Suara guntur yang menggelegar membuatku refleks membuka mata. Gemuruh hujan dan kilatan petir saling berkejaran. Sesaat aku merasa linglung. Tubuhku terbaring di ranjang bambu beralaskan tikar pandan dan kasur usang. Jendela ruangan terbuka lebar. Bilah papan itu berderak, membentur dinding berkali-kali hingga engselnya nyaris terlepas. Aku mengedarkan pandangan. Di ruangan ini terdapat banyak ranjang berjajar, entah berapa jumlahnya. Masing-masing ranjang dilengkapi satu lemari kayu kecil. Kepalaku berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Kami melakukan perjalanan sehari semalam, sebelum kemudian tiba di lokasi tujuan. Pesantren.
“Argh!” Aku sangat kesal, hingga melepas kerudung cokelat pemberian Mama yang bau keringat. Udara dingin langsung membelai daun telinga. Aku menggigil kedinginan.
“Di mana semua santri? Bukannya tadi aku masih di ruang tamu bersama Mbah Yai?” batinku bingung.
Seorang perempuan masuk ruangan. Aku berteriak kaget. Hujan membuat langkah gadis itu tersamarkan.
“Sudah bangun? Kalau begitu ganti baju dengan pakaian yang ada di situ. Kami sedang bersiap untuk salat magrib,” ucapnya menunjuk lemari di samping ranjangku. Ia pun menuju salah satu lemari lain, lalu mengambil sebuah kain.
Aku beringsut. Kubuka lemari satu pintu tersebut untuk melihat isinya. Ternyata banyak tumpukan kain sarung hitam dan baju panjang. Selain itu ada sekotak pembalut yang masih utuh. Di rak terakhir terdapat baju dalaman lengkap. Aku tidak tahu masih baru atau tidak, tetapi masih bagus dan layak pakai.
“Ini semua punya saya?” tanyaku menatap gadis yang kini duduk di ranjang lain, seolah-olah sedang menungguiku.
“Iya. Semua kebutuhan santri ditanggung oleh pondok. Oh, ya. Saya Nawang, ketua kamar Salamah.” Ia memperkenalkan diri.
“Di mana kamar mandinya?” tanyaku setelah mengambil satu paket pakaian, termasuk kerudung persegi warna putih yang bagiku terlalu lebar.
“Ayo, saya antar!” Gadis itu berdiri. “Ah, di sini sesama santriwati menggunakan sebutan mbak. Tidak peduli tua atau muda.” Ia mengajakku melewati sebuah teras yang panjang. Hujan mulai reda, tetapi langit kian gelap.
Aku mengangguk. Lingkungan asing ini sungguh membuatku merasa aneh. Meskipun ada lampu, tetapi sangat minim. Selain itu, membayangkan hari-hari tanpa ponsel sungguh sangat membosankan.
“Mbak Nawang asal mana?” tanyaku canggung. Langkahnya makin cepat. Aku sampai setengah berlari menyusulnya.
“Perkenalannya nanti saja. Cepat! Sudah magrib! Saya tunggu tiga menit. Oh, ya. Kalau ada yang mengetuk pintu, jangan pedulikan. Selesaikan saja urusanmu dan cepat keluar,” pesannya. Kami tiba di tengah-tengah bangunan panjang. Sebuah lampu remang-remang menerangi satu lorong. Kanan kiri lorong terdapat pintu. Ini kamar mandinya?
“Cepat!” desak Mbak Nawang mendorongku.
Cekatan, aku memilih salah satu pintu. Kudorong bilah seng yang mulai berkarat tersebut pelan. Aroma pesing, apek, dan sedikit amis membuatku nyaris muntah. Gemercik air keran yang bocor jatuh di penampungan berlumut. Aku tidak ada waktu lagi untuk menilai sekotor apa kamar mandi ini. Segera kulepas pakaian satu per satu, lalu mengguyurkan air sambil menutup mata. Aku baru sadar kalau tidak ada sabun. Bagaimana caraku membersihkan diri?
Deng! Pintu kamar mandi bergetar. Seng tua tersebut seperti diketuk keras-keras dari luar. Aku ingat pesan Mbak Nawang. Mungkin karena ini di pondok pesantren, jadi ada yang antre di luar.
Tanpa mengeringkan tubuh, aku langsung mengenakan pakaian. Saat keluar, kulihat tidak ada siapa-siapa di lorong. Sepi. Bahkan hujan pun sudah berhenti.
“Mbak!” panggilku kepada Mbak Nawang yang sudah berjalan cepat, menuju bangunan lain. Aku mengikutinya dengan tergesa. Kenapa ia tidak sabaran sih?
“Mbak, tunggu saya!” teriakku.
Karena hujan sudah reda, kami melintasi sepetak tanah berumput yang tergenang air. Di depan terdapat bangunan dengan pintu serambi terbuka lebar. Mungkin itu masjidnya.
Aku baru sadar kalau tidak memakai alas kaki. Sepertinya Mbak Nawang juga demikian. Apa memang peraturan di sini juga, kami tidak diperbolehkan memakai sandal? Dasar! Tidak masuk akal.
Tiba-tiba, tanganku ditarik seseorang. Aku refleks mengelak karena kaget.
“Mau ke mana? Masjidnya di sana!” Mbak Nawang tampak kesal, sekaligus gelisah.
Aku melongo. Bukankah tadi aku sedang mengejarnya?
“Ayo! Lain kali jangan asal mengikuti orang,” ketusnya.