MUSLIHAT

Rachma Nurlela
Chapter #4

TERPILIH

Sepanjang malam aku tidak bisa memejamkan mata. Sentuhan itu terasa sangat nyata. Mulut kubekap erat-erat. Meski sebenarnya bisa saja berteriak, tetapi aku lebih takut jika membangunkan santri lain. Entah berapa menit hal tersebut berlangsung, hingga suara batuk Mbak Nawang membuat sosok itu tiba-tiba menghilang. Aku bisa menarik napas lebih teratur, walau tetap saja rasa takut masih menggelayut. Jendela sepertinya masih terbuka. Tiupan angin menembus selimut. Sampai kemudian kudengar langkah kaki di luar. Sorot lampu senter menerobos seisi kamar.

“Ceroboh sekali kamar Salamah!” decak suara wanita yang kukenal. Itu Mbak Umi.

Ia menutup jendela dengan sedikit keras. Hawa ruangan menjadi lebih hangat dari sebelumnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Namun, pikiranku masih belum bisa diajak istirahat. Aku tidak betah di sini. Bagaimana caranya pulang? Apa kukatakan saja ke Mbak Nawang agar ia meneruskan ke pihak pondok. Barangkali nanti Mama berubah pikiran lalu menjemputku.

Aku menguap panjang. Tidak ada detik jam, hanya pacuan jantungku yang terdengar. Awalnya aku membayangkan kamarku yang hangat. Kasur empuk, dan ponsel yang tak pernah jauh dari jangkauan. Lalu semuanya seperti masuk ke alam bawah sadar.

“Mbak Mus, Mbak Mus!”

Ada yang memanggilku di kejauhan. Telingaku menangkap suara itu, tetapi tubuh enggan merespons.

“Mbak, bangun!”

Kali ini ranjangku seperti diguncang.

“Sudah jam tiga lewat. Ayo! Yang lain sudah ke musala.”

Aku membuka mata. Mbak Nawang setengah membungkuk di samping ranjangku.

“Saya baru bisa tidur,” keluhku merasa pusing.

“Nanti lama-lama pasti terbiasa. Ayo! Pakai kerudungnya.” Ia menarik tanganku.

Aku sungguh ingin memaki. Bagaimana bisa orang bangun di jam segini? Dingin, gelap. Saat di rumah saja bangun jam lima subuh bagiku sudah terlalu dini.

Mbak Nawang mengajakku langsung ke musala. Masih setengah sadar, aku mengikutinya yang berjalan tergesa. Beberapa santri dari kamar lain juga terlihat setengah berlari. Kakiku serasa tidak menapak tanah. Rasa kantuk dan pusing saling berjejalan. Belum lagi udara dingin yang menusuk tulang.

Namun, begitu menyentuh air wudu, mataku seketika terbuka lebar. Perlahan hanya sakit kepala yang tersisa. Itu pun lama-lama memudar. Usai wudu, aku meregangkan badan sebentar. Gara-gara kejadian tadi aku tidur dengan satu posisi. Tubuh rasanya kaku dan pegal. Belum lagi rasa ngeri merambati punggung. Apa ya? Selama ini aku tidak percaya dengan hantu. Karena memang tidak pernah ada kejadian gaib yang kualami. Namun, baru menginap semalam di sini pikiranku terusik. Kalau memang hantu benar-benar ada, apa ia bisa melukai manusia?

“Sedang apa kamu?” sentakan dari belakang membuatku menoleh cepat. Mbak Suci tampak menyipitkan mata, menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa kutebak.

“Ini habis wudu. Kenapa?” Aku balik bertanya.

“Kalau sudah selesai cepat masuk!” ucapnya dingin.

Aku mengangkat bahu. Di antara empat teman sekamarku lainnya, kurasa ia yang paling berbeda. Wajahnya masam. Ia seperti tidak menyukai kehadiranku.

Seperti kata Mbak Nawang, usai salat tahajud dilanjut dengan tadarus. Saat inilah lantunan ayat-ayat suci al-qur’an membuatku terlena. Mataku terbuai tiupan angin subuh yang sejuk. Aku pun bersandar pada tiang sambil terkantuk-kantuk. Sesekali Mbak Tri menepuk pahaku, tetapi hal itu tidak bisa mencegahku untuk menutup mata rapat-rapat.

Dalam sekejap, aku sudah berpindah ke alam mimpi. Rasanya aku sedang berjalan di sekitar pesantren. Entah kenapa kakiku tidak bisa berhenti. Aku terus menjejak pada hamparan rumput berembun, sampai tiba di bagian belakang pondok. Aku mengenali tempat ini. Kemarin lalu, Mbak Umi membawaku ke mari. Pagar pembatas yang berupa jajaran balok-balok kayu berlumut. Aku penasaran dengan apa yang ada di baliknya. Apakah hanya tanah kosong, kebun, atau ada bangunan lain?

“Jangan melewati batas!”

Seketika aku membuka mata. Mbak Tri menggeleng, lalu merapatkan tubuhnya denganku. Tangannya menggenggam mushaf erat-erat.

“Ada Bu Nyai. Jangan sampai ketahuan kalau Mbak Mus habis tidur!” bisiknya.

Aku buru-buru menunduk, menekuni mushafku sendiri yang tampak kabur tulisannya. Memang rasa kantukku sudah hilang, tetapi pikiranku belum bisa fokus dengan situasi saat ini. Perempuan. Benar. Dalam mimpiku tadi ada perempuan berpakaian serba hitam dan berkulit pucat. Ia menarik tanganku saat hendak mengintip pagar.

Lihat selengkapnya