Jam dinding menunjukkan pukul setengah sepuluh. Satu jam lalu, kegiatan belajar bersama telah usai. Sekarang anak-anak panti sedang dibuai mimpi. Sesuai peraturan, mereka tak boleh tidur terlalu malam agar bisa bangun awal untuk salat Subuh dan mengaji.
Sebenarnya Ayya pun sudah berbaring sejak setengah jam lalu. Namun, matanya tak juga mau terpejam. Ia bangkit, lalu duduk di tepi ranjang. Tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Ia sedih karena harus meninggalkan panti. Namun, pada saat yang sama, ia juga bersemangat membayangkan kehidupan baru yang akan dijalaninya nanti.
Dua belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Meninggalkan panti, berpisah dari orang-orang yang dikasihi dan mengasihi, bukanlah hal yang mudah baginya. Namun, kepergiannya ini adalah buah doa-doanya selama ini. Inilah yang menjadi angan-angannya sejak lama.
Ayya bangkit dari tidurnya, duduk di tepi tempat tidur, lalu meraih tas di atas kursi. Ia sedang memeriksa isi tas ketika Kinasih melongokkan kepala dari balik pintu sambil mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam. Masuk, Mbak.”
Kinasih melangkah masuk, lalu duduk di sebelah Ayya. “Gimana? Dokumen-dokumen yang harus dibawa sudah lengkap?”
“Sudah, Mbak.”
Kinasih mengucap hamdalah. “Semoga Allah memudahkan semuanya ya, Ay,” ucapnya yang segera diaminkan oleh Ayya. “Oya, nanti di Istanbul, kamu ada yang jemput nggak, Ay? Ke Izmir-nya nggak sendirian, kan?”
“Nggak, Mbak. Yang dapat beasiswa ke Izmir kan, bukan hanya aku.” Ayya tersenyum. “Nanti di bandara Istanbul insyaallah gampang, aku dan teman-teman tinggal mencari stan YTB[1].”
Kinasih mengangguk-angguk.
“Setelah sampai di Izmir, katanya ada perwakilan perhimpunan pelajar yang akan jemput,” terang Ayya. “Kebetulan Iren punya saudara yang kuliah di Izmir dan aktif sebagai pengurus perhimpunan.”
“Iren itu yang ketemu waktu wawancara itu?”
Ayya mengangguk.