Usai makan, alih-alih kenyang aku malah merasa mual. Mbak Nawang menatapku prihatin. Ia segera mengemasi piring kami, lalu menarik tanganku keluar kantin di saat santri lain masih di dalam.
“Mau ke mana Mbak?” tanyaku bingung.
“Di belakang aula ada pohon mangga. Kemarin saya lihat masih ada buahnya. Ayo ke sana sebentar! Sebelum kelas dimulai,” jelasnya.
“Mangga? Maksudnya kita mau metik mangga?” Alu masih tidak mengerti.
“Mencuri. Sedikit.” Mbak Nawang tersenyum tipis.
Kami berlari kecil melewati belakang kantin. Di sana kulihat beberapa santriwati tengah mencuci piring. Mereka cukup sibuk, sampai tidak melihat keberadaanku dan Mbak Nawang yang tergesa. Aku baru sadar, entah sejak kapan aku mulai nyaman berjalan tanpa alas kaki seperti ini.
Benar saja. Kami tiba di belakang gedung di mana sebuah pohon mangga rindang tumbuh. Beberapa mangga ranum bergelantungan. Mbak Nawang segera memanjat salah satu dahan dengan cekatan, lalu mengambil satu buah yang paling terjangkau.
“Nih, makan cepat! Semoga bisa mengganjal perut lebih baik,” ujarnya.
Aku pun mulai menggigitnya setelah menawari Mbak Nawang, tetapi ia menolak. Gadis berwajah tegas itu mengawasi keadaan sekitar. Aku merasa tidak enak, buru-buru melahap daging mangga yang masih mengkal.
“Sini, buang di sini bijinya!” Mbak Nawang menunjuk sebuah lubang kecil di tanah. Mungkin sarang tikus.
Setelah membersihkan mulut, kami bergegas menuju ruang kelas. Mbak Nawang memastikan wajahku sekali lagi, takut meninggalkan bekas. Ia pun menuju rak dan mengambil dua kitab. Kami duduk di lantai dengan meja panjang membentang.
“Di sini tidak ada guru resmi seperti di sekolah umum. Yang mengajar para santri adalah para abdi dalem,” jelas Mbak Nawang sambil membuka kitab di mana kertasnya berwarna kekuningan tersebut.
Meskipun aku bisa membaca al-qur’an, tetapi tulisan dalam kitab membuatku bingung. Mbak Nawang bilang tulisan arab gundul, tidak memiliki harakat. Selain itu jika kudengarkan menggunakan bahasa Jawa. Ah, melihat huruf-hurufnya saja membuatku pusing!
“Mbak Mus menyimak saja. Nanti kalau ada yang tidak paham, tanyakan ke saya,” ucap Mbak Nawang.
Aku mengangguk. Namun, pikiranku tetap tidak bisa mencerna pelajaran. Suara guru di depan hanya seperti angin lalu. Tidak masuk ke otak sama sekali. Selain itu, perutku mendadak tidak nyaman. Mulas dan kram. Aku baru ingat, minggu ini memang waktunya datang bulan.
Di siang hari, suasana pesantren memang tampak normal dan ramai. Hanya saja, aku baru sadar kalau matahari tidak terlihat. Terang, langit tidak ada awan, tetapi aku tidak bisa melihat bayangan tubuhku. Bukan hanya aku, tetapi semua yang ada di sini tidak memiliki bayangan.
“Kenapa ya?” gumamku saat kami berjalan ke kamar untuk tidur siang.
“Apanya?” tanya Mbak Tri.
“Bayangan. Kenapa tidak ada bayangan?” Aku menunjuk halaman.
Mbak Tri berpandangan dengan Mbak Nawang. Keduanya saling tatap seperti sedang mempersiapkan jawaban yang tepat.