Mata Capung
Aku tertarik pada senyummu.
Manisnya kurasakan dalam setiap sapaan lembut dari bibirmu.
Setiap waktu, setiap kali pandangan kita bertemu.
Aku juga suka gerak langkahmu.
Khas dalam damainya,
Kuingin temani kepergianmu.
Bersama melewati kerikil dan kayu.
Diselingi cumbu dan bahagiamu.
Aku akan sedikit maju mendekatimu lebih dalam.
Diantara tatapanmu pada mereka dalam geram.
Mudah sekali kamu pergi.
Terbang begitu saja saat terancam.
Tatapanmu paling paham.
Tiap kali mereka yang datang tanpa arah kenyamanan.
Kamu menghilang.
Jauh.
Membuat mereka buta arah tak beraturan.
Yang kupertanyakan
Setiap kali kamu berpindah pergi
Kenapa aku masih terus menjadi saksi?
Apa kamu selalu ingin membawaku?
Terus bersamamu.
-----
Chata berdiam di apartemennya, menatap ke arah lautan, tersenyum menyaksikan alunan ombak. Sesaat kemudian air lembut mengalir dari matanya. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Chata berjalan pelan ke sudut ruangan, mengambil kuas dan menarikannya di atas canvas. Ia melukis seseorang dengan wajah sendu. Ia melukis wajah Randu.
-----
Mas Resta memulai briefing pagi ini dengan semangat seperti biasa. Membahas Seluruh kinerja team, mengevaluasi, dan mencari solusi untuk setiap kendala. Semua hal yang dihadapi selalu dibahas sangat mendetil.
Jika sebelumnya lebih fleksibel, kali ini kedisiplinan dan ketaatan karyawan juga menjadi hal yang tak luput untuk dikoreksi. Hanya satu orang yang tidak pernah dikoreksi. Randu. Resta tidak pernah membahas sedikitpun tentang sikap maupun kinerja Randu.
Resta mengumumkan bahwa pekan depan akan ada rapat besar perusahaan.
"Koreksi besar-besaran."
Begitu ucap Resta menirukan ucapan direksi ketika menyampaikan pesan dari kantor pusat.
Seusai briefing, Kak Ade menghampiri Randu, menyodorkan sebuah berkas.
"Namanya Alinea, fresh graduate," ucap Kak Ade.
"Apa-apaan nih masih pagi udah disodorin perempuan?" tanya Randu pada Ade.
"Training tuan Randuuuu. Hari ini Mas Resta minta dia belajar news reading," Ade merespon candaan Randu dengan nada sedikit meninggi. Tentu saja bukan benar-benar marah, ini sudah seperti candaan biasa bagi mereka.
"Siap Paduka Ade," jawab Randu.
Randu pun bergerak menuju ruang make-up, tapi kembali lagi menoleh pada Ade.
"Dia belajar? Langsung on air? Udah gila kalian?" tanya Randu heran bercampur sedikit kemarahan.
"Nggak dong. Tuan Randu kasih contoh dulu hari ini," jawab Ade dengan senyuman lebar.
"Mulai kebiasaan ya, gak konfirmasi lebih awal," ucap Randu sambil menggelengkan kepala.
"Karena tuan Randu selalu ada dan pasti bisa. Kami cinta tuan Randu."
Geli Randu mendengar ucapan Ade.
"Kamu boleh kusumpahin gak sih kak?" Randu gemas pada kelakuan Ade.
"Boleh, tapi sumpahnya sepaket sama Bang Jimmy, Mas Resta, Mas Daud ya," ucap Ade mengejek.
Mengingat waktu on air yang hanya 40 menit lagi, Randu tidak memperpanjang protesnya pada Ade. Percuma saja dia memperdebatkan, nanti justru merugikan yang lain. Toh sebenarnya memang tidak aada masalah untuk Randu jika harus on air pagi ini. Randu bergegas menuju ruang perlengkapan on air.
"Alinea Riana," ucap Randu ketika masuk ruang make-up dengan berkas di tangannya.
"Saya mas," ujar seorang perempuan di ruangan itu.
"Bukan kamu Kartikaaa," Randu merespon jawaban seorang staaf yang duduk di depannya.
Staff ini, Kartika, kemudian berdiri mendekat ke arah Randu.
"Itu mbaknya mas," ucap Kartika sembari menunjuk seorang perempuan di sudut rungan.
Randu meletakkan berkas yang diberikan Ade tadi di sebuah meja.
"Cantik loh mas, kayaknya pinter, kayaknya cocok sama Mas, kayaknya..." Kartika berbisik memulai ocehannya, walaupun pelan, tapi jaraknya yang dekat dengan telinga ukup membuat gaduh di kepala Randu.
"Sssh ngoceh terus ya kamu, kerja sana!" perintah Randu memotong ocehan Kartika.
"Alinea Riana?" Randu mengucapkan nama itu lagi setelah tiba di hadapan perempuan yang ditunjuk Kartika tadi.
"Iya betul Mas," jawab perempuan itu lembut sekali.
"Oke," jawab Randu singkat.
Hanya itu yang Randu ucapkan, tidak ada tambahan lain. Kemudian Randu bergegas menuju ruang pakaian. Randu harus segera menganti pakaiannya dengan setelan jas lengkap. Dia tinggalkan Riana begitu saja.
Kartika yang melihat Riana kebingungan, kemudian mendekati Riana dan membisikkan sesuatu. Randu tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tidak peduli lebih tepatnya
Kartika mengajak Riana ke pintu ruangan dan berbisik menjabarkan banyak hal.
“Itu Mas Randu. Editor, presenter, news reader, dan… kayaknya dia bisa kerjain semua deh. Nah sebentar lagi dia mau on air. Mungkin lagi buru-buru,” Kartika berusaha menjelaskan agar Riana bisa memaklumi sikap lelaki itu.
Riana mengangguk-angguk mengerti.
“Dia yang terbaik di kantor ini. Paling ganteng juga. Tapi ya, orangnya emang dingin banget,” Kartika melanjutkan penjelasannya.
Entah bagian ini sebenarnya penting atau tidak untuk dijelaskan.
Sekali lagi Riana mengangguk-angguk mengerti.
“Mendingan kamu ke Ruang MCR aja, datengin Kak Ade. Bilang aja tadi belum sempat dapat arahan dari Mas Randu,” Kartika menyarankan agar Riana meminta arahan pada Ade saja.
Riana menuruti saran Kartika. Ia bergegas melangkah. Kartika hanya memperhatikan langkah Riana sambil menunggu.