MUSLIHAT

Rachma Nurlela
Chapter #1

TITIP

“Ting mriki mboten angsal mbeto handphone. Pripun?”

Seorang perempuan ayu berkerudung putih tersenyum ramah saat menyambut kami di pintu gerbang. Mama menoleh ke arah Mbak Ririn, orang yang membawa kami ke pesantren ini. Sementara Papa yang baru tiba, tampak sibuk mengusap keringat di wajahnya. Aneh. Padahal udara di sini sangat dingin dan juga kami bukannya berjalan kaki, tetapi Papa seperti orang habis maraton.

“Memang begitu, Mbak Ji. Ikuti saja!” sahut wanita bergincu tebal itu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Ia pun memberikannya kepada seorang lelaki yang terlihat seperti penjaga keamanan.

Mama pun mengikuti, walau kulihat rautnya keberatan. Papa mengatur napas sebelum kemudian menatap Mama dan Mbak Ririn bergantian.

“Yakin, mau menitipkan Mustika di sini?” bisik Papa terdengar olehku.

“Kita lihat dulu, Pa. Lagi pula sudah sejauh ini kita menempuh perjalanan,” tukas Mama.

“Monggo!” ajak perempuan yang mengenakan sarung khas santri tersebut mengayunkan tangan kanan dengan sopan.

Aku sejak perjalanan tadi memilih diam karena lelah. Percuma membantah Mama yang ucapannya seperti laju kereta. Lagi pula, dari pada harus menikah muda, sepertinya tinggal di pesantren juga tidak terlalu buruk. Aku bisa jauh dari orang-orang seperti Aleta, gadis yang kuhajar seminggu lalu hingga dua giginya tanggal.

Mataku mengerjap. Meskipun jauh dari pemukiman penduduk dan jalan raya, tetapi bangunan pesantren ini lumayan juga. Hawa sejuk menyambut kulitku yang biasanya terpapar sinar matahari ibu kota. Kami terus mengikuti perempuan tadi menyusuri halaman luas berumput hijau. Ia sibuk bercakap dengan Mbak Ririn menggunakan bahasa Jawa halus. Mama yang memang asli orang Magelang, sesekali menimpali. Sementara Papa mengikutiku di belakang.

“Tika!” Papa menjawil lenganku.

“Apa?” Aku menghentikan langkah.

“Arloji Papa sepertinya rusak. Masa sekarang sudah jam tujuh? Padahal tadi sebelum naik ojek masih normal. Papa lihat baru jam tiga lewat. Perjalanan ke sini juga gak sampai satu jam. Iya, kan?” Papa menepuk-nepuk benda yang melingkar di tangan kirinya.

“Mungkin memang rusak,” sahutku tak acuh.

Papa menggaruk kepala. Ia pun mengajakku menyusul Mama dan Mbak Ririn yang sudah jauh di depan. Mereka terlihat menuju satu bangunan. Aku menduga dari terasnya, itu seperti ruang pertemuan.

Seorang pria tua menyambut kami dan mempersilakan masuk. Perempuan yang mengantar kami melepas alas kaki, lalu membungkuk di depan pria yang kuterka seorang kiai. Tanpa dikomando, Mama dan Mbak Ririn mengikuti. Aku pun turut serta setelah ditepuk oleh Papa.

“Sugeng rawuh. Ndak niki sik ajeng tilar wonten mriki?” Pria itu tersenyum menatapku. Entah kenapa aku memilih membuang wajah, menatap lukisan yang tergantung di dekat jendela.

“Iya, Mbah Yai. Ini anak teman saya,” sahut Mbak Ririn.

“Sopo jenengmu, Nduk?” Mbah Yai lagi-lagi menatapku lekat. Aku merasa risi sekaligus tidak nyaman.

“Mustika,” jawabku datar.

“Nanti kalau sudah tinggal di sini, kerudung dan pakaiannya seperti Mbak Umi tadi, ya. Hanya boleh dua warna. Hitam dan putih. Khusus untuk kerudung nanti dibedakan sesuai kelas,” paparnya.

“Tapi, aku belum memutuskan mau atau enggak tinggal di sini, kan, Ma?” tanyaku menoleh ke arah Mama.

Mama terdiam. Sesaat aku melihat ada keraguan di wajahnya. Ia juga menggerakkan telapak kaki seperti tidak nyaman.

Perempuan yang disebut Mbak Umi tadi datang membawa baki. Ia menghidangkan empat gelas air putih. Ya, hanya air putih.

Lihat selengkapnya