Mutiara

Chrystal Calista
Chapter #3

Lucky Day

Bandung

7 June

Three Years Ago

•°•


Siapa itu? Ganteng banget.

Kenny menatap ke cermin di atas wastafel tempat ia baru saja mencukur kumis tipisnya. Cermin itu merefleksikan sesosok lelaki tampan idaman kaum hawa.

Oh, GUE rupanya! He-he-he.

Senyum konyol menghiasi wajah Kenny saat ia bercermin sambil berdialog sendiri dalam hati. Sebenarnya, ia sedang menghimpun rasa percaya diri. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan seseorang dan ia gugup bukan main.

Kenny mengambil sisir dan hair gel. Rambut cokelat keemasan adalah salah satu bagian yang paling mencolok dari penampilannya. Meski ia bangga pada surai indah itu, ia jarang menatanya. Biasanya dibiarkan saja berantakan. Kali ini Kenny ingin melakukan sesuatu yang berbeda.

John sedang duduk di kursi tinggi dekat meja bar, tak jauh dari Kenny. Cuek dengan keberadaan ayahnya, Kenny terus bersolek seperti perempuan hendak pergi arisan.

"Tumben." John membuka percakapan. "Jarang-jarang Papa lihat kamu nyisir rambut."

Kenny melirik ayahnya dari cermin dan berdecak. "Biar rapi dikit," katanya.

"Mau ke The Pearl aja ribet banget."

Kenny tidak merespons. Ia fokus mengurus rambutnya.

"Papa sebenarnya masih nggak nyangka Mutiara tahu tentang kamu," ujar John.

"Masih kaget anak Papa ini famous?" Kenny menyunggingkan senyum sombong. "Teman dia yang kemarin juga kenal sama aku."

"Mia? Kalau dia sih, jangan heran. Dia sumber berita dan gosip. Dilihat dari gaya dan cara bicaranya, pergaulan Mia pasti luas. Kalau Rara, beda!"

Kenny mendelik. Rara adalah nama panggilan Mutiara. Mia, Siti, dan John memanggilnya begitu. Anehnya, Kenny kurang suka.

"Mu-ti-a-ra. Nama bagus gitu kok disingkat, sih?"

"Ya, kan, memang itu nama panggilannya. Papa sih ikut aja."

"Nah, sudah rapi!" Kenny meletakkan sisir, memutuskan untuk puas dengan tatanan rambutnya. Ia beranjak dari wastafel dan berjalan melewati John.

"Jadi, apanya yang beda dari Mutiara?" Kenny kembali membahas perkataan John tadi.

John melompat turun dari kursi tinggi dan mengikuti Kenny berjalan ke arah pintu. "Dia nggak gaul."

"Really? Yang nggak gaul itu 'kan Papa," kata Kenny geli sambil memakai sepatunya.

"Serius. Rara itu kerjaannya cuma di restoran aja. Kata Siti, dia hampir nggak pernah ke mana-mana selain untuk urusan kuliah. Dia terlalu sibuk ngurusin restoran."

"Dia bisa dapat informasi dari media sosial. Yang lain juga pada kenal aku dari Instagram."

"Dia jarang kelihatan main HP. Papa berani taruhan, Rara pasti nggak punya Instagram."

Kenny mengeryitkan kening. "Nggak mungkin. Satpam di tempat kos aku aja punya."

John mengangkat bahu lalu melirik jam tangannya. "Kita lihat aja nanti. Ayo sekarang kita ke sana, janjinya jam sebelas 'kan? Jalan kaki aja?"

"Iya, ayo." Kenny berjalan keluar pintu. Tapi belum jauh ia melangkah, tiba-tiba ia tersadar akan sesuatu.

“Kok Papa ikut, sih? Aku nggak ngajak Papa, lho!"

John si bapak-bapak berwajah datar menjawab, "Papa ‘kan perlu makan siang juga."

Kenny cemberut. "Awas kalau rese."


•°•


The Pearl terletak di sudut jalan yang tak jauh dari kompleks perumahan tempat tinggal John dan Kenny. Jarak tempuhnya hanya sekitar lima menit berjalan kaki.

"I'm so excited!" Kenny berseru riang ketika mereka sampai di depan pintu restoran.

"Tunggu. Jangan masuk dulu!" cegah John.

