkap, di sini aku juga merasakan ketenangan.
Namun, malam ini kedamaian itu menguap. Aku gugup, tidak pernah aku segugup ini. Kejadian yang diceritakan Puspa padaku tadi siang, terngiang-ngiang di telingaku, jelas sedikitnya aku merasa takut, juga menyesal.
Menyesal, karena ternyata aku sebenarnya kurang percaya diri, seharusnya aku ajak juga teman yang lain. Tetapi, siapa? Aku tidak sempat berpikir alternatif lain, aku sudah terlanjur terpancing emosi, sehingga tak memikirkan ini dengan matang. Padahal bisa saja, malah kami terlibat sesuatu yang merugikan. Ah, sudahlah, ini untuk Puspa, sahabatku. Aku harus membantunya, harus!
Kami sebenarnya baru tiba sekitar lima menit yang lalu, dan belum ada tanda-tanda keributan. Aku merebahkan diri di sofanya, disusul Puspa yang juga merebahkan diri di sampingku. Kami menanti, menanti sesuatu yang tidak seharusnya kami nantikan.
“Apa mereka akan datang? Sepertinya malam ini mereka tidak akan datang,” kataku, penuh harap.
“Aku tidak tau, tapi hampir setiap hari aku mendengar keributan di luar,” kata Puspa.
“Apa kau berharap mereka datang?” tanyaku, bodoh.
“Sejujurnya, tidak,” jawabnya, tepat.
Memang tidak seharusnya mereka datang malam ini, atau setidaknya jangan di apartemen ini. “Jujur saja, aku penasaran, tapi juga takut …,” kataku.
“Aku juga me—“
“Dasar kau anak bodoh! Kau tidak mungkin bisa menang melawan dunia! Kau terlahir sebagai pengecut, kau selamanya akan jadi pengecut!”
Ucapan Puspa terpotong oleh teriakan di luar, sepertinya itu suara wanita, Ibu-ibu. Seketika aku terduduk dalam sekali gerak, mataku melotot. Apakah itu mereka? Apakah ini yang dimaksud Puspa? Aku melirik Puspa, wajahnya sudah tegang.
Sejujurnya wajahku juga mulai terasa panas. Puspa memegang tanganku, sepertinya memang benar, itu mereka. Aku memaksakan diri untuk tenang, meskipun napasku mulai susah diatur.
“Siapa kau, huh?!” wanita di luar sana membentak. “Jawab aku, siapa kau?!”
“Aku salah …,” terdengar jawaban seorang anak laki-laki. “Aku sudah salah, Bu,” katanya lagi.
Bu? Ibu? Aku mengernyitkan dahi. Maksudnya yang barusan berteriak itu adalah ibunya, begitu? Ya Tuhan, ibu macam apa yang membentak anaknya dengan kata-kata kasar dan merendahkan seperti itu. Hatiku menjerit, ingin melerai mereka. Ya Tuhan, hatiku sungguh hancur.
“Kau memang anak tidak berguna! Anak haram!” bentaknya, nyaring sekali.
Aku menutup mata. Ya Tuhan, hatiku benar-benar hancur, jiwaku berceceran. Aku sibuk mengatur hatiku, sedangkan Puspa memegang tanganku begitu erat, napasnya mulai memburu. Aku paham sekarang, aku paham kenapa Puspa ingin keluar dari sini.
Teriakan dari seorang ibu di luar sana, meskipun bukan ditujukan untuk kita, tapi kata-kata yang sungguh kejam itu sampai di hati kami. Aku membuka mataku, menatap pintu di depan kami. Telingaku tiba-tiba berdenging, denging yang sangat keras, hingga membuat mataku kabur, penglihatanku menjadi tidak jelas. Aku merasakan butiran air mata jatuh dari mataku. Remuk hatiku, remuk sudah.
“Dara?” Aku merasakan seseorang menggoyangkan tubuhku, namun entah kenapa aku sulit untuk meresponsnya, pandanganku masih terpaku ke depan sana. Aku juga tidak bisa menjawabnya, tiba-tiba lidahku menjadi kelu. “Dara? Kembalilah,” katanya, berulang-ulang di telingaku, seperti seseorang sengaja mengatur suara itu agar terulang untuk beberapa saat. “Dara, kau harus kembali!”