Bandung
6 June
Three Years Ago
•°•
Love at first sight.
Apakah kamu percaya tentang cinta pada pandangan pertama?
Bagaimana bisa seseorang jatuh cinta, dengan begitu mudahnya, pada apa yang baru saja dijumpai?
Kenny sedang merasakannya. Love at first sight ... with a restaurant.
Bagi Kenny, sensasi ini mirip dengan dua momen unik dalam hidupnya. Yang pertama, saat ia berada di atas panggung acara perpisahan sekolah menengah atas untuk pertunjukan komedi tunggal, ketika ia melihat kerumunan penonton terhibur oleh leluconnya. Yang kedua, waktu umur sepuluh, Mama mengajaknya snorkeling di pantai Bali dan memperkenalkannya pada pemandangan bawah laut.
Rasanya seperti di rumah.
Kenny berkeliling restoran sambil tersenyum lebar. Belum mau duduk, sibuk mengagumi tempat yang unik dan artistik. Kebanyakan dekorasinya belum pernah ia temukan di tempat lain. Akan tetapi, sebagian terlihat sungguh familier.
Rak bertingkat lima menjadi penghias dinding dekat pintu masuk. Di rak itu terpajang rapi berbagai jenis barang antik. Vas dari tembikar, patung kayu, dan macam-macam peralatan makan kuno yang Kenny yakini berasal dari zaman sebelum neneknya lahir.
Di dinding lain yang lebih luas, bersandar sebuah lemari kaca besar. Kenny berdiri di depannya, diliputi rasa penasaran.
Gemstones and Crystals. Itu yang tercetak di kertas yang tertempel di pintu lemari kaca. Rupanya seluruh isi lemari adalah batu-batuan berkilau!
Batu-batu itu dikelompokkan sesuai jenisnya dan semuanya diberi catatan keterangan. Kenny membaca nama-nama batunya dalam hati. Amethyst, Moonstone, Tourmaline, Opal, Onyx, Jade. Masih banyak lagi. Ada yang masih berbentuk bongkahan kasar, ada yang sudah dipoles menjadi batu-batuan yang siap dijadikan bahan perhiasan. Warna, bentuk dan ukuran mereka beragam.
"Hello. Hello? Permisi, Mas Bule!"
Kenny fokus memandangi batu-batu cantik sampai tidak sadar seorang gadis sudah berdiri di dekatnya. Gadis itu memakai seragam khas pramusaji yang bertuliskan nama restorannya, The Pearl.
"Oh, hai!" sapa Kenny.
Melihat wajah Kenny dari dekat, wajah gadis itu dihiasi ekspresi terpukau. Mata melebar, bibir melongo.
"Can I ... help you? You want—" Si Pramusaji tergagap. "Aduh gawat, ndak bisa ngomong bahasa Inggris!"
Sambil tersenyum geli, Kenny menunggu si Pramusaji lanjut bicara. Namun, gadis itu malah mengutarakan maksudnya dengan gerakan-gerakan aneh.
"You want ... duduk?" Si Pramusaji menunjuk bokongnya sendiri.
"Makan?" Diperagakannya gaya orang sedang makan, kemudian merentangkan tangan ke arah meja-meja yang kosong. "Where? Duduk di mana?"
Kenny menggembungkan pipi. Hampir lepas tawanya melihat tingkah si Pramusaji. Ia menahan diri dan menjawab dengan sopan, "Yes, I want to sit. I need a table for two person."
"Hah? What?" Pramusaji itu kini meringis, tak bisa mengartikan kata-kata Kenny.
Kenny melipat tangannya di dada dan memasang tampang serius. "You don't understand what I said? Honestly I can speak Indonesian very well, so you don't need to speak English with me."
Lawan bicara Kenny melotot. "Duh, duh. Ampun, Mas Bule! Jangan ngomong bahasa Inggris sama Siti. Ndak ngerti! Siti kabur aja deh, minta yang lain aja layani Mas Bule!"
Tawa Kenny meledak. Pramusaji berkulit sawo matang yang menyebut dirinya sendiri dengan nama 'Siti' itu kalang kabut.
Siti kabur, benar-benar lari. Tetapi, ia terpental setelah menabrak John—ayah Kenny yang bertubuh tinggi besar.
John ikut panik. "Ada apa ini?!"
Siti mendongak. "Om John!"
John mengerutkan dahinya bingung, menatap Kenny dan Siti bolak- balik. "Iya. Kamu kenapa lari-lari, Siti? Nabrak 'kan jadinya. Terus kamu Kenny, ngetawain apa, sih?!"