John melirik ke arah rambut Kenny dan menggeleng-gelengkan kepala. Dengan gerakan cepat, John mengangkat tangannya lalu mengacak-acak tatanan rambut Kenny.

"You look so ugly!"

Kenny berteriak panik, "Arrghh! Kok diberantakin? Ini susah banget bikin sampai rapi gini!"

"Terlalu rapi itu! Kayak bapak-bapak!" John memarahi Kenny sambil menatap jijik pada tangannya yang jadi licin dan lengket terkena gel rambut.

"Papa harus cuci tangan." John meninggalkan Kenny yang sedang kalut merapikan rambutnya dan langsung masuk restoran.

"Yah, dia masuk duluan. Papa emang bener-bener tega. Kalau jelek mestinya bilang dari tadi, di rumah!"

Kenny bersungut-sungut, tapi dalam hati mengakui tadi rambutnya memang terlalu klimis. Rata di kulit kepala dan belah tengah. Ia bercermin di pintu kaca restoran, pasrah karena terlihat sama saja seperti biasa, rambut mencuat ke segala arah. Berantakan.

Klek!

Pintu restoran terbuka dari dalam, mengejutkan Kenny yang masih sedang memegang rambut. Kenny langsung menurunkan tangannya.

Mia muncul dari balik pintu. Gadis itu mengerling genit. "Rambutnya udah bagus, kok. Yuk, masuk!"

Kenny menyengir malu. Mia menarik pintu lebih lebar agar Kenny bisa lewat. Kenny buru-buru masuk dan mengucapkan terima kasih.

Sambil berjalan di sebelah Kenny, Mia berkata, "Duduk dulu, ya. Rara lagi sibuk di bagian dapur."

"Oh, oke." Kenny mengangguk. Ia menyapukan pandangan ke seluruh restoran untuk melihat meja mana saja yang kosong dan akhirnya memilih tempat duduk di dekat meja kasir di samping lemari berisi mutiara. Sejak kemarin Kenny sudah menyukai spot itu.

"Mau pesan minum dulu?" tanya Mia setelah gadis itu merebut buku menu dari Siti yang datang menghampiri mereka. Mia pun mengibaskan tangannya pada Siti, mengusir tanpa basa-basi.

Kenny mengernyit bingung. Mia ini ngapain sih? Gadis itu bukan pemilik restoran, bukan juga pramusaji. Tapi kenapa dia yang sibuk menyambut dan melayani Kenny? Lalu kenapa harus senyum-senyum genit begitu dari tadi?

"Lihat-lihat menunya dulu deh, sambil nunggu Mutiara." Kenny menjawab dengan sopan walaupun ia sebenarnya risih dengan tingkah laku Mia.

"Sip! Kita tunggu Rara, ya. Gue juga baru datang." Mia menarik kursi di seberang Kenny dan langsung duduk.

Kenny mengiyakan lalu menunduk untuk membaca buku menu. Ia mengabaikan sikap Mia yang jelas-jelas menandakan ingin terlibat dalam acara hari ini.

"Bokap lo malah duduk di situ!" Mia menunjuk John yang sudah duduk di dekat akuarium kura-kura, tempat yang kemarin.

"Oh iya," Kenny berdiri dan memanggil ayahnya. "Pa, duduk di sini aja!"

John menimbang ajakan Kenny sejenak, lalu bangkit dari kursinya.

"Om! Om John!"

Radar tak kasat mata milik Kenny menangkap suara lembut Mutiara, berasal dari arah belakang John. Kenny langsung duduk tegak.

Dia datang!

Gadis itu berlari kecil dari arah dapur, mengejar John yang langsung berhenti berjalan saat melihatnya.

"Halo, Om! Sorry, aku tadi sibuk di dalam. Udah nunggu lama?" Mutiara bertanya sambil mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangan.

"Wah, sampai keringatan begitu. Santai aja. Kami baru sampai kok." Jawaban John membuat Mutiara terlihat lega.

Kenny memperhatikan Mutiara dari jauh. Gadis itu lagi-lagi memakai pakaian putih. Kalau kemarin hanya bajunya, hari ini celana panjang dan sendalnya juga berwarna putih. Rambutnya dikepang dan digulung ke atas. Itu penampilan yang sederhana, tetapi sungguh memesona.

"Kenny mana?"

Jantung Kenny jumpalitan hanya karena mendengar Mutiara menanyakan dirinya. Ia mematung di tempatnya.

Lihat selengkapnya