Aku kini tersadar sepenuhnya. Puspa! Astaga, tidak boleh. Aku langsung bangun. “Nyalakan lampunya!” aku berteriak, entah pada siapa. “Nyalakan lampunya, kau bajingan!” Aku panik. Tidak boleh, ini tidak boleh terjadi.
“Da … Da-Dara ….”
Gawat!
“Aku di sini, pegang tanganku.” Aku meraba-raba dalam gelap, mencoba meraih tangannya. “Ini aku, aku di sini.” Puspa mulai tak tenang, napasnya mulai tak teratur, kurasakan tangannya mulai berkeringat. Tidak, ini tidak boleh. Siapa pun tolong hidupkan lampunya kembali, kumohon. Debaran jantung Puspa begitu terdengar dengan jelas, napasnya pun sudah berat dan tersengal-sengal, mengeluarkan suara yang begitu menyakitkan. Tuhan, aku harus bagaimana? Kegelapan ini semakin mencekam saja.
Kegelapan adalah salah satu yang tidak boleh berdampingan dengan Puspa. Dulu Puspa pernah membahasnya denganku, dia tidak pernah suka dengan kegelapan. “Rasanya aku akan mati begitu saja, makanya aku benci sekali, di rumah pun aku tidak pernah mematikan lampu.” Aku terus mengingat cerita Puspa, karena itu pula ketika Puspa menginap di tempatku, aku tidak pernah mematikan lampu.
Namun hari ini, entah kenapa tak seperti biasanya apartemen mewah ini mengalami pemadaman listrik, tidak ada pemberitahuan pula. Semoga bukan seperti dugaanku. Tidak, itu tidak mungkin.
“Da … ra,” panggilnya, hatiku begitu sakit, ia terdengar jelas sekali mengais-ngais udara, aku sungguh tak sampai hati, suaranya begitu menyayat.
Ini tak bisa dibiarkan, aku harus menghidupkan saklar lampu itu. Aku yakin ini bukan pemadaman, aku yakin ada seseorang yang sengaja mematikan saklar besar yang berada di luar sana, aku sangat yakin sekali. Namun, jika memang ini adalah kesengajaan, untuk apa? Hal ini kembali lagi pada pertanyaan awal, mereka ini siapa? Apa hubungannya dengan Puspa? Apa mereka penculik yang masuk organisasi penjualan manusia, atau apa? Pikiranku semakin berkecamuk, tidak ada pilihan lain.
Seakan Puspa tau dengan rencanaku, ia semakin mengeratkan cengkeraman tangannya padaku. Tetapi, jika seperti ini terus ia akan semakin kesulitan, aku harus mengambil sikap. Aku mengelus lengannya. “Puspa, tunggu aku di sini, aku harus memeriksa saklarnya,” kataku, membujuknya. “Aku tidak akan lama, aku janji.”
“Tidak,” sentaknya. “Jangan, jangan tinggalkan aku,” katanya, susah payah, sembari membawa tanganku ke depan dadanya, gemuruh di dadanya semakin jelas terasa.
Oh, Tuhan, aku harus apa? Puspa semakin kesusahan, tubuhnya sudah banjir dengan keringat. Oh, ponselku! Iya, aku harus menemukan ponselku. Aku meraba-raba pinggiran sofa, aku lupa di mana meletakkan ponselku. Tidak ada di sofa, aku coba meraih nakas di seberang sana, aku meraba sekitar nakas, dan dapat. Ujung jariku mengenai benda pipih itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan ponselku. Tubuhku terasa tertarik dengan Puspa yang menahanku kencang sekali.
Perjuanganku tidak sia-sia, aku berhasil mendapatkan ponselku. Aku langsung saja membuka kuncinya, dan menggulirkan layarnya untuk mencari aplikasi senter. Setelah kutemukan, kunyalakan senternya dan kusorotkan pada Puspa.
Astaga, Puspa benar-benar kepayahan, bahkan lebih buruk dari yang kubayangkan. Wajahnya memerah, dipenuhi keringat. Napasnya tersengal-sengal nan berat sekali. Siapa yang tega melakukan ini padanya? Padaku? Siapa yang tega?! Aku geram sekali, aku marah, juga kecewa pada diriku sendiri.
Aku meraih tangannya, tubuhnya mulai terasa dingin. Ini berbahaya. “Puspa, di mana inhaler-nya?” Aku pernah melihat dia memakai obat penyemprot praktis untuk membantu meredakan sesak yang menyiksa itu. “Cepat katakan padaku, di mana kau menaruh inhaler-mu?” tanyaku, aku panik bukan main.
Dengan tangan gemetar dan lemas, Puspa menunjuk ke depan TV. Aku paham, aku langsung bergerak cepat, ponselku masih terus menyorot padanya. Aku sudah di depan TV, aku mencarinya dengan terburu-buru, aku tak peduli membuat tempat itu berantakan, aku harus menemukan barang itu.