Kayla tengah mengendarai Nissan Rogue putihnya sepanjang jalan pulang. Mulut mungilnya bersenandung menirukan alunan ‘Beautiful in White’ yang mengalun dari radio yang dia setel sepanjang perjalanan. Hari ini Kayla merasa bahagia karena telah mengunjungi rumah kedua orang tuanya dan menghabiskan harinya bersama keluarga tercintanya. Jeff tidak bisa ikut serta karena pria itu telah kelelahan setelah mengikuti acara launching film terbarunya malam kemarin. Dan Kayla tentu tidak mempermasalahkan hal itu, mengingat inilah pertama kalinya Jeff tidak ikut dalam acara kumpul keluarga. Lagipula Anne[1] dan Baba[2] selalu memuji Jeff dengan pujian setinggi langit. Jadi, ketidakhadirannya di acara keluarga bisa dimaklumi oleh mereka semua.
“Kau memang beruntung mendapatkan Jeff. Dia lelaki baik yang bertanggung jawab. Tentunya kau tahu dia mualaf. Jadi kau harus selalu membantunya belajar mengenal Islam.” Itu satu diantara pujian Anne kepada Jeff di hadapan Kayla. Dan tentu saja Kayla sependapat dengan ibunya. Jeff selalu membuatnya bahagia dan selalu memperlakukannya layaknya seorang puteri Cinderella.
Pun adiknya Mehmet. Anak lelaki itu sangat dekat dengan Jeff. Bahkan adik lelakinya itu lebih menyayangi kakak iparnya dibanding Kayla sebagai kakak kandung. “Dia tidak cerewet seperti kamu.” Begitu penilaian Mehmet ketika Kayla protes atas perbedaan sikap Mehmet terhadap dirinya dan Jeff.
Kayla tersenyum dan memang dia merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Dia mendapatkan apa yang layak dia dapatkan dari seorang suami bernama Jeff. Sudah tiga mil dia mengendarai Nissannya dan sekarang dahinya berkerut ketika melihat papan reklame besar yang terpampang di pinggir jalan. Senyum mendadak pudar dari kedua bibir tipisnya. Reklame itu telah mencuri senandung merdu yang mengalun dari bibirnya dan menghempaskan semua perasaan bahagianya ke tebing-tebing sepanjang perjalanan dan menjungkir balikan keadaan. Tiba-tiba benaknya berkabut dan konsentrasinya menjadi berkurang. Perasaannya mulai berubah drastis. Dadanya dipenuhi gemuruh amarah.
Bagaimana tidak, di detik ini dia merasa terganggu oleh sebuah papan reklame film yang terpampang di pinggir jalan. Papan reklame itu memperlihatkan Jeff tengah memeluk mesra seorang wanita berambut merah menyala dengan gaun super ketat dengan warna senada. Wanita itu melingkarkan kedua tangannya yang mulus di leher Jeff dengan tatapan matanya yang liar dan membara. Sementara bibirnya yang merah menyala mengecup leher Jeff yang sekeras beton. Tangan kukuh Jeff melingkar di pinggang perempuan jalang tersebut layaknya dua ekor ular yang membelit dengan kuat.
Di samping sosok mereka berdua, tertulis ‘Deadly Kiss’ dengan nama-nama aktris permain yang tertulis di bagian bawahnya. Jefferson Miller, suaminya memerankan si lelaki bernama Andrew dan Jennifer Lawrance memerankan sosok perempuan bernama Anna. Pasangan yang terlihat serasi walau hanya melihat lewat poster film. Serasi sekaligus sensasional. Poster Film itu membuat hati Kayla memanas.
Rasa murka, sedih, jengkel bercampur menjadi satu dan meremas setiap inci hati Kayla. Dia tidak akan pernah memaafkan semua ini. Dia tidak akan pernah bisa berdamai dengan semua kegilaan ini. Dia tidak akan pernah bisa menerima alasan apa pun yang akan dilontarkan Jeff kepadanya. Dan lima ratus meter setelah ia melihat papan reklame pertama dia kembali harus melihat papan reklame sensual tersebut untuk yang kedua kalinya. Tampaknya reklame itu dipasang sepanjang jalan besar.
