[partImg:[0]]
Tak ada perpisahan yang menyenangkan. Di balik kebahagiaannya menjadi salah seorang pelajar Indonesia yang lolos program Türkiye Busları[2], kesedihan mengisi dada Ayya ketika memeluk satu per satu penghuni panti. Terlebih ketika tangan mungil Reyna bergelayut di tengkuknya. Gadis kecil itu memeluk Ayya sambil terisak. Perlu waktu agak lama bagi Ayya memberikan pengertian hingga Reyna mau melepasnya.
“Mbak minta maaf banget nggak bisa nganter ke bandara, Ay.” Kinasih memeluk Ayya. Raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah.
“Nggak apa-apa, Mbak. Aku ngerti banget. Aku juga nggak mau Mbak mengorbankan kepentingan panti demi mengantarku. Lagian aku nggak benar-benar berangkat sendiri kan, ada Sheila sama Om Gun.” Ayya menoleh pada Sheila, sahabat dekatnya sejak masuk SMU, yang akan mengantarnya ke bandara.
“Iya, jaga diri baik-baik ya, Ay,” pesan Kinasih, lalu menghampiri Gunawan dan Sheila untuk mengucapkan terima kasih.
Air mata Ayya menggenang saat CRV abu metalik yang dikemudikan Gunawan perlahan meninggalkan halaman panti. Kinasih dan para penghuni panti melepasnya dengan lambaian. Sementara Reyna tampak menyusupkan wajah ke perut Kinasih. Air mata Ayya menitik ketika wajah-wajah yang selalu dilihatnya setiap hari itu akhirnya benar-benar hilang dari pandangan.
“Makasih ya, Om, sudah mau direpotin nganterin aku,” kata Ayya setelah berhasil menguasai emosi.
“Ya ampun, Ay, ini ucapan maaf dan terima kasih kamu yang ke-999 kayaknya.” Sheila yang duduk di jok depan, berkata dengan nada gemas. “Udah sih, kalau kamu kayak gitu terus, berarti kamu nganggap aku dan Papa kayak orang lain.”
“Iya, Ayya. Om nggak ngerasa direpotin kok. Kebetulan juga lagi santai.” Gunawan melirik Ayya melalui spion dalam, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke jalan raya. “Kamu ini anak Om juga. Jadi, jangan pernah sungkan-sungkan.”
“Iya, Om. Ma—“
“Nah, tuh mau bilang makasih lagi,” tukas Sheila yang disambut Gunawan dengan tawa.
Ayya pun ikut tertawa. Candaan Sheila berhasil mengalihkan pikirannya dari kesedihan. Ia benar-benar bersyukur memiliki sahabat sebaik Sheila. Gunawan pun sangat baik. Selama tiga tahun bersahabat dengan Sheila, Gunawan selalu memperlakukan dan menasihati Ayya selayaknya anak sendiri. Di Turki nanti, selain merindukan penghuni panti, Reza, dan Sheila, ia pasti akan merindukan nasihat-nasihat Gunawan juga.
“Nanti setelah kamu di sana kita kabar-kabaran terus ya, Ay. Jangan ngilang.”
“Pasti dong, Sheil. Masak iya, aku ngilang.” Kening Ayya mengernyit.
“Ya kali aja, kamu klepek-klepek sama kegantengan cowok Turki, sibuk pacaran sampai lupa segalanya.” Sheila terkikik.
“Ih, nggaklah. Aku jauh-jauh ke Turki buat kuliah, tahu. Bukan buat pacaran.”
Sheila menoleh. Bibirnya mencebik. “Yakiiin? Hati-hati, cowok Turki ganteng-ganteng loh, Ay,” godanya sambil menggerakkan alis.
“Biarin aja, kalau ganteng emang kenapa?”
“Bisa aja bikin kamu susah nolak kalau ada yang deketin.” Sheila terkikik lagi.
“Ih, emangnya kamu, ditembak Bimo langsung galau,” ledek Ayya.
“Diih, kenapa bawa-bawa Bimo?” Sheila mengubah posisi duduknya sehingga leluasa ketika memukulkan bantal ke pangkuan Ayya. “Udah lewat ituuu ....”
Ayya mengangguk-angguk. “Oooh, jadi udah ikhlas nih, kalau lihat Bimo sama yang lain?”
Sheila meringis. Sekali lagi, ia memukulkan bantal ke pangkuan Ayya. Sementara itu, di balik kemudi, Gunawan menyimak percakapan keduanya sambil tersenyum-senyum.