Setelah salat isya, Mbak Nawang mengajakku makan malam. Di ruangan yang mirip kantin ini, aku bisa melihat hampir satu per satu wajah santriwati dengan jelas. Lampu lebih terang, areanya juga lumayan luas. Kami mengantre dalam satu barisan panjang. Penjaga stan tampak cekatan menyendokkan nasi, sayur, dan lauk ke piring lebar yang dipegang masing-masing orang. Barisan paling depan adalah santriwati berkerudung hitam. Kata Mbak Nawang, mereka itu yang dituakan. Mungkin kata lain senior. Namun, aku melihat beberapa masih tampak muda. Bahkan lebih muda dari aku.
“Jangan melamun!” tegur Mbak Nawang sedikit mendorong tubuhku. Tinggal beberapa orang lagi tiba giliran kami.
Aku merasa salut sekaligus canggung. Meski bukan di jam pelajaran atau mengaji, mereka semua sangat tenang. Nyaris tidak ada yang bersenda gurau. Terlebih setelah duduk di meja makan. Hanya ada suara sendok dan piring beradu.
“Kita duduk di sana saja,” ajak Mbak Nawang menunjuk sudut ruangan.
Aku mengangguk. Kulirik hidangan makan malam yang tidak memiliki aroma. Hanya nasi dingin, tumis sawi putih, dan tahu goreng dua kotak. Tidak ada ayam atau daging. Pikiranku langsung tertuju ke rumah. Biasanya saat makan malam Mama akan membeli lauk lewat pesan antar online. Karena ia sudah lelah, tidak ada tenaga untuk masak katanya. Namun, itu jauh lebih baik dari pada hidangan yang saat ini tersaji di depanku.
Mbak Nawang makan dengan lahap. Aku menelan air liur. Yah, bagaimanapun seharian ini aku memang belum makan. Rasa lapar lebih dominan ketimbang memikirkan selera. Kusuapkan sesendok nasi dan secuil tahu goreng. Hambar. Aku sampai mencecap berulang kali. Sayur juga demikian.
“Makannya harus habis. Karena Bu Nyai tidak suka kalau ada makanan sisa. Nanti beliau akan keliling, mengecek setiap piring,” bisik Mbak Nawang seolah-olah menampar kecamuk isi pikiranku.
Aku hanya bisa mengusap air mata yang mengambang. Biasanya aku tidak secengeng ini. Kenapa Mama tega sekali?
Setelah berjuang mati-matian, aku menelan makan malam tersebut. Perutku masih keroncongan. Selain tidak cocok di lidah, porsinya juga ternyata sangat sedikit. Aku jadi paham, kenapa hampir tidak ada santriwati yang gemuk.
“Kalau malam, porsinya memang sedikit. Kita tidak dibiasakan makan sampai kenyang. Nanti akan mengganggu hafalan,” jelas Mbak Nawang.
Aku hanya mengangguk. Selain lapar, aku juga merasa mual. Dari pintu dapur, terlihat perempuan paruh baya yang tadi mengisi ceramah di masjid. Bu Nyai. Ia berjalan mengitari meja santri. Semuanya menunduk hormat. Tiba-tiba Mbak Nawang menyenggol lenganku.
“Masih ada upo,” bisiknya menunjuk piringku.
Aku kaget. “Upo?”
“Beberapa butir nasi. Harus habis sampai licin. Cepat!” desaknya.
“Cuma beberapa butir, kan?” tanyaku bingung.
Langkah Bu Nyai makin mendekati meja kami. Mbak Nawang yang tidak sabar, segera mengumpulkan beberapa butir nasi tersebut lalu menyuapkannya ke mulutku.
“Mbak!” Aku benar-benar ingin muntah.
“Tahan! Nih, minum air putih!” Mbak Nawang memberikan segelas air.
Setelah meneguk beberapa kali, aku merasa lebih baik. Namun, aku baru sadar kalau gelas yang kugenggam milik Mbak Nawang. Minumku sudah habis sejak tadi.
“Bagus, Cah Ayu!” puji Bu Nyai menepuk bahuku.
Aku menunduk kaku. Tidak tahu harus mengatakan apa.
“Mbak Nawang temani dia, nggih. Peraturan pondok jelaskan saja pelan-pelan,” titah perempuan beraroma kasturi tersebut.
“Nggih, Bu Nyai.” Mbak Nawang mengangguk patuh.
Setelah Bu Nyai pergi, satu per satu santri mengikuti. Mereka menumpuk piring di sisi kanan stan. Beberapa orang tampak menunggu. Kata Mbak Nawang, mencuci piring juga ada jadwalnya. Ia berjanji akan mengajukan jadwal untukku di hari yang sama dengannya.