Bandung
Present Time
•°•
Mutiara!
Mutiara!
Suara di dalam kepala Mutiara menyentak dan memberi efek kejut yang aneh, mengusir kantuk yang tadi telah membawanya masuk ke alam bawah sadar.
Mutiara memijat bagian belakang tengkuk. Pandangan matanya terarah ke cermin meja rias di hadapannya.
Apa yang barusan terjadi?
Tadi ia tertidur, menelungkup di atas meja rias. Kemudian, ia mendengar Kenny memanggilnya.
Gue dengar suara dia dalam mimpi.
Suara Kenny itu teramat lirih, menyebut namanya bagai orang yang putus asa. Mutiara bertanya-tanya. Apa artinya ini? Mengapa jantungnya berdegup kencang?
Mutiara sebenarnya sadar ia terlalu resah memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Ia akan berangkat ke Bali. Ia ada janji temu dengan Kenny.
Padahal Mutiara yang menginginkan pertemuan ini. Ia sendiri yang menghubungi Kenny, tetapi malah jadi gugup begini.
Mutiara tak bercerita pada siapa pun tentang hal yang akan disampaikannya pada Kenny nanti. Ia takut akan berubah pikiran jika mendengar pendapat orang lain tentang itu.
Tok, tok, tok!
Pintu kamar Mutiara diketuk tiga kali. Tanpa perlu memeriksa pun Mutiara sudah tahu bahwa yang datang adalah Adam. Cara adiknya minta izin masuk sangat khas, ketuk tiga kali lalu langsung buka pintu.
"Kak," sapa Adam setelah ia berdiri di belakang Mutiara yang masih sedang berusaha menenangkan diri.
"Hmmmm?" gumam Mutiara. Ia berbalik, melempar senyum kecil pada Adam lalu kembali menghadap cermin.
"Lagi ngapain?" tanya Adam.
"Nggak ngapa-ngapain. Udah siang, ya? Gue mau turun sebentar lagi. Atur kerjaan di dapur dulu sebelum berangkat ke Bali."
Mutiara berdiri dari kursinya. Namun, tangan Adam mencengkeram kedua belah bahunya, menekan tubuhnya untuk duduk kembali.
"Nggak ada lagi yang mesti diatur. Udah gue urus kerjaan hari ini," kata Adam.
"Ah, yang bener? Persediaan bawang sama cabe udah habis dan gue belum sempat beli."
"Tadi udah gue periksa apa yang habis. Sekarang udah lengkap semua karena udah gue beli barusan. Ini gue baru pulang."
Mutiara menoleh cepat pada adiknya. "Serius?"
Adam mengangguk. "Lo santai aja lah. Siapin barang-barang yang mau dibawa ke Bali. Nggak usah mikirin yang lain."
Setelah berkata begitu, Adam yang masih memegang pundak Mutiara mulai memberikan pijatan-pijatan lembut.
"Baik nggak gue? Udah beresin kerjaan tanpa disuruh dan sekarang mijitin lo."
Mutiara menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Tumben sih ini. Kayak nggak real."
"Lebay lo! Gue 'kan sayang sama my one and only sister. Masih mau dipijit nggak nih? Jangan sampai gue berubah pikiran." Adam menggerutu namun masih terus memijat pundak Mutiara.
"Lanjut lah!" Mutiara tertawa kecil.
Mutiara memperhatikan sosok Adam yang terpantul di cermin. Adiknya itu tinggi menjulang, lengannya panjang dengan telapak tangan lebar. Warna kulit yang aslinya cerah sekarang menjadi agak kecokelatan karena banyak berkegiatan outdoor. Adam yang belum lama ini berulang tahun ketujuh belas sungguh terlihat semakin tampan. Kedewasaannya pun bertambah. Ke mana Adam yang imut dan hanya peduli pada game-nya?
Pijatan Adam membuat tubuh Mutiara menjadi lebih rileks. Ia benar- benar bersyukur memiliki adik yang selalu punya cara untuk menunjukkan kasih sayangnya.
Setelah selesai, Adam mundur lalu duduk di tepi ranjang Mutiara. Pandangan matanya tak lepas dari wajah sang kakak.
"Lo kurang tidur ya? Mata lo, layu."
Mutiara terkekeh kemudian menendang ujung kaki Adam. "Bunga kali, layu."
Adam tidak tertawa. "Tidur lo nggak nyenyak semalam?"
Hening.
"Gue hafal sifat lo. Gue tahu, tadi malam lo pasti nggak bisa tidur. Sekarang lo ngantuk, badan lo nggak enak, dan kepala lo pusing. Tebakan gue, itu ada hubungannya dengan keberangkatan lo ke Bali hari ini."
Adam menuturkan segalanya dengan tepat. Mutiara tidak bisa membantahnya.
"Gue cuma mikirin The Pearl. Akhir tahun gini lagi ramai. Di sini pasti sibuk, tapi gue malah pergi." Mutiara memberikan alasan yang tidak sepenuhnya bohong. Ia memang memikirkan itu juga. Tapi ....
"Bukan cuma itu. Nggak mungkin lo mikirin The Pearl sampe nggak bisa tidur." Adam tertawa hambar. "Lo mikirin pertemuan lo sama Kenny nanti 'kan?"
Mutiara terdiam lagi.