Musim Dingin di Izmir

Diana Dia
Chapter #6

Menjejak Tanah Ottoman

Beriringan dengan para penerima beasiswa dan penumpang lainnya, Ayya menyusuri lorong pesawat hingga menemukan kursi bernomor sama dengan yang tertera pada boarding pass. Dia mendapatkan tempat duduk di dekat jendela, bersebelahan dengan Iren.

Setelah duduk dengan nyaman, Ayya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi Whatsapp. Tanda centang pada pesan yang dikirimnya untuk Reza ketika berada di boarding room, belum berubah warna. Ia menghela napas pelan. Sebentar lagi, pesawat segera tinggal landas. Itu berarti sudah saatnya ia mematikan ponsel.

Wajah Ayya menegang tatkala mendengar pemberitahuan bahwa pesawat akan segera mengudara. Jantungnya seketika berdebar lebih kencang. Ia menyeka keringat yang bermunculan di dahi.

“Kenapa, Ay? Kamu takut ketinggian?” tanya Iren.

Ayya menggeleng. “Mmm … cuma gugup. Ini pengalaman pertamaku naik pesawat,” jawabnya sambil tersipu.

Iren menepuk tangan Ayya perlahan. “Dibawa santai aja. Dulu aku juga gitu waktu pertama kali naik pesawat.”

Ayya mengangguk. Kedua tangannya mencengkeram lengan kursi ketika pesawat mulai bergerak meninggalkan landasan. Dalam ketakutannya, ia bertakbir dan melantunkan doa dalam hati agar lebih tenang. Setelah beberapa menit mengudara, ketegangan yang menderanya berangsur mereda. Ia sudah lebih santai saat Iren mengajaknya berbincang.

Setelah menyantap hidangan makan malam, Iren tertidur. Sementara itu, Ayya memilih menyalakan monitor di depannya. Pilihan view map pada menu my flight memunculkan peta dan nama-nama wilayah yang dilalui.

Ribuan kilometer telah terlewati. Separuh hatinya tertinggal. Ketika matanya menatap gelap malam melalui jendela, keping-keping kenangan berkelebat silih berganti. Indahnya masa kecil dengan ibunya, masa-masa kelam di rumah sang paman, suka duka berada di panti bersama Asih dan adik-adiknya, persahabatan dengan Sheila, serta berbagai momen bersama Reza.

Jarak yang membentang tentu akan menumbuhkan rindu. Jangankan pada mereka yang sudah mencipta banyak kenangan. Pada seseorang yang belum pernah dijumpai pun, rindu itu selalu ada. Belasan tahun rasa itu terpendam. Ayya tidak tahu apakah keberangkatannya ini mampu melunasi kerinduan itu atau tidak. Hanya takdir yang bisa menjawab.

❄️❄️❄️

Menu early breakfast adalah hidangan Turki kedua yang Ayya nikmati setelah makan malam. Roti, kentang, telur dadar dan tomat, salad, keju dan irisan mentimun,  jus tomat, serta sütlaç, salah satu jenis makanan penutup khas Turki.

“Lebih enak ini atau menu yang tadi?” tanya Iren.

“Sama aja, sih. Lidahku masih butuh penyesuaian.” Ayya tersenyum. Ia diajarkan untuk tidak mencela makanan, meskipun rasanya tidak enak. Seperti dicontohkan oleh Rasulullah, andai tidak berselera menyantap suatu makanan, beliau memilih tidak memakannya, juga tidak mencelanya. “Insyaallah lama-lama aku akan terbiasa. Kalau kamu sudah terbiasa makan makanan western ya, Ren?”

Iren menggeleng. “Nggak. Yaa … sesekali suka diajak teman ke resto Jepang, Itali, tapi aku sih, lebih suka makan di warteg, angkringan. Makanan Indonesia tuh, beuh … lebih nikmat.”

“Oh ya?”

“Iya, apalagi nasi uduk.”

Mendengar ‘nasi uduk’, ingatan Ayya seketika tertuju pada Reza. Lelaki itu suka sekali nasi uduk. Dan, beberapa kali ia pernah membuatkan nasi uduk untuk Reza.

“Itu makanan terenak sedunia buat aku, Ay. Nasinya gurih dan wangi, ditambah taburan bawang goreng, hhhmmm.” Hidung mungil Iren sedikit terangkat, seolah sedang mengendus aroma yang menyenangkan. “Duhh … aku jadi beneran pengen nasi uduk, nih. Padahal, bakal lama banget nggak bisa makan nasi uduk.”

“Tenang, nanti kalau ada acara kumpul-kumpul aku buatkan,” ujar Ayya sebelum menyuapkan potongan kentang.

Lihat selengkapnya