Ayya menutup buku, lalu meletakkannya di pangkuan. Reyna dan ketiga anak lainnya sudah terlelap sebelum ia menuntaskan cerita. Gelak tawa dan perselisihan yang terdengar sepanjang hari akhirnya terhenti. Berganti dengkuran halus yang saling bersahutan.
Pandangan Ayya menyapu sekeliling. Diamatinya satu per satu isi kamar seolah ingin menyimpan setiap detail yang ada ke dalam ingatan. Ada lemari, dua meja kecil, dan tiga ranjang tingkat. Dua di antaranya sudah ditempati oleh Reyna dan tiga anak lain. Satu ranjang lagi masih kosong karena pemiliknya masih belajar bersama di ruang tengah.
Pada dinding kamar bagian atas tampak beberapa gores dempulan untuk menutupi retakan. Poster huruf hijaiyah, angka, dan doa-doa pendek menghiasi dinding di dekat pintu. Di bawah poster-poster itu terlihat pula beberapa goresan krayon tak beraturan. Ulah Reyna, penghuni paling kecil di panti ini.
Lima tahun lalu, seseorang meninggalkannya di depan pintu. Ditinggalkan begitu saja dalam kardus dengan tali ari-ari yang masih melekat. Sampai sekarang, gadis kecil itu tak tahu siapa kedua orang tuanya. Tak ada seorang pun yang tahu.
Selain Reyna, Panti Asuhan Al-Kautsar menampung sembilan belas anak lain, termasuk Ayya. Penghuni panti yang terdiri dari 7 anak laki-laki dan 13 anak perempuan itu diasuh Kinasih, seorang wanita lajang berusia 38 tahun. Ia mempekerjakan sepasang suami istri untuk membantunya mengurus panti.
Igauan Reyna mengalihkan perhatian Ayya. Ia meletakkan buku di meja, lalu mendekati gadis kecil berusia 5 tahun itu. Posisi tidurnya sudah berganti. Selimut bergambar Hello Kitty yang semula menutupi separuh badannya kini teronggok di lantai. Ayya mengambilnya, lalu menyelimuti Reyna. Dengan hati-hati, ia mencium kening gadis kecil itu.
“Kak Ayya, Reyna tuh punya ayah nggak, sih?” Pertanyaan Reyna beberapa hari lalu tiba-tiba mengiang lagi. “Kalau Reyna punya ayah, kenapa Reyna hanya tinggal sama Bunda?”
Bunda yang dimaksud Reyna adalah Kinasih. Sejak mulai belajar bicara, Reyna memang dibiasakan memanggilnya seperti itu.
Samar-samar dalam ingatan Ayya, ketika dirinya seusia Reyna, ia pernah melontarkan pertanyaan serupa kepada ibunya. Ayya tidak ingat persis seperti apa jawaban ibunya kala itu. Yang jelas, hingga kini ia tak punya gambaran apa pun tentang ayahnya.
“Tentu saja. Setiap anak pasti punya orang tua, ayah dan ibu. Tapi nggak semua anak bisa tinggal dengan orang tuanya.” Ayya menirukan jawaban Kinasih setiap kali ditanyai oleh anak-anak asuhnya perihal keberadaan orang tuanya masing-masing.
“Kenapa begitu?”
“Karena Allah menghendaki seperti itu, Rey. Karena Allah menghendaki kita bertemu dan berkumpul di sini.” Lagi-lagi, Ayya menirukan kalimat Kinasih. Ia tak punya kalimat sendiri untuk menjawabnya. Lagi pula, sejak dulu hingga saat ini, pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih terus mengusik benaknya juga.
Sejak kecil, Ayya tak pernah mengenal sosok ayah. Ia hanya tinggal bersama ibunya. Hingga ibunya meninggal, ia tak pernah mendengar cerita apa pun tentang ayahnya. Bahkan, sekadar nama pun tidak.
Sebenarnya, dibandingkan Reyna, nasib Ayya jauh lebih beruntung. Meskipun tak mengenal ayah, ia pernah merasakan dekap hangat seorang ibu dalam enam tahun pertama kehidupannya.
Tak ada anak yang ingin tinggal di panti asuhan, termasuk Ayya. Ia ingin seperti anak-anak lain, tinggal dalam curahan kasih sayang kedua orang tua. Namun, ternyata takdir membawanya ke sana.
Selama 12 tahun tinggal di panti, Ayya memang tidak pernah mengalami hal-hal yang buruk. Kinasih adalah wanita yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Wanita itu tak ubahnya seorang ibu. Ia mengajari seluruh penghuni panti untuk saling menyayangi meskipun tak ada ikatan darah.
Ayya merasa seperti memiliki keluarga besar. Ia melewati hari-harinya dengan bahagia. Namun, segala pertanyaan tentang ayahnya menciptakan lubang di hati yang tidak juga tertambal hingga saat ini.
❄️❄️❄️
Setiap selepas isya, seluruh penghuni panti yang sudah bersekolah berkumpul di ruang tengah. Kinasih membimbing mereka belajar. Beberapa anak menyimak dengan saksama. Sesekali mereka bertanya dengan antusias. Anak-anak yang lebih kecil, sebagian mengerjakan soal-soal latihan dengan tenang. Namun, sebagian lagi saling sikut sambil terkikik-kikik. Ada pula yang justru malah berebut alat tulis.
Tak ada kekesalan terpancar di wajah Kinasih mengahadapi beragam tingkah laku anak asuhnya. Begitu pun ketika anak-anak itu berulang kali bertanya. Dengan sabar, ia kembali menjelaskan.
Dari dekat rak buku, Ayya menatap wanita baik hati itu. Malam ini adalah terakhir kalinya ia menyaksikan Kinasih dan adik-adiknya belajar bersama. Dan, terakhir kalinya ia membacakan cerita untuk Reyna dan ketiga anak lainnya.