Andrea Denver hanya duduk termenung dipagi yang cerah dan bahkan terbilang sangat cerah. Matahari menyinari menohok kedalam kulit, menyengat bagaikan lebah. Belum begitu terik, namun cuacanya bakal diprediksi akan sangat panas siang hari. Denver berada didalam kereta menuju kota terpencil tempat dia dan keluarganya menjaga benih cinta keluarga mereka. Tentu saja dipinggiran kota nan tenang dan damai, menyamarkan diri sebagai manusia biasa, berkelompok bersama mereka seperti kerumunan semut semut, sangat teratur.
Begitu turun dari kereta cepat itu, dia sengaja tidak naik taksi menuju tempat kediamannya dipinggiran kota. Berjalan dengan pelan mencoba mengingat-ingat kembali kenangan yang terpaut ketika mereka pertama kali pindah kesini, mereka kira akan mengalami penolakan seperti yang sebelumnya. Namun dikota ini, identias mereka rahasia, mereka tidak tahu mereka adalah keluarga mutagen. Walau memang harus menyembunyikan hal itu, menjaganya sedetil mungkin agar dapat menyimpan rahasia kecil mereka itu, karena pikir mereka menjadi mutagen diantara manusia tidaklah baik untuk mereka sendiri maupun sekitarnya. Didalam otak manusia kebanyakan sudah tertanam bahwa mutagen adalah aib, sebuah ketidak wajaran yang diberikan tuhan sebagai hukuman. Walau dalam pertemuan dengan kakaknya, Adam sempat menekankan bahwa tidak ada yang salah menjadi seorang mutagen. Kekuatan yang diberikan ini adalah sebuah berkah, bukan kutukan seperti yang banyak orang bilang.
Denver menyusuri jalanan kecil berumput kanan kiri, jalan setapak menuju rumah mereka di Catania. Suasana gunung disana membuat sejuk, sedangkan desiran angin dari laut membawa kesejukan tersendiri. Kota inilah yang sangat menyimpan memori dia ketika kecil dan menghabiskan masa remajanya sebelum memutuskan untuk kuliah di Milan. Tidak terlalu berubah selama empat tahun ini, begitu pikir Denver. Dia berjalan pelan menuju kerumah orang tuanya. Namun begitu tidak jauh terlihat siluet rumahnya, dia melihat dua mobil asing yang mengunjungi rumah itu, empat orang berseragam resmi yang sepertinya sudah menyelesaikan urusan mereka disana dan pergi, mereka adalah MAP.
Ketika dua mobil itu berjalan menjauh, Denver berlarian dengan tergesa, takut jika terjadi apa-apa dengan keluarganya. Nafasnya pongah memikirkan jika seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, namun begitu didepan pintu rumahnya yang terbuka. Dia melihat ayah dan ibunya berdiri dalam keadaan sehat walafiat. Ayah dan ibunya terpaku diam melihat anaknya berdiri disana, bingung untuk melakukan apapun, karena selama setahun ini mereka hanya berkomunikasi via telepon dan video call. Namun ibunya yang sudah menahan rasa kangen yang tinggi, spontan memeluk Denver sambil menangis. Lalu ayahnya mengikuti dari belakang, mereka bertiga berpelukan kencang.
“Aku kira mereka macam-macam sama kalian, ada perlu apa mereka kesini?” Tanya Denver dalam pelukan, ayahnya sudah melepaskan pelukan itu. Lalu ibunya menyusul, memandangi wajah anak bungsunya yang semakin tampan itu.
“Mereka hanya mengobrol dan mampir, kata mereka untuk keperluan administrasi, seperti kelakuan baik begitu.” Jawab ayahnya.
Denver dengan cepat menanggapi perkataan ayahnya itu, dia sadar dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Dan sepertinya para MAP itu mencoba men tracking jejak kakaknya. Denver tahu bahwa orang tuanya juga belum tahu bahwa Adam telah kabur dari fasilitas ERB. Dia menjadi sedikit ragu untuk memberi tahu mereka kebenarannya, namun rasanya salah jika tidak memberitahu. Tapi dia tidak tahu bagaimana reaksi mereka seandainya tahu, hal itu menjadi pikirannya. Untuk sementara sebaiknya dia merahasiakannya dulu dan mencari waktu yang tepat.
"Kenapa kau pulang nak? Apakah ada masalah? Ibu jadi khawatir.” Tanya ibunya.
“Ah tidak bu, aku sangat merindukan kalian, sudah setahun ini tidak bertemu langsung jadi rasanya begitu kangen.” Jawab Denver cepat, matanya berbinar.
