Jakarta
14 June
Three Years Ago
•°•
Pukul lima sore, karyawan yang bekerja di kantor tour and travel milik Darren satu per satu meninggalkan meja mereka. Jam kerja sudah habis. Anak magang bernama Kenny membalas lambaian dan seruan teman-temannya yang pamit pulang.
Kenny sendiri sering pulang belakangan, terutama kalau bosnya juga belum pulang seperti sekarang ini. Sampai kantor sudah kosong, ia masih duduk di meja kerjanya, tinggal berdua saja dengan Darren.
Mata Kenny mengawasi Darren yang area kerjanya tak jauh darinya. Darren sedang menerima telepon dari istrinya dengan kaki dinaikkan ke atas meja.
"Okay, Honey. Ini udah mau pulang, kok. Mana mungkin aku biarin istri dan anakku yang cantik kelaparan. Ntar aku beliin makanan buat kamu sama Luna. I love you!"
Setelah memberi kecupan panjang pada istrinya, Darren memutus sambungan telepon, langsung bersiap-siap pulang.
"Tutup kantor, Bro! Bella nungguin gue di rumah."
Kenny terkekeh. "Ciieee, yang istrinya tambah cinta sejak acara wedding anniversarry!"
"Haha, tahu aja lo! Makin manja bini gue sejak dikasih kejutan dan hadiah kemarin."
"Uhhh! Makin lengket kayak gini, ya?" Kenny menangkap Darren yang lewat di dekatnya dan memeluk lengan pria itu erat-erat sambil mendesah keras.
"Dasar makhluk nista!"
Darren hampir menjitak kepala Kenny, tetapi tidak berhasil karena Kenny duluan mendorongnya. Pinggang Darren membentur tepi meja dan membuat pigura foto yang dipajang di meja itu hampir jatuh ke lantai.
"Woiii!" Darren mengerang sambil menyelamatkan benda itu. Dia buru-buru menaruhnya kembali ke atas meja dan mengelusnya dengan sayang. Pigura itu berisi potret Darren dan Bella sedang mencium pipi anak perempuan mereka, Luna.
"Foto kesukaan gue, nih. Kalau jatuh, gue nangis."
Kenny terbahak-bahak membayangkan seorang Darren menangisi bingkai foto yang jatuh. "Asli, lo tuh berubah sejak nikah! Gue kadang masih nggak nyangka playboy kayak lo bisa-bisanya nikah muda, bahkan sekarang anak lo udah mau dua tahun umurnya."
"Playboy? Nilai gue di mata lo, serendah itu? Tapi bini gue juga suka bilang gue ganjen, sih. Makanya kemaren dia buru-buru ngajak nikah, takut gue diambil cewek lain kali. Padahal gue 'kan bocah lugu." Darren mengerucutkan bibirnya sok imut.
Kenny memasang tampang jijik. Lugu? Darren? Jijay!
Darren Dominic, sudah hampir empat tahun Kenny mengenalnya. Dulu Darren adalah senior di kampus yang terkenal karena tampan, kaya, dan banyak ulah.
Ada panggilan khas yang melekat pada dirinya. Koko Darren. Ia mendapat panggilan itu dari junior-junior wanita di kampus yang mengidolakannya. Kenny akui, mata sipit dan kulit kuning langsat milik Darren memang daya tarik yang unik.
Orang tua Darren memiliki banyak bisnis termasuk studio foto, kantor tour and travel, toko elektronik, dan entah apa lagi. Ayahnya seorang fotografer terkenal dan ia mewarisi bakat beliau.
Skill fotografi Darren sangat mengagumkan bagi Kenny, tapi sayangnya Darren tidak pernah mau serius mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi fotografer profesional. Yang sering ia kerjakan hanyalah 'proyek' memotret gadis-gadis cantik untuk koleksi pribadi. Ia sering berpacaran dengan model-model yang menjadi objek fotonya, namun jalinan asmaranya tidak pernah ada yang lebih dari tiga bulan.
Itu masa lalu. Darren yang ada di hadapan Kenny saat ini adalah pria berusia 24 tahun yang serius mengurusi beberapa bisnis orang tuanya, dan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk Bella dan Luna.
"Lo hebat bisa tobat," kata Kenny ketika menyusul Darren meninggalkan ruangan kerja.
"Istri gue yang hebat," ucap Darren. "Bella yang berhasil bikin gue jadi lebih baik. Gue nggak pernah nyesel nikahin dia setelah tamat kuliah, sesuai permintaan dia. Walaupun nikah muda itu nggak gampang, gue berhasil lalui semua masa sulit. Itu berkat istri gue juga. Dan kehadiran anak gue juga bikin hidup gue lebih berarti. Sekarang tiap hari gue bersyukur punya kehidupan yang membahagiakan kayak begini."
"Wuiiihhh!" Kenny membayangkan indahnya hidup jika sudah menemukan tambatan hati. Diam-diam ia merasa iri pada Darren.