The Last Winter

Mell Shaliha
Chapter #4

Selamat Datang di Pengasingan

“Kamu bukannya kena marah atas penemuanmu kemarin ‘kan?” Sufyan agak khawatir.

“Oh… tentu saja bukan, sebenarnya aku juga khawatir. Direktur hanya mengajakku mengikuti penelitian, mungkin sehubungan dengan hal yang aku temukan.” Jelas Dimas yang akhirnya menemukan alasan lebih baik.

“Waah, kalau begitu kamu sanggupi saja Dim, itu peluang besar, siapa tahu kamu nanti akan ditempatkan di posisi lebih baik dari yang sekarang ini.” Sahut Ridwan yang juga rekan satu divisi dengan Dimas. Dimas tersenyum bangga memiliki rekan kerja yang pengertian seperti mereka.

Saat ini dia hanya berpikir bagaimana memberitahukan hal ini pada keluarganya. Alasan apapun, tidak akan masuk akal. Walau dia akan mengirim uang setiap bulan, tanpa telepon langsung dengan ibu dan adiknya, rasanya tidak mungkin.

Dia berencana memohon ijin pada Mr Park untuk bisa menelpon setidaknya sebulan sekali agar keluarganya tidak resah. Seandainya Mr Park bisa menjelaskan secara detail, tentu akan lebih mudah baginya.                                  

Hanya tiga menit menuju ruang yang kemarin membuatnya terkagum-kagum. Tepat di depan pintu terakhir yang harus dilewatinya, Dimas menarik napas panjang, menenangkan dirinya yang tiba-tiba merasa gugup. Dia harus menjawab tawaran Mr Park pagi ini.

Walaupun masih dalam keraguan akan tugas yang akan dia terima, semalam dia telah memutuskan untuk menyetujuinya. Kesempatan, tidak akan datang dua kali. Dimas meyakinkan pilihannya kali ini.

Pintu terbuka, penghuni di dalam ruangan istimewa itu sendang melihat pemandangan Seoul di pagi bersalju. Tampak bintik-bintik es menempel di jendela kaca.

“Kamu menepati janji, duduklah.” Sambutnya hangat. Dimas menundukkan badan. Rasa gemetar semakin tak bisa terkendali.

“Apakah kamu sudah memikirkan semuanya?”

“Ya, Sir, saya sudah memikirkannya semalam. Tapi maaf, kendala saya hanya memberikan kabar untuk keluarga. Tidak mungkin rasanya saya membuat ibu dan saudara saya khawatir jika selama dua tahun saya tidak memberikan kabar apapun.” Keluh Dimas.

“Baik, aku paham. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nanti pasti ada waktu untuk itu. Setelah kau setuju, kita akan menuju tempat di mana kau akan mendapatkan pendidikan itu. Kau harus mempersiapkan semuanya. Jangan sampai ada barang-barangmu yang tertinggal. Soal pasport, kami bisa mengurusnya.” Dimas menatapnya lega. Lalu mengangguk. Keduanya berjabat tangan.

Lihat selengkapnya