Hiruk pikuk Jakarta tidak akan pernah berubah. Populasi padat bangunan nan menjulang disertai wara-wirinya aktivitas pelaku usaha membuat kota metropolitan ini akan selalu ramai dan tidak tenggelam oleh waktu. Jakarta adalah medan perang. Setiap yang datang ke kota ini dapat diibaratkan sebagai pejuang. Apabila tidak dapat bertahan, para perantauan akan kembali ke kampung halaman dengan tidak membawa apa-apa. Salah satu kota pembawa mimpi untuk segelintir orang. Mimpi mendapatkan kehidupan yang berkelas itu adalah salah satunya, Tampak seorang pria dan gadis tengah bercakap di salah satu restauran. Dengan muka cemas sang pria selalu melihat kearah jam tangannya berharap waktu berjalan lebih cepat, lalu pergi dari sana.
“Kamu kesini dengan siapa to Tar?”
“Aku sendiri Mas, memang niatnya mau ketemu sama Mas Lingga,” jawab Tari.
“Buat apa? Saya nda bisa lama-lama, mau pergi. Lagipula takut menimbulkan fitnah. Oiya, apa Bapakmu tahu, kalau Tari mau kesini?“
Wanita itu menjawab dengan gelengan kepala. Sontak sang pria kebingungan dan berniat akan memberitahu bapak dari wanita yang dipanggil dengan nama Tari itu.
“Jangan, Mas tahu kan marahnya Bapak bagaimana? Apa dirimu tega jika aku terkena amukan bapak.”
“Bapakmu itu orang baik Tar, dia berusaha untuk mendidik anaknya. Kamu harus pulang. Ini ada uang untuk tiket pulang,” ucap Lingga sambil menaruh lembaran rupiah di atas meja.
Tari memperhatikan wajah Lingga, pria yang tengah mengagumi dirinya pada masa itu.
“Apakah Tidak ada namaku lagi dihatimu Mas?” Tanya gadis itu dengan penuh harap.
“Apa maksudmu bertanya seperti itu. Pulanglah jangan bersikap seperti ini,” kata Lingga sedikit terkejut dengan perkataan lawan bicaranya.
“Tidak menjawab berarti tandanya Mas belum bisa melupakan aku. kembalilah padaku.” ucap Tari dengan berani.
***
Tidak dapat di pungkiri, Desa wisata yang tengah menarik hati, membuat Lingga bangga dengan kota tempat kelahirannya. Alumni salah satu Universitas ternama di wilayah Jogjakarta dengan nilai IPK pas-pasan membuat pria itu tidak berkecil hati. Sang pria tetap berusaha dengan gigih untuk menggapai mimpi yang akan menjadi arti bagi hidupya.
“Kepripun panjenengan dados seniman kados Bapak?” tanya seorang pria denga rambut beruban yang tengah mengerjakan gerabah untuk dijual.
“Mboten saget Pak, kulo sanes ahlinya,” jawab Lingga dengan santun.
“Iya pak, Semesta ini punya keahlian sendiri,” ucap seorang wanita paruh baya menanggapi.
“Tapi lebih baik kalau dia disini bu, nerusin usaha kita. Siapa tahu di tanganya usaha ini menjadi berkembang,“ kata bapak menanggapi perkataan istrinya yang berasal dari sunda itu.
“Ibu nda setuju. Anak kita harus berkembang sesuai dengan minatnya pak. Sementara membuat gerabah ini adalah keahlian bapak sebagai seniman.”
Pak Atmodjo menarik nafas panjang mendengar istrinya. Perkataan bijaksana dari sang partner hidup mampu mengesampingkan rasa khawatir mengusik seorang Bapak yang memiliki anak semata wayang. Kalau boleh jujur beliau kurang setuju anaknya merantau ke Jakarta. Melihat pergaulan di kota besar sangat tidak aman bagi pria polos nan santun seperti Lingga. Usaha gerabah yang diemban oleh keluarga Atmodjo mengalami penurunan dibandingkan di tempat warga lain yang menghasilkan gerabah. Beliau sangat ingin sekali putranya tetap di Jogjakarta bersama dia dan istrinya untuk membantu mengembangkan usaha gerabah agar bisa dinamis seperti yang lain.
Sang putra mengambil kopi panas lalu diletakkan di samping bapaknya yang tengah mengolah tanah liat setelahnya, tidur di pangkuan Ibu selayaknya anak kecil yang sedang manja kepada sang bidadari bumi. Pemuda itu selalu merasa hangat bila dekat dengan sang Ibu yang selalu memotivasi dirinya untuk menjadi maju dan bermanfaat bagi orang lain.
“Maafin Lingga yang belum bisa membahagiakan Ibu,” kata pemuda itu mencium tangan Ibunya
“Nda nak, kamu sholeh dan berbakti itu sudah membuat Ibu bahagia, Semesta pasti sukses, tancapkan keyakinan itu ya nak, jangan lupa ikhtiar dan doa harus seimbang, mudah-mudahan Gusti Allah mengabulkan apa yang diimpikanmu.”