Jeff tidak pernah membicarakan hal ini kepada dirinya. Sejauh yang Kayla tahu Jeff hanya seorang actor film-film laga dan Thriller. Dia tidak pernah melihat lelakinya itu mencium wanita lain atau bercumbu dan bercinta dengan wanita lain selain dirinya. Lalu bagaimana mungkin pria itu tidak pernah membicarakan hal ini dengan dirinya. Jelas reklame film itu mengatakan kepadanya bahwa lelaki pujaannya itu telah membuat kesalahan besar.
Sepanjang perjalanan pulang itu Kayla merutuk dan menangis. Dia terisak sementara matanya berusaha untuk fokus pada jalan yang dilalui Nissannya. Semua rasa jengkel dan amarah itu membut Kayla tidak menyadari bahwa dia sudah sampai di depan rumah dan menghabiskan setengah jam dalam kemarahan yang dia biarkan membakar dirinya.
Kayla keluar dan membanting pintu Nissan dengan gerakan yang kuat. Dia menaiki undakan dan langsung meraih kenop pintu sembari meneriakan nama suaminya, “JEFF! JEEFF!”
Dan beberapa detik kemudian dia menyadari bahwa Jeff sedang tidak ada di rumah. Tadi pagi lelaki itu bilang bahwa malam ini dia ada di rumah dan tidak memiliki acara apa pun yang harus dia hadiri sehingga Kayla yakin lelaki itu tak akan pergi lama.
Dia segera mencari kunci pintu di tas tangannya dengan gerak tangan tak sabaran, mengaduk-aduk isi tas yang berisi make up dan barang remeh-temeh lainnya. Kayla menemukan kunci itu dalam waktu lima detik, memasukannya ke dalam lubang kunci dan dalam dua kali putar pintu terbuka. Hati Kayla masih diamuk badai amarah sehingga langkahnya terkesan buru-buru. Dia masuk ke dalam kamarnya. Mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan hingga pada akhirnya mata sayunya tertumbuk pada tiga pigura yang membingkai potret dirinya dan Jeff. Satu pigura membingkai foto mereka berdua di pantai Barcelona ketika berbulan madu setahun yang lalu. Pigura kedua membingkai dua wajah yang terbaring di atas hamparan rumput. Dan pigura ketiga membingkai potret dari arah samping yang menangkap kemesraan mata mereka yang saling menatap satu sama lain.
Air mata berlomba-lomba berhamburan dari kedua kelopak mata Kayla sebagai ekspresi rasa marah dan sedih yang telah dia tahan sejak pertama kali melihat reklame di jalan. Dalam satu gerakan kasar dan bringas, Kayla meraup tiga potret tersebut dan membantingnya ke atas lantai marmer sehingga pigura itu retak. Kacanya berhamburan diantara kakinya.
Kayla menghempaskan tubuh rampingnya di atas ranjang dan menangis sejadi-jadinya. ‘Demi Tuhan,’ bisiknya di dalam hati, ‘Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Jeff. Aku tidak akan pernah bisa berdamai dengan pekerjaan sialanmu itu.’
***
Daun pintu terdengar berderit diiringi suara langkah kaki yang menyusuri lantai ruang tamu dan koridor. Kayla terbangun dan dia berdiri dengan mata yang memerah karena menangis berjam-jam lamanya. dia berdiri layaknya singa betina yang menunggu mangsanya datang mendekat.
“Hai sayang, apakah kau di dalam?” sapa seseorang dari luar dan beberapa detik kemudian sesosok pria membuka pintu kamar dan beberapa detik lamanya senyum yang ada di bibirnya yang simetris memudar dan bertukar dengan tiga kerutan di dahinya serta sorot mata birunya menyiratkan keheranan dan tanda tanya. “Apa yang kau lakukan, Kayla?”