Bandung
18 July
Three Years Ago
•°•
"Astaga, Mia! Gue kira maling yang semalam datang lagi! Lo kalau masuk kamar gue, ketuk pintu dulu, dong!"
Mutiara meringkuk di atas kasur, tiba-tiba merasa kedinginan. Mata yang tadinya terpejam kini melotot galak pada sahabatnya. Mia telah membangunkannya dengan cara menyibak selimut dengan brutal.
"Gue udah panggil-panggil tapi lo nggak dengar. Ternyata masih tidur. Ini udah jam sebelas, lho!" kata Mia, duduk di ujung ranjang Mutiara.
Mutiara mengucek mata. "Gue bukan bangun kesiangan. Habis bangun buat atur kerjaan dapur pagi tadi, gue tidur lagi. Ngantuk banget."
"Ini semua gara-gara pencuri tadi malem! Gue jadi baru bisa tidur jam tiga pagi!" geram Mutiara sembari melipat selimut motif kura-kura kesayangannya.
Mia meremas tangan Mutiara dengan wajah cemas. "Ini gue datang untuk denger cerita lengkapnya tentang maling yang masuk ke sini. Semalam lo nelepon gue sambil nangis- nangis tapi lo bilang lo nggak apa-apa. Terus teleponnya lo tutup karena polisi dateng. Habis itu gimana?"
"Ya, gitu, deh. Kayak yang gue bilang, gue emang nggak apa-apa. Adam juga aman. Tapi malingnya bobol laci kasir dan ngambil semua uang yang ada. Itu pendapatan restoran selama tiga hari, Mia. Tiga hari! Gue nyesel banget belum sempat nyimpan duit itu ke dalam kamar. Sayang banget 'kan hilang diambil maling!"
Mia mendesah panjang. "Sayang, sih. Tapi relain aja. Yang penting lo sama Adam nggak apa-apa. Coba ceritain dari awal. Kejadiannya gimana?"
"Jadi gini, malingnya masuk tengah malem. Waktu itu kebetulan gue belum bisa tidur karena suara game Adam di kamar sebelah keras banget. Gue samperin dia dan ngomel-ngomel terus maksa dia tidur. Dia akhirnya matiin laptop tapi nyuruh gue ke bawah ambilin HP-nya yang ketinggalan. Karena gue kakak yang baik, gue turutin permintaan dia."
"Terus pas lo turun, ada maling lagi ngubek-ubek meja kasir?!" tebak Mia.
"Iya! Kaget banget gue, sumpah! Gue langsung teriak kenceng-kenceng. Gue lari ke dapur dan ngambil pisau yang paling gede, terus keluar lagi. Pas gue keluar, ada yang narik tangan gue. Gue kira malingnya, ternyata Adam. Hampir aja gue tusuk adik gue sendiri! Gila nggak, tuh?!""
Ya ampunnn!" Mia histeris.
"Adam mati-matian tenangin gue yang gemetaran. Dia turun karena denger gue teriak dan pas dia dateng malingnya udah kabur. Kata Adam larinya cepet banget. Dia nggak sempet ngejar. Dia juga nggak peduli malingnya kabur bawa duitnya, asal kami selamat."
Mutiara bercerita sambil mengingat kejadian tengah malam kemarin. Memang harus bersyukur maling itu tidak berbuat lebih dari merusak pintu restoran dan mengambil uang tunai.
"Oh, Baby. Lo pasti ketakutan banget." Mia memeluk Mutiara dan mengusap-usap punggungnya.
Mutiara menelan ludah. "Iya. Apalagi Papa nggak di sini. Dia di Jakarta. Mama juga lagi di rumah Nenek yang lo tahu jauhnya kayak apa. Pas gue hubungi Papa, dia nggak jawab telepon gue. Akhirnya gue sama Adam yang ngurus sendiri semuanya. Untung ada polisi kenalan Papa. Terus gue minta tolong sama Pak Firman yang biasa bantu bersih-bersih untuk datang jaga keamanan di sini. Baru setelah itu gue tenang, tapi tetep susah tidur saking parno-nya."
"Wajar kalau lo kepikiran. Lingkungan sini sepi banget, sih." Mia memaklumi.
