Bertahun-tahun setelah
Seorang gadis kecil berdiri memegangi biola ukuran 2/4 itu dengan mantap ditengah padang rumput yang sesekali mendesirkan angin pelan nan syahdu, membawa pesan-pesan dari alam yang saat ini eksistensinya sudah mulai tertandingi. Suara yang indah dan mantap sekali, untuk ukuran seorang anak yang bahkan belum mencapai lima tahun. Lagu yang dibawakannya lagu-lagu klasik abad pertengahan, sungguh indah. Disampingnya duduk seorang wanita berambut keriting yang memainkan sebuah piano tua, mendampingi dan mengiringi gadis kecil tadi. Lalu ayahnya memperhatikan anak dan istrinya dengan penuh kebahagiaan, sesekali mengambil momen-momen indah itu untuk diabadikan kedalam sebuah jepretan foto.
Mereka bertiga sangat senang sekali, menghabiskan hampir sebagian waktu bersama-sama, bermain musik ditengah padang rumput yang luas. Rumah mereka satu-satunya yang berdiri ditengah savana rerumputan itu, satu-satunya rumah yang mungkin akan kalian temui sejauh berjalan, ditengah sebuah negara yang damai, disebuah kawasan di Afrika. Sudah biasa mereka berteman dengan hewan buas disana dan sesekali sang ayah akan melakukan perburuan kuda atau kerbau atau bahkan zebra liar disana. Sesekali mereka akan mendengar rintihan suara Hyena yang mengendap disaat malam, atau raungan Singa yang mengejar mangsanya atau lolongan serigala dari kejauhan. Terkesan sangat berbahaya dan mengerikan, tetapi sang ayah dan ibu mendirikan rumahnya tidak jauh dari sungai besar disana dan sesekali juga mereka menangkap ikan.
Tidak ada satupun hewan buas yang berani mendekati rumah mereka, walau terkadang ada gajah-gajah atau jerapah yang tersesat berjalan mendekati rumah mereka. Bahkan singa yang terkenal sangat buas tidak pernah memijakkan kaki mereka kesana, tentu saja karena hewan mampu merasakan aura berbahaya dari rumah itu. Karena baik sang ayah dan ibu adalah dua orang mutagen yang memiliki kekuatan, sekawanan singa bukanlah masalah bagi mereka. Lalu anaknya juga secara kebetulan merupakan mutagen persis seperti kedua orang tuanya. Tapi mereka hanya sesekali menggunakan kekuatan mereka, hanya saat berburu, dan itu tidak pernah lebih dari sekali dalam sebulan. Sedekat mungkin bahkan mereka berusaha untuk berteman dengan semua hewan yang ada disana.
Sore itu, sang anak dan sang ibu yang asik memainkan masing-masing alat musik mereka. Dan sang ayah yang memfoto keduanya, sesekali sang ayah menggunakan kekuatannya untuk menerbangkan kamera itu dari jauh dan mengambil foto dari udara. Sesekali sang ibu juga menggunakan kekuatannya mengendalikan angin supaya rambut dia dan anaknya melayang-layang, dan mereka menyukai itu. Keluarga yang sangat bahagia, walau mereka hanya bertiga tetapi mereka saling mengisi ruang kekosongan yang ada. Bukankah begitulah cinta? Akan menyempurnakan apapun dan kapanpun, mengisi semua kekosongan yang ada.
Namun sore itu jadi agak berbeda ketika angin yang berhembus berhenti dan kamera yang diterbangkan sang ayah jatuh ketanah. Untung dengan gesitnya sang ayah menangkapnya sehingga kamera itu tidak rusak. Zebra yang sebelumnya masih terlihat sejauh mata mereka memandang perlahan mulai menghilang dan terdengar suara auman singa yang bersahut-sahutan. Tahulah sang ayah bahwa mereka kedatangan tamu, dan sang ibu berhenti memainkan pianonya. Namun sang anak gadis tetap memainkannya dengan ceria sampai sang ibu memberhentikannya dan memeluknya.
“Dia datang.” Ucap si ayah kepada mereka, tersenyum datar. Namun si anak gadis menanggapinya dengan luar biasa bahagia.
Mereka bisa melihat dengan jelas sosok pria berkacamata hitam yang berjalan dari kejauhan, menggunakan tutup kepala dan selembar kain yang mengikat lehernya. Kain itu melayang terumbai-imbai mengikuti arah pria itu berjalan. Sedangkan para hewan-hewan berjalan menjauhi pria itu. Dia mendekati ketiga beranak itu, berjalan dengan konstan kearah sungai besar dan ketika jarak mereka sekitar dua ratus meter, pria itu melambaikan tangannya dan sang ayah membalas. Gadis kecil itu mendekati ayahnya dan dipeluk lalu digendong, memasang wajah memelas. Lalu ayahnya tersenyum dan menurunkannya. Gadis kecil itu berlarian cepat kearah pria asing itu, dan begitu mereka bertemu pria itu mengangkat dan menggendong gadis kecil itu.
“Rachel!” Ucap pria itu.
“Uncle A!” Rachel memeluknya dan menciumi wajahnya, “I miss u uncel A!”
“I miss u too, my little girl.”
Pria itu menggendong Rachel dan membuka penutup kepalanya, dia menciumi gadis kecil itu tanda kekangenannya. Lalu mereka berjalan mendekati kedua orang tua Rachel. Ketika mereka bertemu uncle A menurunkan Rachel, si ibu mencium pipi kiri dan kakan uncle A. Lalu sang ayah memeluk dengan erat, dan uncle A balik memeluk. Lama mereka berpelukan dan si ayah melihat pria itu lalu mengusap kepalanya.
“Kau tidak berubah sama sekali, aku sangat khawatir padamu. Dua tahun ini kau tidak pernah mengunjungiku lagi.” Ucap si ayah, lalu melihat kearah si ibu, “Sebaiknya kita masuk rumah dan kau perlu istirahat.”
Mereka berempat berjalan menuju rumah besar yang sebagian besar terbuat dari kayu. Mereka sekeluarga sangat senang, karena disini mereka hampir tidak pernah menerima tamu atau kunjungan. Hanya pria itu yang mengunjungi mereka selama bertahun-tahun, dan pria itu juga memiliki alasan untuk mengunjungi mereka, terlebih Rachel adalah keponakan kandungnya sendiri dan sang ayah adalah saudara kandungnya. Rachelpun sangat melekat padanya pamannya itu, hingga kemanapun pamannya berjalan dia pasti mengikuti dari belakang. Pamannya tahu karena mungkin saat ini dialah teman satu-satunya yang dia punya selain kedua orang tua dan binatang disini.
“Aku membawakanmu hadiah sayang,” Ucap pria itu memberikan sesuatu pada Rachel. Gadis itu dengan cepat menyambar tangannya dan begitu bahagia kegirangan dan langsung membukanya.
“Apa ini?” Ucapnya, mengeluarkan hadiah itu, mengutak-atik hadiahnya. Tetapi ibunya langsung memberikan contoh bagaimana menghidupkannya. Sebuah kotak musik lama, dan alat itu berputar-putar sambil mengeluarkan lagu nya. Rachel sangat menyukainya, dia menyukai semua hal yang berhubungan dengan musik.