Mata ibunya ikut berbinar terang, seterang bintang. Ibunya mengajak Denver untuk duduk, ayahnya menemani. Ibunya membuatkannya cokelat hangat untuknya, walau cuaca panas begini. Namun cokelat panas adalah minuman kesukaan Denver dari kecil, dan ibunya tahu pasti hal itu. Denver hanya tersenyum, sifatnya yang biasanya dewasa dan maskulin seketika berubah agak sedikit lunak bersama kedua orang tuanya, menjadi sedikit manja. Kedua orang tuanyapun memperlakukan Denver selayaknya anak kecil. Mereka tidak menyangka anaknya sudah dewasa.
Tapi tetap saja rasanya sangat salah jika tidak segera memberitahukan kedua orang tuanya yang terjadi mengenai buron kakaknya itu. Menunggu momen yang tepat itu tidak tahu kapan akan datang, atau bahkan tak akan pernah datang. Haruskah dia memberitahu mereka sekarang, lagian Denver juga penasaran apa reaksi ayah dan ibunya, juga reaksi kakak perempuannya. Tapi dia tidak melihat batang hidung kakak perempuannya, Kate seharian itu. Dimana kakak perempuannya? Sekarang juga menjadi perhatian besar Denver keberadaan Kate.
“Dimana Kate?” Tanya Denver kepada ayahnya,
Denver mengingat ketika bagaimana ketika kecil dia bermain bersama ayahnya, ayahnya merupakan sumber pencerahan dan panutan yang hingga sekarang membentuk sebagian besar karakter tegar dan kuat dalam diri Denver. Pernah suatu masa para kaum the freak mengalami penolakan hebat dimasyarakat. Saat itu bukan hanya cacian maupun hinaan, ada beberapa tetangga yang melakukan kejahilan fisik kepada mereka seperti membuang banyak sampah dihalaman rumah mereka, atau memecahkan kaca jendela mereka. Namun karakter ayahnya itu tetap tenang dan kuat mengahdapainya, tidak pernah mendendam, sehingga itupun menurun kepada Denver saat ini. Lalu ibunya yang mencerminkan karakter yang adil, sabar, dan cinta kasih kepada setiap anaknya. Didikan ibunya ini yang membuat keinginan kuat Denver menjadi seorang petugas hukum.
Namun ayahnya mungkin tidak mendengar perkataan Denver barusan sehingga dia tidak mendengar apapun dar mulut ayahnya hingga ibunya datang menghampiri mereka yang sambil melihat bintang-bintang terang disana, membawa cemilan kesukaan ayahnya dan Denver.
“Kakakmu menemukan cintanya nak, mereka tinggal bersama sekarang,”
Denver tidak terlalu terkejut dan tidak terlihat sedikitpun khawatir, dia mengetahui sosok kakak perempuannya Kate adalah sosok yang jauh lebih tegar bahkan dari dirinya sendiri. Menanggung beban menjadi anak pertama setelah keberadaan Adam yang ditahan adalah sangat sulit, belum lagi bully-an karena kemutagenan yang diterimanya. Namun Kate dimata Denver adalah sosok yang sangat tangguh, tidak pernah menyerah dan selalu berpikir positif, hal itu membuat Denver kagum. Makanya dia tidak terlalu gusar, karena dia sangat yakin Kate dapat menjaga dirinya lebih baik daripada yang dia kira.
“Bagaimana denganmu nak? Ibu khawatir padamu, dari kecil kau tidak pernah menceritakan perasaanmu kepada ibu.” Ibunya menatap Denver dalam, tahulah tatapan seorang ibu itu akan menusuk kedalam jiwa yang sedalamnya. “Apakah kau sudah menemukan cinta sejatimu?”
Denver seketika membalik wajahnya dan tersenyum, lalu membalik wajahnya lagi dan melihat kearah ibunya, sesekali melirik ayahnya yang sekarang juga jadi penasaran dengan tingkah anak mereka. Lalu Denver tersenyum sedikit dan seolah menisyaratkan sesuatu kepada mereka dengan menggeleng dan mengangguk kepalanya dengan senyuman khasnya.
“Waaaaaaah, aku belum pernah melihatmu jadi diam seperti ini.” Ibunya tersenyum, ini adalah kabar yang sangat gembira untuknya, mengetahui anaknya sedang jatuh cinta. Terlihat sekali gelagatnya yang tidak jelas itu. Ayahnya ikut tersenyum dan tertawa melihat istrinya begitu, lalu ibu Denver menggoda Denver. “Siapa wanita beruntung yang mendapatkan anak ibu yang paling tampan seduania ini, pekenalkan sama ayah dan ibu.”