Musang Betina Berbulu Ayam

Yutanis
Chapter #4

Penolong Bukan Penolong

Baru saja aku lega dengan lampu yang sudah menyala, kini harus dihadapkan lagi dengan kedatangan seseorang yang tak kusangka-sangka, jauh sekali dari perkiraanku. Dia melenggang masuk tanpa permisi, langkahnya mengarah langsung padaku, aku mundur.

“Halo Dara, Sayang, kau di sini rupanya,” katanya, menyeringai, tangannya melipat di depan dada, dia juga mencondongkan tubuhnya ke depanku dan menatapku dengan tatapan yang tak mengenakkan.

“U-untuk apa tante di sini?” Aku gugup, matanya kini menatap tajam padaku. “Untuk apa tante di sini?!” aku membentaknya, sembari terus menghindarinya.

“Kenapa?! Kau terus bermain-main denganku! Apa kau tidak bosan?!” dia tak ingin kalah, dia membentakku dengan suara yang begitu nyaring, memekakkan telinga. Sesaat telingaku berdenging kembali.

“Pergi dari sini! Menjauh dariku!” aku berteriak di depan wajahnya.

“Da … ra,” suara lirih Puspa menyadarkanku jika dia masih berada di sana, aku hampir melupakannya. Kedatangan Tante Monika membuatku sedikit terguncang.

Tante Monika menoleh pada Puspa. “Tidak, jangan ganggu dia!” sentakku.

“Apa kau bilang?!”

“Aw, lepaskan! Lepas ….”

Tangan Tante Monika menyambar rambutku, hingga kepalaku tertarik ke belakang. Wajahnya merah padam, matanya melotot, persis seperti monster yang sedang menerkam mangsanya di film-film.

“Dara!” Puspa berteriak, nyaris habis suaranya.

Tante Monika kembali melirik padanya. “Sshhh … jangan berisik,” katanya, mengintimidasi Puspa.

Tante Monika semakin mencengkeram rambutku. Rasanya sungguh menyakitkan, juga pening, seakan urat-urat yang di kepalaku ikut tertarik dan menghambat darah untuk mengalir. Aku marah, marah sekali. Kenapa dia bisa ada di sini? Lebih lagi, dari mana dia tau apartemen Puspa? Astaga, apa yang dia harapkan dariku? Apa dia tidak ada puasnya menyiksaku setiap harinya?

Mataku mulai basah, menatapnya penuh amarah. “Lepaskan! Sakit!” aku menjerit, hingga tak sengaja mengatakan kata terlarang.

Tante Monika tertawa. “Sakit, hm? Memang itu yang kumau,” katanya, rendah dan berat.

Aku semakin tertekan, mataku mulai kabur. Melihatku yang begitu kepayahan, Tante Monika semakin gencar menarik rambutku. Oh Tuhanku, ingin sekali aku menendang dirinya. Brengsek! Sialan! Dasar iblis! Dia iblis! Sakit sekali.

Lihat selengkapnya