Musim Dingin di Izmir

Diana Dia
Chapter #5

Keberangkatan Tanpa Pelukan

Pukul setengah enam, Ayya menjejakkan kaki di area keberangkatan internasional, Terminal 3, Bandara Soekarno-Hatta. Lima belas menit menjelang azan magrib. Ia bersama Sheila dan Gunawan memutuskan untuk menunaikan salat terlebih dulu di musala. Setelah itu, barulah bergabung dengan para peraih Türkiye Busları di titik kumpul yang telah diinformasikan melalui grup Whatsapp.

Dari dua belas awardee[3] yang akan berangkat, baru separuhnya yang datang. Semuanya ditemani keluarga dan sahabat masing-masing. Selama menunggu kedatangan awardee lain, mereka memanfaatkan waktu untuk bercengkerama. Sementara itu, sepeninggal Sheila dan Gunawan yang harus bergegas pulang setelah mendapat kabar neneknya Sheila dilarikan ke rumah sakit, Ayya berjalan-jalan di sekitar titik kumpul sambil mengamati sekelilingnya.

Sejak mengakrabi dunia kepenulisan, hal itu sudah menjadi kebiasaan Ayya. Salah seorang mentornya mengatakan penulis itu harus rajin membaca, bukan hanya membaca buku, tetapi juga membaca segala hal yang terjadi di sekitar. Melakukan hal itu sembari mengasah kepekaan dengan menajamkan panca indera sering kali mendatangkan ide-ide tulisan di benak Ayya. Agar tak lupa, ia segera mencatatnya di notes, sebuah benda yang pasti selalu ada di tas selempangnya.

Ayya baru saja memasukkan notes ke tas ketika mendengar seseorang memanggilnya dengan nada riang. Ia menoleh dan mendapati seorang gadis sebayanya berjalan mendekat sembari tersenyum cerah. Tangan kiri gadis itu terangkat memegang sebuah kamera kecil yang diarahkan kepada Ayya.

Say hello dong, sama followers-ku, Ay. Nanti mau aku post di IG, nih.”

Ayya tersenyum ke kamera, melakukan permintaan Iren, lalu menerima uluran tangan dan pelukan Iren sambil mengucap salam.

“Oh iya, Ay, kenalin ini papa dan mamaku.” Setelah mematikan kamera, Iren menoleh pada sepasang lelaki dan wanita paruh baya di belakangnya. “Ini Erin, musuh bebuyutanku,” guraunya sambil merengkuh bahu gadis di sebelahnya.

Sepintas Iren dan Erin tampak sangat mirip. Tak hanya wajahnya, bahkan rambut pun sama-sama ikal sedagu. Gaya berpakaiannya saja yang sedikit berbeda. Iren tampil kasual dengan kaus kuning, jaket hitam beraksen kuning, dan topi bulatnya. Sementara penampilan Erin lebih feminim dengan rok terusan motif bunga sakura dan bando.

Ayya menangkupkan kedua tangan di depan dada dan mengangguk takzim kepada Papa Iren sambil mengucap salam, lalu menyalami Mama Iren dan Erin.

“Eh, Mbak Asih mana, Ay?” Iren celingukan.

“Mbak Asih nggak bisa ke sini. Tadi mendadak ada telepon dari donatur yang mau berkunjung.” 

Mata sipit Iren terbeliak. “Jadi, kamu sendirian?”

“Ya, nggak. Tadi aku diantar Sheila dan Om Gun,” jawab Ayya. Dia juga menjelaskan alasan Sheila dan Gunawan tak bisa menemaninya sampai waktu keberangkatan.

“Itu berarti sekarang kamu sendirian, Ay.”

“Nggak, dong. Kan, udah ada kamu. Ada Om, Tante, Erin, banyakan, tuh!” Ayya tersenyum seraya melemparkan pandangan ke arah teman-teman sesama penerima beasiswa.

Lihat selengkapnya