Memang, sudah ada kabar bahwa sebagian karyawan akan dirumahkan sejak dua hari yang lalu. Tetapi kemarin saat dia dipanggil oleh kepala personalia untuk menghadap, Nina kaget bukan kepalang. Nina telah bekerja selama sembilan belas tahun. Itu bukan waktu yang singkat. Ada dua rekan kerja yang lebih yunior darinya, bukan mereka yang dirumahkan tetapi dirinya. Bisa jadi karena pelanggan yang selama ini dilayaninya tidak lagi order di perusahaan tempatnya bekerja, ya Nina sudah menduga bukan mustahil dia akan dirumahkan, tetapi..., tetap saja dia terkaget-kaget.
“Sebal! Sebal! Sebal!” Nina menggerutu sambil mengepalkan kedua tangannya. “Mengapa mesti aku? Mengapa bukan Lidia atau Murni? Kami semua sama-sama tidak punya banyak pekerjaan. Kenapa aku yang dirumahkan?”
“Dirumahkan karena penyebaran virus corona,” demikian yang dikatakan kepala personalia kepadanya kemarin. Dan Nina tidak kuasa untuk menolak. Orang bilang reaksi pertama terhadap berita buruk adalah penyangkalan. Dan inilah yang dilakukan Nina keesokan harinya, pagi hari pertama saat dia dirumahkan. Saat ini dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia menggigit ujung jempol jari kanannya. “Aku tahu, ini pasti karena andil Bu Hartini. Salah satu sebab, dia iri melihat smartphone baruku.” Nina mulai merekonstruksi sebab-sebab mengapa dia yang terpilih untuk dirumahkan selama tiga bulan. Beberapa hari yang lalu memang Ibu Hartini, supervisor bagian penjualan, departemen dimana Nina bekerja di perusahaan itu meminta Nina untuk mengorderkan makanan secara online. Melihat smartphone Nina dapat meluncur cepat membuka halaman-halaman pilihan makanan, Bu Hartini menyadari spesifikasi smartphone Nina cukup tinggi. Bu Hartini bilang smartphonenya saja tidak meluncur secepat itu. “Berapa harga smartphonemu?" tanyanya dengan nada menyelidik. “Delapan juta-an Bu,” jawab Nina. “Dicicil berapa kali?” tanya Bu Hartini lagi. Nina kaget. Ya, inilah Bu Hartini yang bikin sebal. Dia seakan tahu segalanya. Termasuk dia seakan tahu semua yang dipikirkan orang. Dia tahu, pasti Nina membeli smartphone dengan cara mencicil. Hal lain yang bikin sebal, di dalam otak Bu Hartini hanya ada pekerjaan. Saat berbicara dengan topik apapun, ujung-ujungnya akan kembali ke persoalan pekerjaan. Benar, Bu Hartini adalah pengabdi perusahaan yang baik, sedangkan Nina bukan. Nina adalah tipe yang lebih suka berbicara dengan pelanggan, daripada mengurus administrasi yang memerlukan ketelitian. Bagi Nina, saat dia akan mengerjakan suatu pekerjaan administrasi di siang hari, pagi hari dia sudah ditegur Bu Hartini, mengapa pekerjaan itu belum dikerjakan. Dengan suara keras lagi, sehingga seisi ruang mendengar. Apalagi jika Nina membuat kesalahan. Teguran tidak hanya dilakukan sekali dan sebentar. Seperti radio rusak, kesalahan-kesalahan Nina akan dijabarkan berulang-ulang oleh Bu Hartini. Jadi pasti komentar-komentar negatif Bu Hartini terhadap Nina yang disampaikan kepada atasanlah yang membuat Nina dirumahkan. Dia dianggap tidak bisa bekerja dengan baik. Padahal menurut Nina, asalkan tidak melampaui deadline, seharusnya semua oke. Bukan kesalahan berat yang dilakukannya. Apalagi selama bertahun-tahun Nina sudah berjasa membawa banyak pelanggan bagi perusahaan, walau belakangan karena berbagai keadaan sebagian besar dari pelanggan itu tidak order lagi.