"Ha-ha! Maaf, Pa. Dia jadi nabrak Papa. Dia kabur karena aku isengin. Aku nyerocos pake bahasa Inggris, nggak ngerti katanya!" Kenny cerita disela tawa yang belum reda.
Siti berbalik dengan wajah kaget, menunjuk Kenny. "Mas bisa bahasa Indonesia?”
"Iya. Sorry, siapa tadi namanya? Siti? 'Kan tadi saya udah bilang, kamu nggak perlu ngomong pake bahasa Inggris sama saya," kata Kenny dengan cengiran tengil khasnya.
"Kapan bilangnya?" Siti menggaruk kepala.
"Tadi, tapi bilangnya pakai bahasa Inggris. Ha-ha!" Kenny menertawai leluconnya sendiri yang sebenarnya tidak terlalu lucu.
Siti baru sadar Kenny hanya mengerjainya. "Aduh. Iseng bener, Mas!"
John menggelengkan kepala. "Kamu itu kebiasaan, Kenny. Di mana- mana suka nyari gara-gara. Jangan malu-maluin Papa!"
"Mas Ganteng iseng ini, anaknya Om John?" tanya Siti.
Kenny mengusap rambutnya dengan gaya yang dibuat-buat. "Jangan terlalu blak-blakan bilang saya ganteng."
John menatap anaknya dengan pandangan merendahkan. "Sayangnya, iya. Dia anak saya."
Terlihat sangat jengkel, John berjalan menuju meja yang terletak di dekat dinding pojok belakang ruangan. Kenny dan Siti mengekorinya.
"Ayo duduk dan pesan makan makan siangmu, Kenny! Papa lapar."
Kenny mengambil buku menu yang disodorkan oleh Siti dan mulai memeriksa daftar makanan. Sepertinya semua enak, Kenny sampai bingung memilih makan siangnya. Namun ketika ia melihat nama makanan favoritnya tersedia di restoran itu, ia langsung semringah.
"Saya mau nasi goreng sambal petai! Minumnya es kopi, ya!" Kenny menyebutkan pesanannya dengan semangat.
Siti tersenyum mendengar pilihan makanan Kenny. Sambil mencatat pesanan, Siti melirik baju yang dipakai si Bule Tampan. Tulisan I Love Indonesia tercetak besar-besar di kaus hijau itu.
"Kalau saya, pesannya soto betawi dan teh manis hangat. Udah itu aja dulu. Buku menunya ditinggal aja. Siapa tahu nanti mau nambah," kata John.
"Oke. Ditunggu pesanannya!" Siti pamit.
"Sering banget Papa makan di sini?” tanya Kenny. “Papa sampai kenal pelayannya."
"Iya, sering. Kamu 'kan tahu Papa selalu makan di luar. Restoran yang enak dan dekat rumah cuma ini. Ya sudah Papa langganan," jawab John. "I really love everything here. Suasananya, orang- orangnya. Hangat. Seperti rumah sendiri.”
"Papa juga ngerasain hal yang sama?" Kenny terbelalak.
"Halah. Kamu 'kan baru pertama kali ke sini."
Memang. Aneh. Kenny juga tidak mengerti.
John bangkit dari kursi untuk menghampiri akuarium yang letaknya tak jauh dari meja mereka. Di dalam akuarium ada empat ekor kura-kura berwarna kehijauan. John jahil di permukaan kaca akuarium, membuat para penghuninya gemas dan berenang ke sana-sini mengikuti jemari John.
Kenny tersenyum melihat tingkah ayahnya lalu kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. Putih adalah warna yang paling mendominasi ruangannya. Jika tidak ada pajangan barang antik dan lemari kaca berisi batu-batuan, restoran itu pasti akan terlihat biasa saja.
Sesuai kata John tadi, mereka sedang berada di tempat yang mirip rumah mereka. Rumah yang masih sering Kenny rindukan. Jauh, di Los Angeles.
Persis seperti restoran itu, rumah mereka bercat putih, ruangan-ruangannya dipenuhi benda seni. Beberapa lukisan pemandangan pantai dan karya seni lukis lain menghiasi bagian dinding yang lebih tinggi. Model furnitur rotan yang dipakai di restoran itu pun mirip dengan yang ada di ruang tamunya. Bahkan kebetulan mereka juga memelihara segerombolan kura-kura di kolam di taman belakang.
Seketika dada Kenny terasa berat karena dipenuhi berbagai emosi sekaligus. Haru, sendu, dan rindu. Bukan semata-mata rindu akan kampung halaman dan rumahnya, tapi lebih pada kenangan masa kecil. Masa-masa penuh cinta yang tercipta di rumah, saat keluarganya masih lengkap. Wajah cantik seseorang langsung terbayang di benak Kenny. Laura, ibunya.