"Adam tidur di kamar gue semalam. Kata Adam, dia mau jagain gue. Ternyata dia emang nggak tidur sampai pagi. Manis banget 'kan? Tapi dia pake alasan itu untuk bolos sekolah hari ini. Sekarang juga pasti masih ngorok." Mutiara cekikikan mengingat kelakuan adiknya.
"Adam is always sweet. I want to have a brother like him," kata Mia.
"Ya. Dia yang selalu ada. Dia yang paling care sama gue. Papa aja sering nggak ada saat gue butuh."
"Bokap lo tuh ke mana, sih? Nggak guna banget! Bisa-bisanya nggak ngangkat telepon lo semalem. Kalau kalian kenapa-napa, gimana?!" seru Mia geregetan."
Huss!" sergah Mutiara. "Jangan ngatain orang tua kayak gitu, ah. Yang penting sekarang dia udah tahu kami nggak kenapa-kenapa."
"Terus, si Om langsung pulang ke sini pas lo lapor sama dia? Pasti nggak!"
"Memang nggak. Nggak mungkin juga langsung balik ke sini jam dua malam, Mia. Terus dia bilang masih ada urusan di Jakarta, paling cepat juga lusa baru pulang," jawab Mutiara.
Mia berdecak kesal. "Kalau gue jadi orang tua, jam berapa pun gue pasti pulang demi anak gue. Kalau nggak langsung, mestinya hari ini pulang. Dia harusnya lebih peduli dengan keamanan anak-anaknya. Nggak ada urusan yang lebih penting dari keluarga!"
Mutiara menunduk sambil memainkan jemari, berusaha tidak terlalu memikirkan perkatan Mia barusan. "Pasti ada alasan yang bikin dia nggak bisa langsung pulang," ucapnya pelan.
"Ah, nggak ngerti gue, bokap lo tuh sibuknya apa? Pokoknya gue nggak suka sama dia. Keliatan dari luar aja baik, padahal—"
"Mia! Udah!" sela Mutiara tegas.
Mutiara mendesah berat. Ia tahu, ayahnya memang tidak peduli. Semalam ia sedih mengetahui sang ayah lebih mementingkan urusannya sendiri daripada keselamatan keluarga. Meskipun begitu, Mutiara tak akan membiarkan orang lain menjelek-jelekkan anggota keluarganya, seburuk apa pun mereka.
“Nanti lo kuliah jam berapa?” Mutiara mencoba mengganti topik pembicaraan.
"Hari ini gue bolos kuliah. Mau ke Bogor," jawab Mia sambil menyeringai.
"Serius?? Kerjaan lo bolos terus!"
"Gue nggak sering, ya. Kadang-kadang aja kalau ada yang penting. Kali ini gue ada job nyanyi di acara grand opening kafe temen gue. Temen gue ini cowok, cakep banget kayak orang Korea. Kami lumayan akrab karena dia baik dan gue cocok temenan sama dia. Lo mau lihat orangnya?"
Mia bangkit dari ranjang, mengambil ponsel dari dalam tas dan mulai sibuk mencari profil teman tampannya di Instagram.
"Nih! Namanya Billy. Handsome, nggak?"
Mutiara memperhatikan foto di Instagram milik Billy. "Cakep. Gaya fashion, unik. Bibirnya lucu. Manis!" Mutiara tersenyum pada Mia."
"Komen lo tuh yang manis, Ra. Orang-orang lain yang lihat fotonya apalagi aslinya, sering ngejelek-jelekin dia. Kebanyakan pada bilang dia kayak banci karena rajin pake skincare. Kadang dia pakai lipbalm dan sunblock juga kayak kita, Ra. Dia sering jadi korban bullying hanya karena gayanya beda sama cowok-cowok Indonesia pada umumnya."
"Oh, ya? Padahal nggak ada yang perlu dipermasalahkan. Cowok ada yang emang laki banget, ada yang cute, ada yang biasa aja. Semua punya sisi menariknya masing-masing. Contohnya Billy, baru kali ini gue liat cowok Indonesia yang bisa cocok banget pakai sepatu pink motif bunga kayak gini, dengan rambut pink pula." Mutiara menunjuk salah satu foto Billy yang berpenampilan serba merah muda.