Apakah kalian bahagia ketika mendengar bell pulang sekolah?
Ya.
Tentu.
Siswa-siswi SMA Graham mulai berdesakan untuk keluar pintu kelas. Inilah keburukan warga negara Indonesia, tidak ingin berlama-lama untuk mengantre.
Padahal, hanya tinggal menunggu orang lain keluar, barulah kita juga keluar dari kelas. Mudah, kan?
Seperti sekarang ini, Kevin dan Ari berebutan untuk keluar kelas. Kekanakan sekali.
“Minggir! Gue mau lewat!” kata Kevin dengan rusuhnya.
“Apaan sih lo?! Gue duluan yang nyampe depan pintu! Ngantri dong! Ini nih, masyarakat Indonesia yang tidak patut di contoh!” kata Ari sambil menarik kerah seragam Kevin.
“Ya udah, cepetan keluar!” Kevin menepis tangan Ari dari tengkuknya, dan mendorong kasar punggung Ari.
“Biasa dong!” kata Ari nyolot. Tidak lupa dengan suara cemprengnya. Kemudian ia membuang napas kasar dan pergi dari hadapan Kevin.
Kevin ikutan mendengus dan melangkahkan kakinya ke lapangan basket. Sudah kebiasaannya bermain bola basket setelah bell pulang sekolah berbunyi.
Setelah sampai, Kevin langsung men-dribell bola basket. Sepi memang jika bermain sendiri.
Dug dug dug
Masuk!
Kevin berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Ia menyeringai kecil dan memasukkan bola ke ring lagi.
Sik asik! Sik asik kenal dirimu, sik asik! Sik asik deka-
Kevin merogoh saku celananya, saat mendengar nada dering ponselnya.
“Mama?”
“Halo?”
“Halo? Kev, cepetan pulang. Temenin mama nyalon.”
Kevin mendengus. “Sama Reva kan bisa, Mah.”
“Adik sepupu kamu pulang hari ini. Udah cepetan pulang, Mama tambahin uang saku kamu nanti,” bujuk Mama Kevin, Vinna.
Mata Kevin membulat, bibirnya tersenyum lebar. “Oke sip! Tungguin Kevin, anakmu yang tampan sejagat raya ini akan segera meluncur!” Kevin menutup resleting tasnya dan berlari meninggalkan lapangan.
“Cepetan ya, Mama ada arisan nih!”
“Iya-iya. Ya udah Kevin matiin dulu.” Tanpa mendengar jawaban dari Mamanya, Kevin menutup telepon secara sepihak.
Kalau sudah begini, semangat Kevin seperti para Pahlawan yang ingin mengusir para penjajah dari Indonesia. Semangat 45!
Kevin segera menuju parkiran dan menaiki motor kesayangannya. Baru saja ia ingin melesat ke jalan besar, matanya tertuju pada sosok perempuan berperawakan tinggi. Senyumnya mengembang. Kevin menghampiri perempuan tersebut, yang ia yakini adalah Nara.
“Hai, Bu Nara!” Kevin membuka helm full face nya. Nara hanya menatap Kevin sekejap dan pandangannya kembali pada ponselnya.
“Bu! Disapa itu jawab dong, masa bibit cogan dikacangin?” protes Kevin sambil mematikan mesin motornya. “Eh, udah jadi cogan ya, lupa gue.”
“Ngapain kamu?” Nara berucap ketus dan mengerutkan dahi.
“Mau nyapa guru baru. Nggak boleh?”
Nara memutar mata malas. “Pulang sana!”
“Nanti, tunggu Ibu pulang dulu.” Kevin turun dari motornya dan berdiri di samping Nara, membuat Nara menghindar dua langkah dari Kevin.
“Udah sana pulang! Saya juga udah pesen taksi online,” ucap Nara ketus.
“Mending Ibu pulang bareng sama saya,” tawar Kevin dengan mata berbinar. Seketika ia lupa janjinya dengan sang mama.
“Nggak usah, udah sana kamu pulang. Saya bisa pulang sendiri.”
Kevin berputar otak. Bagaimana caranya agar gurunya itu bisa pulang bersama dengan dirinya. Kevin melipat kedua tangannya di depan dada.
“Bu, saya denger dari temen saya kemaren ada cewek yang diperkaos sama preman-preman,” ucap Kevin dengan nada serius. Nara agak sedikit terkejut sebenarnya, tetapi ia mengontrol ekspresinya agar tetap datar, sedatar-datarnya.
“Diperkaos?” tanya Nara bingung. Maksudnya ada cewek yang di paksa memakai kaos, begitukah?
“Ih! Diperkosa Bu.” Nara menganggukan kepalanya. Tak lama, ponselnya berbunyi.
“Halo?”
“Iya, saya di depan gerbang SMA Graham, Mas. Cepat ya.”
“Oke, saya tunggu.”